Bentang alam Raja Ampat menyimpan pesona wisata yang indah, magis, dan menawan, mengundang siapa saja untuk datang, mulai wisatawan, peneliti, hingga para penyelam terbaik. Sayangnya, hanya segelintir warga setempat yang mencicipi manisnya geliat pariwisata ini. Butuh keberpihakan kuat pemerintah agar mereka menjadi tuan rumah yang berdaya.

“Miniatur surga”, begitu orang-orang mengekpresikan keindahan alam di Raja Ampat, Papua Barat. Misool, satu dari empat pulau besar di kabupaten ini, adalah wujud bahwa keindahan itu nyata adanya. Pulau-pulau kecil aneka rupa yang batuannya terbentuk sejak sepersepuluh umur Bumi, laguna yang memesona, dan danau ubur-ubur adalah tujuan wisatawan umum. Tidak ketinggalan tentunya spot menyelam tak ada duanya yang mengundang penyelam dari berbagai belahan dunia datang melihatnya.

Aneka ragam pesona ini menjadi primadona, juga menjadi jualan pelaku wisata. Termasuk usaha segelintir para pelaku wisata lokal yang menyediakan tempat menginap, perahu, dan kebutuhan pelancong lainnya. Mereka berupaya terlibat dan mendapatkan manfaat langsung pariwisata yang digembar-gemborkan itu.

Meski begitu, untuk terlibat dalam sektor wisata itu tidak mudah. “Butuh biaya besar untuk bangun homestay itu. Saya memulainya pada 2004 dari bangunan kecil sampai menjadi seperti sekarang,” ucap Harun Sapua, warga pertama Kampung Harapan Jaya, Misool Selatan, yang mendirikan penginapan di kawasan Misool, saat ditemui pada Kamis (12/10).

Perkampungan Harapan Jaya, Misool Selatan, Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (11/10). Kawasan itu kerap dijadikan sebagai tempat penginapan alternatif bagi sebagian pengunjung.

Harun menceritakan, usahanya untuk membangun penginapan tidak mudah. Dia memulai dengan membangun dua kamar di sebelah rumahnya pada 2008. Harun beruntung karena beberapa tahun kemudian dia mendapat bantuan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat sehingga bisa membangun penginapan di atas bukit bergaya bungalow, sekitar 50 meter dari kediamannya.

Saat ini, rata-rata jumlah wisatawan yang singgah di homestay milik Harun sekitar 30-50 orang tiap bulan. Angka tersebut sudah cukup baik baginya karena di penginapan lain belum tentu mendapat jumlah sebanyak itu. Setiap wisatawan dikenai tarif Rp 350.000 per malam. Harga itu masih sering dia pangkas dengan syarat pengunjung membantunya mempromosikan tempatnya di media sosial. “Kalau tidak begitu, susah promosinya,” lanjutnya.

Konsep ekowisata yang sangat mungkin diterapkan di Misool dan wilayah Raja Ampat lainnya belum berjalan.

Menurut Harun, pemerintah harus lebih terlibat aktif dalam semua program agar masyarakat mendapat manfaat yang sama dalam pariwisata. Keterlibatan itu bisa berupa bantuan promosi, modal, atau melibatkan masyarakat umum dalam berbagai program wisata pemerintah.

Di wilayah Misool, sedikitnya ada delapan penginapan milik warga lokal yang telah terbangun. Sebagian penginapan ini tersebar di beberapa kampung dan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni.

Penginapan-penginapan di Misool rerata berupa bangunan dari kayu, bergaya vila atau bungalow. Kamar-kamar dilengkapi dengan kasur busa, kipas, lengkap dengan kamar mandi. Beberapa yang tarifnya jutaan per kepala dilengkapi dengan pendingin udara dan televisi.

[kompas-image-360 src=”https://d3vdlgg67cepnu.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/226/2017/12/Harapan-Jaya-X.jpg” caption=”Kampung Harapan Jaya.” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]

Segelintir orang

Di Raja Ampat, tidak semua “seberuntung” Harun atau pengelola penginapan yang rutin mendapat kunjungan. Sektor pariwisata ini hanya dinikmati segelintir warga lokal. Terbatas pada pemilik penginapan, dive master, pemandu, dan pekerja di penginapan yang kebetulan mempunyai peluang. Itupun dengan pengunjung yang stagnan setiap bulannya.

Bahkan, dari temuan pengajar Universitas Papua Manokwari, George Mentansan, di Distrik Waigeo Barat pada 2016, ada penginapan yang tidak pernah didatangi wisatawan dalam waktu dua tahun. George aktif melakukan riset sosial budaya di Raja Ampat.

Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Raja Ampat, jumlah kunjungan wisatawan ke Raja Ampat terus bertambah dari tahun ke tahun. Dari 2014 hingga 2016, berturut-turut jumlah kunjungan mencapai 12.938 orang, 14.190 orang, dan 15.971 orang. Jumlah ini didominasi wisatawan mancanegara yang mencapai empat kali lipat dibandingkan wisatawan lokal.

