Menyelam di Selat Lembeh, Sulawesi Utara, menyisakan decak kagum. Tak seperti destinasi wisata bawah laut lain di Tanah Air, Lembeh menyajikan kekayaan hayati yang unik dan sebagian besar berukuran kerdil. Namun, biota-biota penggugah indera itu kini terancam oleh pembangunan megaproyek Kawasan Ekonomi Khusus Bitung.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/f58c7150-4024-4ef6-81d6-b0847c0514c0/kvms_184465_20171030_jelajah_koral_lembeh.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Nama Lembeh sudah tentu menjadi urutan teratas ketika para penggemar fotografi makro bawah air diminta menyebutkan lokasi menyelam favorit mereka. Perairan berupa selat antara Pulau Lembeh dan daratan Pulau Sulawesi tersebut bahkan kerap dijuluki sebagai salah satu surga fotografi makro bawah laut dunia.’ credit=” cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/11/184465_p.png?v=46′ /]
Meyer Musa (29) tersenyum puas saat melihat hasil jepretan kameranya. Lelaki yang berprofesi sebagai pemandu selam itu baru saja menjelajahi titik penyelaman Nudi Falls, perairan Selat Lembeh, Senin (11/9) siang.
Dengan bangga, dia menunjukkan foto kuda laut bargibanti pigmi berwarna abu-abu merah menyala (Hippocampus bargibanti) yang memesona. Biota yang berukuran panjang kurang dari 2 sentimeter itu seolah menatap ke lensa saat dipotret. Ciamik…!
Kuda laut bargibanti hidup di kedalaman sekitar 24 meter di peraian Lembeh. Fauna tersebut menempel pada karang kipas laut (seafan) dan berkamuflase nyaris sempurna dengan gorgonian yang menjadi inangnya. Menyamar begitu rapi.
Tak jauh dari kuda laut bargibanti berada, terhampar kawanan nudibranch berwarna kuning bergaris hitam menyala (Chromodoris magnifica) dan beberapa ikan karang yang menawan. Sebut saja cuttle fish, lion fish, frog fish, dan file fish.
Selat Lembeh yang terletak di Kota Bitung, Sulawesi Utara, merupakan perairan selebar 2 kilometer yang diapit Pulau Lembeh dan daratan utama Sulawesi. Dengan keberadaan biota mini yang begitu beragam, Lembeh kerap dijuluki sebagai salah satu surga fotografi makro bawah laut di dunia.
Tidak hanya di Nudi Falls, kekayaan biota kerdil tersebar di banyak tempat di perairan Lembeh. Pemerintah Kota Bitung mencatat terdapat 95 titik penyelaman di Selat Lembeh dan sebagian besar terkenal akan biota unik tersebut. Bahkan di antaranya merupakan spesies terkecil di dunia.
Magnet wisata
Lewat keanekaragaman biota mini yang sudah tersohor di kalangan penyelam, Lembeh menjadi daya tarik tersendiri bagi penggila fotografi bawah laut. Seiring dengan gencarnya promosi, tak heran jika kunjungan wisatawan meningkat pesat.
Merujuk pada data Dinas Pariwisata Kota Bitung, kunjungan wisatawan ke Kota Bitung meningkat hingga tujuh kali lipat dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2013, jumlah turis lokal tercatat sebanyak 5.650 orang dan wisatawan asing 2.530 pengunjung. Adapun pada 2016 jumlah turis lokal mencapai 37.271 orang dan wisatawan asing sebanyak 28.250 pengunjung.
Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata Kota Bitung Jane Wauran menyebutkan, salah satu andalan pariwisata di Kota Bitung adalah kekayaan biota bawah laut di Selat Lembeh. Pengunjung yang tertarik untuk berkunjung ke Lembeh justru kebanyakan wisatawan asing, antara lain dari China, Jepang, Jerman, serta sejumlah negara Eropa lain.
Akan tetapi, biota eksotis Lembeh yang menjadi andalan pariwisata bawah laut dapat terancam hilang seiring dengan rencana megaproyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung. Apalagi, pembangunan KEK hanya terpaut jarak kurang dari 10 kilometer dari mayoritas titik penyelaman di Selat Lembeh.
Pembangunan KEK Bitung memang tak terhindarkan saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Bitung. Pembebasan lahan hingga kini terus berproses meskipun sosialisasi terkait dampak megaproyek itu terbilang minim.
Padahal, Konvensi Keanekagaraman Hayati Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCBD) telah mengusulkan Selat Lembeh menjadi kawasan dengan perlindungan secara biologis dan ekologis. Kawasan lain di Indonesia yang dinilai butuh perlindungan serupa adalah area upwelling pantai Sumatera-Jawa, Raja Ampat dan bagian utara ”Kepala Burung” Pulau Papua, Ekoregion Laut Sulu-Sulawesi, serta Selat Maluku Selatan.
