Suara godam yang bertalu-talu menghantam besi meramaikan sebuah kampung di pesisir barat Pulau Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sesekali, raungan gerinda menimpali, menambah semarak ”orkestrasi” yang akarnya terentang sejak berabad-abad lalu.

Sore itu, Selasa (26/9), Syamsudin (35) sedang menempa sejumlah pelat besi di pondok kerjanya di Kelurahan Sowa, Kecamatan Togo Binongko, Wakatobi. Berkali-kali ia menyapu keringat yang mengguyur wajahnya. ”Tinggal dua proses lagi, parang jadi,” kata Syamsudin, sambil terus menempa besi-besi yang telah berwujud bilah parang itu.

Syamsudin adalah salah seorang pandai besi di Kelurahan Sowa, Binongko. Sejak berabad-abad lalu, Sowa sudah dikenal sebagai sentra produksi parang atau golok. Terdapat puluhan pekerja yang berkarya di pondok-pondok terbuka berukuran lebih kurang 2,5 meter x 3 meter. Pondok-pondok itu dilengkapi tungku pembakaran besi dan alas tempa. Satu pondok biasanya diawaki dua orang.

Pandai besi di Desa Sowa, Togo Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menyelesaikan pembuatan parang, Kamis (28/9). Pekerjaan pandai besi yang dilakoni sebagian penduduk di Pulau Binongko membuat pulau itu juga masyhur dengan sebutan ”Pulau Tukang Besi”.

Bunyi tak-tok-tak-tok dari penempaan besi pun menjadi latar suara yang umum di kampung tersebut. Penempaan besi juga merambah hingga kelurahan tetangga, Kelurahan Popalia, serta sejumlah desa di Binongko.

Parang Binongko menjadi kondang karena tajam dan awet. Ujung parang berbentuk segitiga siku-siku, persis seperti parang yang dipegang pahlawan nasional Kapitan Pattimura dalam gambar uang kertas pecahan Rp 1.000 edisi tahun 2000.

Mata pencarian sebagai pandai besi ini berbeda dengan kehidupan warga Binongko lainnya yang menjadi pelaut. Sejak berabad-abad lalu, warga Sowa memang telah menguasai keterampilan mengolah besi menjadi parang. Padahal, pulau karang terpencil yang dikepung Laut Banda dan Laut Flores itu tak memiliki sumber bijih besi.

Wakatobi dulu juga pernah disebut sebagai ”Kepulauan Tukang Besi”. Ternyata, julukan itu berasal dari aktivitas pandai besi di Binongko. Penjelajah Belanda konon juga menamai pulau itu ”Toekang Besi Eilanden” alias ”Pulau Tukang Besi” setelah berkunjung ke Binongko pada abad ke-17.

Turun-temurun

Pandai besi di Sowa mempelajari keahlian itu secara turun-temurun. Bahan baku besi didatangkan dari Pulau Jawa. Pada era modern, bahan yang dipakai adalah pelat besi dan per mobil dari Surabaya, Jawa Timur.

Syamsudin pun mengatakan belajar keterampilan pandai besi dari ayahnya. ”Sejak SMP, saya sudah bisa membuat parang. Namun, saya sempat merantau ke Papua untuk bekerja. Pada 2005, saya kembali lagi ke Binongko dan sejak itu bekerja membuat parang,” ujarnya.

Percikan api dari besi yang membara saat ditempa menggunakan godam oleh perajin pandai besi di Desa Sowa, Togo Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (28/9).

Pembuatan parang dimulai dengan memotong pelat besi atau per mobil sesuai ukuran bilah yang akan dibuat. Setelah itu, besi dipanaskan di tungku berbahan bakar arang, kemudian ditempa hingga pipih dan berbentuk parang. Proses selanjutnya adalah merapikan permukaan bilah dengan gerinda sebelum memasuki proses akhir berupa penyepuhan.

Dalam tiga hari, Syamsudin biasanya dapat membuat 50 parang ukuran standar, yakni dengan panjang bilah 40 sentimeter. Satu parang dia jual Rp 28.000 kepada pemborong sekaligus pedagang yang memasarkan parang buatannya.

Ginal (38), pedagang parang, memasarkan parang buatan Syamsudin ke Halmahera, Maluku Utara. Di daerah itu, permintaan parang tinggi karena banyak dibutuhkan warga untuk aktivitas perkebunan sawit dan kelapa. ”Biasanya, saya membawa 1.000 parang dari Binongko. Dalam waktu 3-4 bulan, semua parang yang dijual seharga Rp 80.000 per buah itu habis,” kata Ginal, warga Sowa yang telah dua tahun menjalani usaha itu.

Ia menambahkan, parang buatan Binongko memiliki reputasi yang baik di mata pembeli. ”Saya memberikan garansi, kalau parang rusak, bisa diganti yang baru. Selama dua tahun berjualan, tidak pernah ada pelanggan yang mengembalikan parangnya,” ucap Ginal.

Penyangga nasib

Arwadin (51), salah satu tokoh pandai besi di Kelurahan Sowa, mengatakan, kini setidaknya ada 90 pondok kerja pandai besi yang aktif di Sowa. Produksi pandai besi disokong oleh enam pemasok bahan baku besi yang mendatangkannya dari Surabaya.

Ihwal asal muasal keterampilan membuat parang, Arwadin mengaku tidak tahu pasti. Ia hanya bisa melacak keterampilan itu hingga tiga generasi sebelumnya. ”Dari kakek buyut (keahlian pandai besi) diturunkan ke kakek, ayah, dan saya,” ujarnya.

Sejumlah warga Desa Sowa, Togo Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (28/9), tengah membentuk bilah-bilah besi panas menjadi berbagai bentuk, salah satunya parang.

Dalam tradisi lisan Binongko yang disebut Culadha Tapetape, yang dituliskan oleh La Rabu Mbaru dalam buku Peradaban Binongko Wakatobi Buton, keahlian pandai besi warga Binongko diperoleh dari Raja Binongko Ke-4 La Soro atau Raja Pati Kapitan Waloindi. Raja sakti yang memerintah pada 1266-1299 itu dikisahkan datang dari Tanah Barat membawa berbagai keterampilan, antara lain menempa besi menjadi parang.

Pada masa silam, kata Arwadin, pandai besi Binongko juga membuat jangkar dan paku kapal. Keterampilan itu, lanjutnya, membuat pandai besi Binongko selamat dari kerja paksa pada zaman penjajahan Jepang karena tenaganya lebih dibutuhkan untuk membuat perlengkapan tersebut.

[kompas-image-360 src=”https://d3vdlgg67cepnu.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/226/2017/12/Parang-360-edit.jpg” caption=”Proses pembuatan parang khas Binongko.” credit=”KOMPAS/Ardiansyah” /]

Menurut Arwadin, para perajin parang Binongko awalnya bermukim di wilayah pedalaman pulau di Kampung Kaluku dan Kampung Komba-komba. Pada dekade 1960 hingga 1970-an, warga hijrah ke wilayah pesisir, salah satunya di Kelurahan Sowa sekarang. ”Setelah pindah ke pesisir, parang baru dijual,” ucapnya. Sebelumnya, warga membarter hasil produksi mereka dengan jagung, beras, dan ikan dari warga pesisir.

Setelah parang-parang itu dijual, hasil penjualannya dapat digunakan untuk menyangga nasib ratusan keluarga di Binongko. Parang-parang itu menjadi secercah berkah di tengah kerasnya kehidupan di pulau karang tersebut. (MOHAMAD FINAL DAENG/INGKI RINALDI/ICHWAN SUSANTO)