Mulut sempit Teluk Jailolo di Maluku Utara menyimpan ekosistem perairan yang saling terkait. Mulai dari rataan karang sekitar Pulau Pastofiri serta banyak polip menempel di sekitar Pulau Babua hingga tutupan karang yang sangat bagus di Rumah Merah. Mereka hidup berdampingan dalam satu ekosistem Teluk Jailolo yang saling melengkapi.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/4e798871-d053-4701-a5bb-d03669a407eb/kvms_174285_20171107-nnn-jailolo.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’KOMPAS/Novan Nugrahadi’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/11/174285_p.png?v=6′ /]
Diduga kuat, rataan karang di Rumah Merah yang memiliki tutupan hingga 80 persen–atau sangat bagus menurut kriteria Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia—ini menjadi sumber penghasil larva karang. Oleh aliran arus yang berputar di dalam teluk, bibit-bibit itu disebarkan di seantero teluk bahkan hingga luar teluk mencapai Ternate atau bahkan lebih jauh lagi melintasi samudra.
Teluk Jailolo, seperti namanya, terletak di hadapan keagungan Gunung Jailolo yang memberi penanda pulau besar Halmahera saat dipandang dari Ternate. Gunung Jailolo yang menyimpan energi panas sangat tinggi tersebut bahkan mengalirkan aliran-aliran air panas hingga ke pantai-pantai setempat.
[kompas-google-maps id=”map-canvas”]
Di sepanjang pantai, seperti di sekitar Vila Sabua Gaba hingga Desa Bobo, mengucurlah air hangat bahkan cenderung panas. Air panas ini membuat pinggir-pinggir pantai setempat sangat minim atau bahkan tak ditumbuhi karang. Namun, di sisi lain, energi panas ini diduga membuat populasi plankton meningkat dan disukai pemangsa-pemangsanya.
Perkiraan sederhana ini didapatkan tim Kompas ketika memulai kegiatan Jelajah Terumbu Karang di Teluk Jailolo, sekitar 1 jam perjalanan kapal cepat dari Ternate, kota besar di Maluku Utara. Selama sepekan tim Kompas menjelajah bawah laut teluk serta ”memotret” kehidupan bawah laut serta masyarakat setempat.
Di bawah laut, tim Kompas didampingi Muhammad Abrar, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Turut bergabung seniman Eko Supriyanto, instruktur selam berlisensi Tommy Chandra dan Wili dari Nasijaha Ternate. Dari jauh hari sebelumnya, Eko yang telah melambungkan nama Jailolo dalam pentas tari dunia, mengatur jadwalnya untuk ikut serta dalam penyelaman bersama Kompas.
Eko, atau akrab disapa Mas Eko Pece ini, mengajak tim untuk memulai penyelaman di Pastofiri. Di sebuah pulau kecil berbentuk bulan sabit yang tersusun alami dari patahan-patahan koral Inilah lokasi penyelaman terjauh di dalam Teluk Jailolo.
Sensasi aneh menghinggapi tim ketika rasa berat kayuhan kaki terasa seperti memasuki air yang lebih padat. ”Rasa berat itu karena daerah ini perlintasan massa air permanen,” kata Abrar.
Aliran massa air ini memang terasa berbeda dibandingkan massa air yang berpindah karena perbedaan pasang surut. “Kalau arus pasang surut itu tiba-tiba muncul dan kuat. Kalau rasa berat dari arus yang kita rasakan tadi itu konstan dan tidak terasa air mengalir tapi ada beban kuat sehingga massa air terasa sekali,” kata Abrar.
Perpindahan massa air dari Samudra Pasifik menuju Samudera Hindia ini secara teknis dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia atau Arlindo (Indonesian Throughflow). Di Halmahera inilah terdapat ”gerbang masuk” massa besar air itu.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/7e24b274-ed91-419f-85ab-89b6eee4c7f4/kvms_174304_20171009_jelajah_koral_menjelajah_episentrum_segitiga_terumbu_karang.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Teluk Jailolo yang berada di Pulau Halmahera tak disangka memiliki keunikan kondisi ekosistem yang bervariasi di lokasi-lokasi penyelamannya. Mulai dari terumbu karang di sekitar Pulau Pastofiri, Pulau Babua, Tanjung Gigi Gurango, hingga Red House yang tak jauh dari pemukiman menawarkan keunikan tersendiri.’ credit=’KOMPAS’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/11/174304_p.png?v=19′ /]
Selain keberadaan Arlindo, perairan setempat juga dipengaruhi gerakan massa air dari Mindanao-Filipina dan dari utara Papua yang bertemu di perairan sekitar utara Halmahera untuk selanjutnya membentuk pusaran raksasa Halmahera (Halmahera Eddies). Gerakan massa air itu seluruhnya melintasi Gerbang Halmahera yang berpusat di sekitar Morotai.
Aliran massa air ini jelas berefek pada kondisi ekosistem lokal. Misalnya, sejumlah besar air itu membawa partikel-partikel nutrient ataupun larva ikan dan karang dari sejumlah daerah yang jauh. Larva ikan dan karang dari pulau-pulau di Pasifik, seperti terumbu karang di Hawaii ataupun negara-negara pulau kecil, seperti Solomon, Vanuatu, dan Fiji, juga terbawa dalam massa air. Apabila kondisi ekosistem setempat mendukung, larva akan bertumbuh dan bahkan berkembang biak.
Kumpulan berbagai jenis ikan dan karang ini membuat daerah Halmahera dan “Kepala Burung Papua” kaya biodiversitas. ”Center of biodiversity dan bukan center of origin,” kata Abrar. Istilah itu diibaratkan pada konteks pluralisme suku bangsa. Dicontohkan, Jakarta merupakan tempat berkumpulnya banyak orang dari berbagai suku, sebaliknya daerah pedalaman di Papua hanya dihuni suku setempat. Jakarta adalah pusat keberagaman, sedangkan daerah di Papua itu menjadi pusat keaslian.
Namun, kararakter local, seperti proses geologi pembentukan wilayah serta berbagai factor, seperti efek gunung berapi, dapat memunculkan fauna-fauna endemis. Jangan heran jika di Halmahera ditemukan hiu berjalan (Hemiscyllium halmahera) yang memperlihatkan kalau perairan itu memiliki karakter unik. Sayangnya, dalam penyelaman kemarin, tim tak menjumpai H halmahera yang kerabat subspesiesnya juga ditemukan di Raja Ampat dan Kaimana, Papua Barat, bahkan di perairan Komodo.
Pada hari pertama penyelaman, di sekitar Pastofiri, lebih dari separuh perjalanan kondisi dasar perairan dipenuhi patahan karang. Tak ditemukannya indikasi bekas bom menyimpulkan bahwa patahan ini murni disebabkan kondisi perairan yang berarus. Patahan-patahan karang yang tidak saling melekat ini tak stabil dan mudah tergeser oleh aliran arus yang berubah sesuai musim. Kondisi ini membuat larva karang susah menempel pada karang.
Diprediksi, tutupan karang hanya 20-30 persen atau kategori buruk menurut kriteria LIPI. Hanya saja, di situ berbagai softkoral tumbuh subur yang mengindikasikan sebagai daerah berarus kuat.
Berpindah ke lokasi Pastofiri kanan, yang lokasinya di dalam teluk, kondisi karang jauh lebih bagus, 60-70 persen. Di tempat ini pula, tim bertemu hiu jenis sirip hitam (blacktip) yang langsung menghindar ketika menjumpai penyelam.
Kondisi berbeda dialami pada titik penyelaman selanjutnya di NHR6 yang diambil dari nama bupati awal Jailolo, Namto Hui Roba. Di tempat ini serta di sekitar Pulau Babua, juvenile karang berukuran kurang dari 10 sentimeter mulai tumbuh menempel pada media batu ataupun karang mati. Diduga kuat, daerah ini sedang mengalami rehabilitasi karena pernah menjadi sasaran aktivitas bom ikan yang merusak terumbu karang.
Pengukuran oleh M Abrar juga memperlihatkan perekrutan yang sangat tinggi. Dalam transek ukuran 70 x 50 sentimeter didapati 33 koloni karang. Sebagai perbandingan, di banyak lokasi lain, rata-rata hanya terdapat kurang dari 10 koloni per meter persegi area substrat. Adapun kategori sangat tinggi bila terdapat 12-15 koloni per meter persegi.
Dari sekian titik ini, yang tak disangka-sangka adalah lokasi penyelaman di Red House yang berlokasi sangat dekat dengan permukiman di Jailolo. Nama lokasi ini pun diambil dari warna merah tempat penginapan Vila Sabua Gaba di seberangnya.
Penyelam harus berhati-hati dengan kedalaman lokasi entry yang sangat dangkal, sekitar 2 meter, agar tidak mematahkan tubuh karang akropora yang sangat rapuh. Abrar yang turun terakhir pun tak mampu menutupi kegembiraan hatinya saat menjumpai tutupan karang yang sangat rapat ini.
”Keren sekali ini, karangnya sangat rapat,” katanya sampai-sampai tidak menyadari jam tangan komputer selam yang digantungnya di BCD sampai terlepas. Ia memperkirakan terdapat 50-60 jenis karang yang menunjukkan keanekaragaman sedang.
Meski jumlah jenis karangnya relatif sedikit, tutupannya mencapai lebih dari 80 persen atau sangat baik. Melihat tutupan yang sangat rapat ini, Abrar menduga daerah ini menjadi sumber penghasil larva yang kemudian didistribusikan di daerah ini ataupun ke luar dari Teluk Jailolo menuju Ternate, Tidore, bahkan lebih jauh lagi tergantung arus dan jenis larva.
Sirkulasi arus bawah laut global ataupun lokal yang sangat kompleks di Jailolo masih penuh dengan misteri. Namun, di Jailolo, satu ekosistem lengkap di cekungan Pulau Halmahera ini menjadi bukti nyata bahwa jejaring ekosistem air laut ternyata memiliki perannya masing-masing. (ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI)