La Rabu Mbaru mencatat beragam praktik budaya dan sejarah Pulau Binongko di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sejak 1984 setelah lulus sekolah pendidikan guru. Ia gigih mencari dan mengumpulkan berbagai data tradisi lisan (culadha tapetape) peradaban orang Binongko, Wakatobi, dan Buton kemudian dituliskan untuk kembali dipraktikkan.
Kami menemuinya di Pantai Yoro, Kelurahan Wali, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (28/9). Kecenderungan merosotnya kualitas budi pekerti sebagian orang terhadap orang lain, yang kerap berujung konflik, adalah salah satu alasan ia menempuh langkah itu.
Budi pekerti sebagian orang terhadap alam menurun. Perusakan hutan dan penangkapan ikan di laut dengan menggunakan bom atau racun menghancurkan pula terumbu karang.
”Padahal, (budaya) zaman kuno tidak seluruhnya (mesti) dibuang, ada yang baik,” ujar La Rabu. Petang itu, ia menjelaskan beragam hal, termasuk asal-usul Binongko dalam syair berlagu yang didendangkannya serta gerakan serupa tarian yang ditunjukkannya.
Sebagian tradisi masa lalu itu berupa kaombo atau pantangan dan larangan adat dalam mengeksploitasi sumber-sumber daya alam di daratan dan lautan guna menjamin keberlanjutannya. Sebagian lagi berupa tata cara pemerintahan atau sistem nilai dan pranata adat bernama Sarano Wali dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
La Rabu mengistilahkan adat sebagai ”benteng” bagi ajaran agama Islam yang menjadi intisari dalam praktik kehidupan. Terdapat hukum tiga perbuatan akhlak manusia (sara tolu mingku we’eli) yang dicatat La Rabu.
Masing-masing terbagi ke dalam empat sumber keadilan dan kebenaran, empat sumber kebinasaan atau kehancuran, dan empat sumber hakikat tobat. Sebagian di antaranya berisikan anjuran untuk saling mengasihi, larangan untuk berambisi menguasai seluruh milik orang lain, serta memutuskan untuk tidak mengulangi perbuatan yang dilarang agama dan adat.
Cikal bakal hukum sara Binongko dengan inti ajaran Islam mulai ada pada periode 1530-1538. Akan tetapi, sejak 1946, praktik hukum sara cenderung tenggelam menyusul sejumlah perubahan tata pemerintahan setelah Indonesia merdeka.
Praktik hukum sara Binongko baru dimulai kembali pada Rabu, 28 Agustus 2013, setelah La Ode Hasahu Tarahayani ditetapkan sebagai Lakina Wali ke-24. Keputusan itu diambil oleh sara hu’u (tokoh adat) dan sarano agama (tokoh agama) sebagai sara hukumu (pemberi keputusan) di Baruga (balai adat) Sarano Wali, Kelurahan Wali, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Sebagian di antara keputusan tersebut didasarkan atas berbagai catatan yang dituliskan La Rabu. Catatan dan tulisan itu diperdengarkan di baruga tempat tokoh adat, agama, pemuda, pendidik, dan masyarakat hadir. ”Mereka semua setuju,” kata La Rabu.
Berkat catatan La Rabu, orang-orang juga menjadi tahu bahwa Wakatobi yang merupakan akronim dari Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko mestinya dituliskan sebagai Bitokawa.
Beragam tantangan
Sebagaimana berbagai catatan yang dikumpulkan untuk kemudian dituliskannya, beragam pula tantangan La Rabu selama bertahun-tahun itu. Misalnya, pandangan matanya yang mulai kabur sejak 2006 yang membatasi sebagian kemampuannya untuk membaca dan menuliskan beragam catatan yang diperolehnya. Sebagian lagi tantangan mempelajari penulisan dengan aplikasi komputer. Karena itulah, sebagian tulisan baru mulai didigitalisasi pada 2016 setelah sebelumnya hanya mengandalkan tulisan tangan.
Pada 2010, berlembar-lembar catatan dalam tulisan tangan itu hilang. Peristiwa itu terjadi tatkala dirinya bertugas di Pulau Wangi-wangi. Hilangnya catatan-catatan tersebut terutama disebabkan kelalaian peminjam naskah untuk mengembalikan atau kealpaan untuk menagihnya. La Rabu kemudian mengonsep ulang catatan-catatan yang hilang tersebut agar terselamatkan.
Atau tentang sejumlah tentangan beberapa pihak mengenai catatan-catatan sejarah yang dikumpulkannya. Terhadap para penentangnya ini, La Rabu menghadapinya dengan terbuka, sabar, dan penuh kelembutan.
Ia meladeni setiap orang yang mendatanginya untuk menggugat dan berdebat. Terkadang, La Rabu yang mendatangi sebagian orang itu guna menjelaskan apa dan latar belakang catatan tulisannya.
Banyak orang menjadi narasumber La Rabu. Dua orang di antaranya adalah La Mbaru, yang merupakan ayahnya, dan seorang tokoh penuh ilmu bernama La Herani.
”La Herani sudah meninggal. Ia orang miskin yang oleh sebagian orang dianggap bodoh, tetapi ternyata ilmunya sangat tinggi dan ia bisa bercerita tentang bagaimana asal mulanya bumi,” kata La Rabu yang saat mengisahkan itu sembari menunjukkan bulu kuduknya yang merinding.
Dua kali ia menunjukkan hal yang dialaminya itu tatkala mengisahkan tentang La Herani yang diingatnya sudah berusia 100 tahun pada 2002, tetapi tidak diingatnya kapan tahun meninggalnya.
Upaya menemui para narasumber aturan adat dan sejarah ini relatif tidak ringan. Selain aturan adat yang cenderung menghilang karena lama tidak dilembagakan, culadha tapetape cenderung diwariskan secara turun-temurun hanya kepada orang-orang terpilih.
”Hanya orang tertentu yang dianggap bisa memegang rahasia (cerita) itu,” kata La Rabu.
La Rabu memilih jalan sebagai pendidik dan penulis peradaban kaumnya setelah dirinya menyadari bahwa kehidupan pelaut seperti yang dijalani ayahnya tidak cocok bagi panggilan jiwanya. Kini, anak bungsunya yang duduk di kelas VI sekolah dasar mulai menunjukkan minat dan kemampuan sebagai penulis dan pembangun peradaban sebagaimana dilakukan La Rabu.
La Rabu Mbaru
- Lahir: Wali, Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 31 Desember 1963
- Istri: Nur’ati
- Anak:
- Mirnawati
- Muhammad Navrin Mbaru
- Anak ketiga meninggal, Merlianti
- Rahmat Al’amin Mbaru
- Pendidikan:
- SDN 56 Wali (lulus 1977)
- SMPN Binongko (lulus 1981)
- SPG Negeri Baubau (lulus 1984)
- D-II/A II PGSD UT Kendari (lulus 2002)
- S-1/A IV PGSD UT Kendari (lulus 2008)
- Penghargaan:
- Satyalencana Karya Satya dari Pemerintah Republik Indonesia pada 2004 atas pengabdian selama 20 tahun dalam bidang pendidikan.
- Sejumlah karya tulis, antara lain:
- Hikayat Haebu Kepulauan Bitokawa-Butuni di Waktu Gaib (2005)
- Tata Cara Perkawinan Menurut Adat Istiadat Wali Pulau Binongko (2006-2007)
- Dongeng-dongeng Nasihat Kampung Wali Binongko Wakatobi (2006-2007)
- Mengenal Sejarah dan Budaya Islam di Pulau Binongko (2009)
- Peradaban Binongko Wakatobi Buton (2017)