Teluk Cenderawasih sudah sejak lama menjadi surga bagi terumbu karang dan biota laut yang beraneka ragam. Posisi Teluk Cenderawasih yang menjorok ke daratan bagaikan cekungan raksasa yang menyimpan kekayaan laut yang tumbuh di dalamnya.
Teluk yang berada persis di leher ”kepala burung” Pulau Papua ini bentuknya menyerupai mangkuk yang menampung perairan dalam di bagian tengahnya dan perairan dangkal di bagian tepinya.
Struktur geologi yang unik ini terbentuk melalui proses evolusi oseanografis selama jutaan tahun lamanya sehingga melahirkan rupa bumi Teluk Cendrawasih yang bertepikan daratan membentang di sebelah barat-selatan dan timur. Daratan ini dilindungi gugus kepulauan di sebelah utara, di antaranya Pulau Biak, Supiori, Numfoor, Num, Yapen, Kurundu, dan Kepulauan Padaido. Dengan morfologi teluk seperti ini, kondisi perairan di Teluk Cenderawasih relatif tenang karena terbentengi pulau-pulau di sebelah utara.
Berdasarkan peta geologi dasar laut, titik terdalam di teluk itu berada pada kedalaman sekitar 1.500 meter di bawah permukaan laut. Selebihnya merupakan perairan dangkal dengan kedalaman berkisar 200-500 meter di bawah permukaan laut.
Akses masuk ke teluk hanya bisa dilewati melalui Selat Wounui di sebelah barat atau Selat Kurudu di Teluk Waropen di sebelah timur. Selat Wounui berkedalaman 200-1.000 meter, sementara Selat Kurudu dalamnya mencapai 500 meter. Struktur alam ini menggambarkan bahwa perairan di Teluk Cenderawasih memiliki tipe semitertutup. Massa air lautnya masih terpengaruh massa air dari Samudra Pasifik, tetapi kehadiran gugus kepulauan di utaranya membuat air di Teluk Cenderawasih cenderung lebih hangat, berarus kecil, dan tenang.
Dengan tipe perairan seperti itu, Teluk Cenderawasih memiliki sejumlah kekhasan ekosistem bernilai tinggi sehingga perlu dijaga dan dilestarikan. Oleh sebab itu, pada 2002, Menteri Kehutanan menetapkan Teluk Cenderawasih sebagai taman nasional laut dengan luas kawasan mencapai 1,45 juta hektar. Dengan penetapan status ini, segala sesuatu yang berada di wilayah Taman Nasonal Teluk Cenderawasih (TNTC) harus sesuai dengan ketentuan peraturan. Zonasi yang sudah ditetapkan harus dipatuhi, baik itu oleh masyarakat setempat maupun siapa pun yang beraktivitas di wilayah TNTC.
Ekosistem laut
Wilayah Kepala Burung, Papua, merupakan salah satu kawasan yang memiliki ekosistem laut paling kaya di Indonesia. Khususnya kawasan Teluk Cenderawasih adalah salah satu kawasan dengan ekosistem sangat kaya di wilayah Kepala Burung, bahkan lebih beragam dari perairan Raja Ampat.
Menurut Kepala Balai Besar TNTC Ben G Saroy, Teluk Cenderawasih merupakan taman nasional yang mampu menandingi keindahan Taman Nasional Raja Ampat. ”Yang ada di Raja Ampat, ada juga di TNTC, tetapi yang ada di TNTC belum tentu ada di Raja Ampat,” ujar Ben.
Salah satu obyek yang menjadi daya tarik di TNTC adalah ikan hiu paus (Rhincodon typus). Hampir setiap hari megafauna ini dapat dilihat di sekitar Kwatisore, kawasan TNTC. Hiu paus yang terpantau di wilayah TNTC setidaknya ada 137 ekor. Ikan raksasa ini jarang terlihat di wilayah Raja Ampat.
Berdasarkan pantauan WWF, daya jelajah hiu paus dari wilayah TNTC bisa mencapai wilayah perairan di utara Pulau Papua hingga Filipina. Dalam penjelajahan tersebut, hiu paus ini seolah menghindari perairan Raja Ampat sehingga makhluk raksasa ini jarang sekali terpantau di wilayah ini. Padahal, posisi Raja Ampat dekat dengan jalur lintasan hiu paus.
Hal lain yang juga menjadi kekhasan TNTC adalah terumbu karang. Dalam laman WWF Indonesia disebutkan, TNTC memiliki tutupan terumbu karang yang luas dengan kualitas terbaik di dunia. Berdasarkan catatan WWF, pada 2006 dilakukan survei yang melibatkan ahli terumbu karang dunia dan menemukan lebih dari 500 spesies terumbu karang, termasuk 14 spesies baru, di perairan Teluk Cenderawasih.
Pulau Purup dan Selat Numamurang adalah lokasi dengan keanekaragaman hayati terbanyak yang pernah dicatat di seluruh dunia. Hasil pemantauan Coremap-CTI Pusat Penelitian Oseanografi LIPI 2016 menunjukkan, wilayah Teluk Cenderawasih memiliki status terumbu karang yang mayoritas (sekitar 58 persen) dalam kondisi baik, bahkan 8 persen lainnya sangat baik. Sisanya, dalam kondisi cukup baik.
Kondisi terumbu tersebut ditopang oleh kondisi kawasan pesisir pantai yang masih terjaga kelestariannya, hutan mangrove yang masih kokoh membentengi pulau, padang lamun yang subur, hingga hutan belantara yang masih terjaga keasliannya. Dukungan kondisi alam tersebut membuat perairan di Teluk Cendrawasih mampu menangkap sedimen dan menahan arus serta gelombang yang membuat kondisi terumbu karang di sini berada dalam kondisi yang baik.
Terumbu yang terpantau rusak umumnya bersinggungan dengan aktivitas manusia. Menurut pendataan WWF Indonesia dan Balai Besar TNTC yang dilakukan pada 2016, dari 36 titik yang dijadikan sampel pengamatan di kedalaman 0,5 meter-50 meter, sekitar 22 titik terumbu karang mengalami kerusakan sebagian akibat ulah manusia. Penyebabnya karena jangkar untuk mengikat perahu atau bagan dan ledakan dinamit untuk menangkap ikan. Di titik lain, kerusakannya disebabkan oleh badai.
Data pecahan karang tersebut tergolong tinggi, yakni rata-rata berkisar 29 persen dari seluruh terumbu karang yang dimonitor. Bahkan, setidaknya ada delapan titik kerusakan di zona inti yang tidak boleh sama sekali ada aktivitas manusia.
Untuk mengurangi kerusakan yang lebih parah, pihak TNTC perlu menyosialisasikan terus-menerus tentang zonasi wilayah perairan Teluk Cenderawasih kepada masyarakat. Misalnya, menangkap ikan secara tradisional hanya diperbolehkan di zona pemanfaatan terbatas. Namun, karena belum paham batasannya, masyarakat kadang merangsek hingga ke zona perlindungan dan inti.
Nelayan dan Ikan
Di wilayah TNTC ini setidaknya ada 80 kampung dan desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai nelayan dan petani. Sekitar 30.000 jiwa bermukim di wilayah taman nasional laut tersebut. Hal ini menyebabkan hasil laut berperan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya.
Alat tangkap, terutama perahu, yang digunakan masih sederhana. Mayoritas nelayan di sini menggunakan perahu tanpa motor. Perahu bermotor, baik motor tempel atau ketinting, berkisar 200 unit. Terbatasnya alat tangkap menyebabkan hasil perikanan di TNTC relatif tidak terlalu banyak.
Keterbatasan sarana tangkap ini yang terkadang membuat masyarakat cenderung menggunakan cara pintas dengan menggunakan peledak agar ikan cepat terkumpul tanpa mengeluarkan tenaga dan biaya lebih besar.
Pendataan WWF pada 2011 dan 2016 di beberapa lokasi di TNTC menunjukkan bahwa ikan dengan fungsi ekologis dan ikan ekonomis massanya meningkat, terutama di zona inti. Pada 2016, massa ikan fungsional, seperti ikan kakatua dan baronang, meningkat hingga kisaran lebih dari 350 kilogram per hektar dari sebelumnya yang kurang dari 200 kg per hektar pada 2011. Jenis ikan ini juga meningkat massanya di zona pemanfaatan dengan kisaran sekitar 100 kg per hektar.
Ikan ekonomi penting, seperti ikan jambian dan kerapu, juga turut meningkat massanya di zona inti, yakni hingga lebih dari 200 kg per hektar dari sebelumnya yang hanya berkisar 100 kg per hektar. Namun, ikan ekonomis ini di zona pemanfaatan jumlahnya justru berkurang, dari sebelumnya yang lebih dari satu kuintal per hektar menjadi hanya kisaran puluhan kilogram per hektar.