Kapal membawa wisatawan berkunjung ke Goa Keramat di Misool, Raja Ampat, Jumat (13/10). Di mulut goa terdapat dua makam yang dipercaya masyarakat lokal sebagai makam pembawa Islam ke Misool.

Sebagian wisatawan datang ke resor dan hotel yang berfasilitas lengkap, memiliki promosi yang baik, karena didukung dana yang lebih. Belum lagi dengan wisatawan yang memakai kapal pesiar, atau konsep living on board (datang dan menginap di kapal). Mereka akan menghabiskan sebagian besar waktu di atas kapal yang penuh fasilitas lengkap yang harga per harinya mencapai puluhan juta rupiah.

Dari data semester I-2016, pendapatan retribusi penginapan paling besar diperoleh dari kapal pesiar atau wisata. Jumlahnya mencapai angka Rp 200 juta. Jumlah ini lebih besar dari retribusi lima hotel dan resor di Raja Ampat yang jumlahnya hanya sekitar Rp 60 juta. Namun, pendapatan paling besar daerah dari sektor pariwisata adalah retribusi kartu wisata/kartu masuk atau di sana disebut pin. Jumlahnya mencapai Rp 3,8 miliar.

Pin wisata adalah retribusi yang ditarik dari setiap wisatawan yang datang ke Raja Ampat. Wisatawan lokal dipungut Rp 500.000, sedangkan wisatawan mancanegara bertarif Rp 1 juta per orang. Kartu masuk ini berlaku selama setahun.

Integrasi wisata

Wisatawan juga minim berinteraksi dengan warga karena hanya beberapa agen perjalanan yang “menjual” tur atau atraksi kesenian/budaya di kampung. Konsep ekowisata yang sangat mungkin diterapkan di Misool dan wilayah Raja Ampat lainnya belum berjalan. Di Kampung Harapan Jaya, Yellu, Fafanlap, dan perkampungan lainnya, kehidupan wisatawan seakan tereksklusi.

Pariwisata belum dikemas terintegrasi dengan kehidupan sosial budaya warga setempat. Sebab, rute wisatawan hanya dari penginapan, melihat lokasi wisata, menyelam, dan kembali ke penginapan.

Masyarakat akan semakin terpinggirkan oleh industri pariwisata yang dikuasai pemilik modal besar.

Kepala Kampung Fafanlap Yasin Wainsaf menjelaskan, dia tidak pernah mengetahui berapa jumlah wisatawan yang datang setiap bulannya. Sebab, tidak pernah ada koordinasi antara pihak kampung dan pelaku wisata.

”Saya, kalau terkait homestay dan wisata, tidak mau komentar karena saya tidak pernah dikasih tahu oleh mereka (pemilik penginapan dan pelaku wisata),” kata Yasin.

Yasin menginginkan pariwisata bisa mendongkrak taraf hidup masyarakat. Sebab, di Kampung Fafanlap, dari 256 keluarga, sebagian besar adalah nelayan dan petani. Dari jumlah tersebut, 104 keluarga termasuk keluarga miskin yang mendapat bantuan beras rakyat miskin setiap bulan.

”Kami berharap pemerintah jeli melihat peluang agar masyarakat bisa tersentuh (dampak pariwisata). Mungkin harus bentuk kelompok wisata agar masyarakat berdaya,” ujarnya melanjutkan. Meski begitu, dia juga mengakui belum pernah mengajak pelaku wisata untuk membicarakan banyak hal terkait wisata.

Kondisi bawah laut salah satu sudut dalam titik selam Boo Window di kawasan Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Selasa (10/10). Keragaman biota laut di lokasi tersebut membuat sebagian penyelam menekuni sejumlah titiknya.

George Mentansan menambahkan, selama ini pemerintah gencar melakukan promosi wisata alam dan keindahan kawasan “sepotong surga” ini. Akan tetapi, melupakan promosi terhadap para pelaku wisata lokal sekaligus aspek sosial budaya setempat. “Ini belum cukup karena masyarakat luas tidak merasakan manfaat yang sama. Seharusnya pemerintah menekankan bagaimana agar promosi penginapan warga dan kehidupan warga setempat,” kata George.

Dengan kondisi seperti ini, dia khawatir akan timbul hal-hal yang kontraproduktif dengan pariwisata yang digaungkan. “Masyarakat akan semakin terpinggirkan oleh industri pariwisata yang dikuasai pemilik modal besar. Akan timbul juga resistensi yang menganggu iklim pariwisata.”

Tanah Papua telah puluhan tahun dieksploitasi dari berbagai sisi. Sudah sepantasnya mereka menjadi tuan rumah di segala bidang, termasuk sektor pariwisata. Bukan sekadar pelayan yang menerima remah-remah berkah pariwisata. (SAIFUL RIJAL YUNUS)