Dampak ekologi
Ucu Yanu Arbi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bertugas di Bitung, menilai, pembangunan KEK Bitung yang juga mencakup kegiatan reklamasi berpotensi mengganggu keberadaan biota di Selat Lembeh. Hal ini berdasarkan pengamatan Ucu terhadap kondisi lingkungan bawah laut Lembeh.
”Dengan adanya pembangunan, bentang alam dapat berubah sehingga berdampak pada pola arus. Perubahan arus itu akan mengganggu biota bawah laut. Selain itu, ancaman yang paling terasa adalah limbah industri,” ungkap Ucu yang turut menyelam bersama kami dan mengamati biota di delapan titik penyelaman di Selat Lembeh.
Sebagai pemandu yang hampir setiap bulan menyelam di Selat Lembeh, Meyer Musa pun khawatir terhadap rencana pembangunan KEK Bitung. Dengan kondisi perairan Lembeh yang sempit, kekayaan hayati di selat itu dapat mudah terdampak pembangunan. ”Lembeh selama ini terkenal di kalangan pencinta fotografi makro bawah laut. Kalau sampai biotanya hilang, apa lagi yang mau dilihat,” ujar Meyer.
Tak hanya pegiat selam dan wisatawan, nelayan dan warga juga cemas dengan masa depan mereka terkait pembangunan KEK Bitung. ”Kalau ikan-ikan di sini hilang karena laut rusak, kami mau cari makan dari mana,” ucap Nober Suef (33), warga Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari, Bitung. Tanjung Merah adalah salah satu kelurahan yang menjadi lokasi pembangunan KEK Bitung.
Berdasarkan dokumen adendum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) KEK Bitung yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara tahun 2012, tertuang bahwa limbah cair, bau, debu, dan limbah padat yang ditimbulkan akibat kegiatan operasional KEK Bitung berpotensi merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan warga. Untuk itu, dibutuhkan upaya antisipasi.
Senada dengan dokumen amdal itu, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung Sadat Minabari mengakui hal serupa. Pembangunan KEK Bitung dipastikan menimbulkan dampak ekologis, seperti gelontoran limbah industri yang dapat mengganggu biota laut.
Namun, lanjut Sadat, pembangunan KEK tetap dapat berjalan jika terdapat upaya pengelolaan dampak lingkungan, seperti pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan. Pembuatan IPAL diwajibkan bagi seluruh kegiatan industri.
Terkait dengan kegiatan reklamasi untuk pembangunan KEK, Sadat menyatakan, dokumen amdalnya masih dalam penyusunan karena berbeda dengan amdal operasional KEK Bitung. Hanya saja, dia mengakui, aktivitas reklamasi bakal berdampak pada perubahan pola arus dan memicu erosi di kawasan lain.
Untuk mengantisipasi perubahan pola arus yang mengganggu biota laut dan erosi, dapat didirikan bangunan yang ditujukan sebagai rekayasa sedimen. ”Dokumen amdal terkait reklamasi saat ini masih berproses. Tentu saja akan dikaji kondisi arus dan pasang surut gelombang di sekitar Lembeh,” ujar Sadat.
Secara terpisah, Kepala Biro Ekonomi dan Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Utara Franky Manumpil mengklaim, pembangunan KEK Bitung telah memiliki kajian terkait dampak lingkungan yang akan ditimbulkan. Nantinya, kajian itu akan diselaraskan dengan Peraturan Daerah Sulawesi Utara Nomor 1 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Sadat menyebutkan, kunci untuk meminimalkan dampak lingkungan dari pembangunan KEK Bitung adalah pengawasan. Ini untuk memastikan upaya antisipasi yang tertuang dalam dokumen amdal diimplementasikan. ”Tapi, jika kita berpandangan hanya menjaga lingkungan tanpa ada pembangunan, bagaimana sebuah kota akan maju,” ucap Sadat.
Saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (12/9), Wali Kota Bitung Max Jonas Lomban mengungkapkan, wisata bawah laut di Selat Lembeh menjadi salah satu unggulan dalam menumbuhkan perekonomian Kota Bitung. Di sisi lain, pembangunan KEK Bitung juga tetap dilakukan untuk percepatan ekonomi.
Dikhawatirkan, alih-alih melindungi Lembeh sesuai dengan anjuran UNCBD, pemerintah saat ini cenderung menitikberatkan penataan kawasan itu sebagai pusat perekonomian baru. Jika aspek lingkungan dalam pembangunan KEK tidak ditaati, biota bawah laut Selat Lembeh seperti berpacu dengan waktu menuju ambang kehancuran.
Dengan kata lain, bukan tak mungkin Selat Lembeh sebagai surga fotografi makro hanya akan menjadi sejarah, yang dikenang melalui kisah para penyelam tua serta tautan informasi di dunia maya. (HARRY SUSILO/ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI)