Sinar keemasan matahari petang menembus sela-sela pohon bambu berduri yang tumbuh rapat di sepanjang jalan setapak. Pohon yang disebut to’e oleh masyarakat setempat itu seolah dihadirkan untuk menambah decak kagum wisatawan dalam perjalanan menuju Goa Batu Cermin.

Suasana Goa Batu Cermin pada Agustus 2017. Goa yang berlokasi sekitar 15 menit dari pusat kota Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, ini menjadi salah satu dari setidaknya 80 obyek wisata di daratan Pulau Flores di wilayah Manggarai Barat.

Tak sampai sepuluh menit berjalan menyusuri jalan setapak, Goa Batu Cermin sudah terlihat. Goa tersebut berada di antara bebatuan kapur, menjulang hingga 75 meter tingginya. “Goa ini ditemukan masyarakat kemudian diteliti seorang misionaris yang juga arkeolog dari Belanda, Theodore Verhoven, tahun 1951,” tutur Sofia Irma (18), murid kelas III SMKN 1 Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Dia ditugaskan sekolahnya untuk menjadi pemandu bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke Batu Cermin.

Berdasarkan penelitian Verhoven, kawasan goa itu dahulu kala berada di pesisir. Ini terbukti dari sisa-sisa hewan laut dan terumbu karang yang telah menjadi fosil di dalam goa. Saat masuk ke dalam goa, Sofia memperlihatkan dinding dan langit-langit goa yang berisi fosil ikan, kura-kura, dan terumbu karang. Ini menjadi salah satu daya tarik goa, yang selalu dipamerkan kepada wisatawan.

Wisatawan mengamati langit-langit Goa Batu Cermin yang berlokasi sekitar 15 menit dari pusat kota Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada Agustus 2017.

Namun, tak hanya fosil itu yang dipamerkannya. Stalaktit yang menghunjam dari langit goa dan stalakmit yang mencuat dari lantai goa menjadi daya tarik lain. Terkadang, untuk melewatinya, pengunjung harus merunduk, bahkan berjongkok. Ketika stalaktit dan stalakmit itu dipukul dengan benda keras, akan mengeluarkan bunyi seperti alat musik dengan nada tertentu.

Ketika wisatawan dibawa lebih jauh ke dalam goa, mereka akan mendapati ruang sempit dengan lubang di langit goa. Saat siang hari, cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang. Cahaya yang memantul di dinding goa kemudian memantul kembali ke area lain dalam goa sehingga batu goa berperan bak cermin. Refleksi cahaya pun membuat permukaan batu mengkilat, bahkan berwarna keemasan hingga kehijauan. ”Makanya, goa ini disebut goa batu cermin,” ujar Sofia.

Pesona wisata lain

Goa Batu Cermin dapat dijangkau hanya dalam 15 menit berkendara dari pusat Kota Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat. Goa Batu Cermin bahkan hanya satu dari 80 obyek wisata di Pulau Flores di wilayah Manggarai Barat. Obyek-obyek wisata lain pun menawarkan pesona yang tak kalah dengan Batu Cermin.

Air terjun Cunca Wulang di Desa Wersawe, Kecamatan Mbeliling, adalah salah satu contohnya. Selain pesona air terjunnya, lokasi ini disebut pula sebagai Grand Canyon Manggarai Barat. Ini karena aliran sungainya diapit tebing-tebing tinggi menyerupai Grand Canyon di Amerika Serikat.

Ada pula desa wisata Liang Ndara, di Mbeliling, tempat wisatawan dapat menyaksikan budaya masyarakat Manggarai. Budaya itu antara lain tarian tradisional, seperti tarian caci, yang biasa digelar setelah masa panen sebagai ungkapan rasa syukur.

Areal pantai berpasir putih di Waecicu, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Agustus 2017. Pantai ini tak lagi menjadi ruang publik untuk berwisata karena areal pesisir dikuasai investor untuk dibangun hotel.

“Hanya saja, mayoritas dari total sekitar 80 obyek wisata itu belum dikelola dengan baik. Akses jalan ke lokasi masih buruk, sarana dan prasarana pendukung masih minim. Jadi, tidak mudah untuk menarik wisatawan agar berkunjung ke obyek-obyek wisata itu,” tutur Pius Baut, Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat.

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat ingin sekali membenahi hal-hal tersebut, tetapi terkendala anggaran. “Dengan penetapan Labuan Bajo sebagai satu dari sepuluh destinasi pariwisata prioritas, pemerintah pusat seharusnya ikut membantu mengatasi kendala yang kami hadapi,” kata Pius Baut.

Jika obyek-obyek wisata itu dibenahi, diprediksi waktu kunjungan wisatawan di Manggarai Barat dapat lebih lama dari selama ini yang hanya enam hari. Tak hanya itu, pembenahan obyek-obyek wisata lain diyakini sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati lingkungan di Labuan Bajo akan mampu mengurangi beban yang kini dipanggul Taman Nasional Komodo (TNK).

Khawatir rusak

Selepas gelaran Sail Komodo 2013, TNK menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara dan Nusantara. Hampir semua wisatawan yang datang ke Labuan Bajo menjadikan TNK sebagai tujuan utama mereka. Labuan Bajo seolah hanya tempat transit sebelum melihat komodo atau menikmati alam bawah laut di TNK.

Namun, peningkatan jumlah wisatawan menyimpan kekhawatiran akan rusaknya keasrian taman nasional tersebut. Hasil penelitian terumbu karang oleh World Wildlife Fund (WWF) di TNK, akhir tahun 2016, setidaknya menguatkan kekhawatiran itu. Dari penelitian itu, rata-rata tutupan karang keras TNK dalam kondisi sedang, yakni 31,26 persen. Adapun tutupan patahan karang mencapai lebih dari 10 persen.

Pemandangan bawah laut di titik penyelaman Sebayur Kecil, Manggarai Barat, Senin (28/8). Kondisi terumbu karang dan aneka biota laut di perairan di Manggarai Barat, terutama di kawasan Taman Nasional Komodo, banyak menarik wisatawan.

“Terjadi kerusakan terumbu karang di TNK yang salah satu penyebabnya adalah aktivitas wisata yang berlebihan. Kapal-kapal wisata juga buang jangkar sembarangan sehingga merusak karang. Aktivitas penyelam juga kerap kali justru merusak karang,” kata Koordinator Program WWF di TNK Jensi Sartin.

Tidak hanya dampak bagi alam bawah laut, Koordinator Program Komodo Survival Program (KSP) Deni Purwandana juga khawatir terhadap dampak peningkatan wisatawan ke perilaku komodo. Jika perilaku komodo berubah, jelas berpengaruh ke tingkat kesintasan mereka, yang berpotensi mengancam eksistensi komodo.

Karena itu, WWF dan KSP mengusulkan agar TNK meneliti seberapa besar kemampuan kawasan menerima wisatawan. Jika hasil kajian itu menyimpulkan jumlah wisatawan saat ini sudah berlebih, Balai TNK harus membatasi jumlah wisatawan.

Wisatawan menikmati pemandangan saat senja di atas bukit di Gili Lawa Darat di kawasan Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Selasa (29/8). Selain alam lautnya, pesona darat di kawasan ini juga menjadi daya tarik wisatawan.

Walau demikian, sebelum dilakukan penelitian, kata pemerhati lingkungan di Manggarai Barat, Fajarudin, tidak ada salahnya jika pemerintah mendorong perbaikan sarana dan prasarana pendukung di obyek wisata lain di luar TNK. Dengan metode itu, wisatawan dapat terdorong berkunjung ke obyek wisata lain sebelum ke TNK sehingga mengurangi beban yang dihadapi taman nasional tersebut.

Opsi lainnya, pemerintah bersama TNK perlu mencari obyek wisata lain di luar ataupun di dalam TNK, yang menawarkan keindahan bawah laut mirip lokasi-lokasi yang selama ini menjadi tujuan wisatawan untuk melihat alam bawah laut TNK. “Sebenarnya, masih banyak titik penyelaman yang tak kalah indahnya, baik di dalam TNK ataupun di luar TNK di wilayah Manggarai Barat. Ini yang perlu digali dan ditawarkan ke wisatawan supaya tidak menumpuk di titik-titik selam yang selama ini ada di TNK,” kata Fajarudin. (ANTONIUS PONCO ANGGORO)