Kondisi tersebut mengindikasikan jika ikan-ikan di zona inti relatif terjaga dan berkembang biak lebih banyak. Selain itu, masyarakat mulai sadar untuk mengambil ikan di wilayah zona pemanfaatan saja.
Sekitar 74 persen nelayan lokal masih menggunakan alat pancing untuk menangkap ikan. Berbeda dengan nelayan dari luar, seperti dari Bali, Batam, Sulawesi Selatan, dan Nabire, yang lebih dari 70 persennya menggunakan bagan. Dalam semalam, nelayan bagan tersebut bisa 2-3 kali menurunkan jaringnya dengan hasil tangkapan hingga skala ton. Jauh sekali dengan nelayan lokal yang hanya hitungan ekor atau kilogram.
Pada kurun 2015-2016 ditemukan sekitar 24 nelayan bagan dari luar daerah yang beroperasi tanpa izin dari kepala kampung tempat bagan itu beroperasi. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan patroli pengawasan yang lebih intensif dari pengelola TNTC.
Selain itu, juga perlu adanya upaya untuk terus melestarikan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam tanpa merusaknya. Oleh sebab itu, perlu adanya penentuan zonasi dan kuota bagi para nelayan bagan dari luar TNTC agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan sekaligus menjaga kelestarian ikan.
Aturan-aturan adat, seperti ”sasi” di beberapa tempat diberlakukan kembali untuk menjaga kelestarian laut. Terumbu karang yang mulai rusak di beberapa lokasi mulai diperbaiki dengan cara transplantasi oleh masyarakat bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Balai Besar TNTC. Perlahan, tetapi pasti, upaya penyelamatan lingkungan mulai menunjukkan hasil. Satu indikatornya adalah massa beberapa jenis ikan mulai meningkat.
Potensi wisata
Di dalam TNTC, perairan laut adalah kawasan terluas yang mencapai hampir 90 persen dari seluruh total luas kawasan, yaitu 1,45 juta hektar. Kawasan daratan pulau-pulau dan pesisir hanya sekitar 4,6 persen. Sisanya sekitar 5,5 persen adalah kawasan terumbu karang. Bentukan alam seperti ini secara tidak langsung menempatkan laut sebagai kawasan utama yang disuguhkan bagi para pengunjung taman nasional. Tak salah apabila menyelam atau diving menjadi salah satu kegiatan andalan sektor wisata di wilayah TNTC.
Semua tempat yang biasa dikunjungi wisatawan di TNTC selalu menyuguhkan spot-spot yang menarik untuk menyelam dan snorkeling. Sinar matahari mampu menerobos hingga kedalaman sekitar 30 meter dari permukaan laut sehingga mampu menerangi keindahan pemandangan bawah air.
Setidaknya ada lima pulau yang biasa dikunjungi wisatawan minat khusus, yaitu Pulau Rumberpon, Nusrowi, Mioswaar, Yoop dan perairan Windesi, serta Pulau Roon. Ada juga obyek air terjun dan air panas alami yang menyatu dengan air laut, seperti yang ada di Pulau Mioswaar. Khusus di perairan Windesi dan Pulau Yoop, pengunjung dapat melihat atau berenang bersama dengan ikan-ikan hiu paus.
Pengunjung kawasan TNTC relatif masih sangat sedikit. Pada 2015, pengunjung yang mengurus surat izin masuk kawasan konservasi (Simaksi) mencapai 5.722 orang dengan total penerimaan sekitar Rp 586 juta. Relatif sedikitnya kunjungan ini salah satunya karena terbatasnya akses transportasi dan akomodasi penginapan.
Akses menuju lokasi harus menggunakan kapal perahu motor atau speed boat yang relatif masih terbatas dan berbiaya cukup mahal. Penginapan dengan pelayanan cukup bagus hanya ada satu di wilayah Kwatisore. Ini pun hanya dapat diakses paling dekat dari Nabire dengan perahu speed boat sekitar satu setengah jam perjalanan.
Wajar jika pengunjung TNTC masih sangat terbatas. Akses dan akomodasi yang masih sangat minim membutuhkan nyali petualang yang besar dan tentu saja ditopang biaya yang besar pula. Namun, jika akses kian mudah serta akomodasi yang kian banyak, bukan tidak mungkin kawasan TNTC akan berkembang menjadi magnet wisata andalan di wilayah Papua dan mampu bersaing dengan Raja Ampat. (LITBANG KOMPAS/BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO)