Beberapa waktu sebelum Pulau Komodo ditetapkan sebagai salah satu dari The New Seven Wonders of Nature pada Mei 2012, Robby Rompis (66) diundang Yayasan Komodo Indonesia. Bersama sejumlah temannya yang tergabung dalam Paguyuban ITB (Institut Teknologi Bandung) 70, undangan itu dimaksudkan sebagai bentuk penggalangan dana.

Seusai penetapan, Robby dan kawan-kawannya diundang bertandang ke Pulau Komodo. Mereka berlayar dan beraktivitas dalam kapal di kawasan yang termasuk Taman Nasional Komodo itu.

Menyadari kapal yang mereka tumpangi tidak nyaman, ide membuat kapal wisata lantas muncul. Maka, dibangunlah Kapal Layar Motor (KLM) Adishree di Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 2015.

Kapal berukuran 30 gros ton (GT) itu mulai melayani tamu pada Mei 2016. Hingga kini, hanya sekali Adishree tercatat pernah menjalani docking untuk perbaikan ringan selama sepekan, yakni pada Februari 2016.

Adishree, salah satu kapal yang disewakan kepada wisatawan untuk menikmati keindahan Kawasan Taman Nasional Komodo, membuang sauh di sekitar Pulau Sebayur Kecil, Manggarai Barat, Senin (28/8). Kapal menjadi salah satu pilihan wisatawan untuk menikmati alam di kawasan konservasi ini sekaligus sebagai tempat menginap selama berhari-hari.

Kapal tersebut langsung bergabung dengan hiruk-pikuk bisnis pelayaran dalam kawasan tersebut. Bukan hanya kapal-kapal lokal dari Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yang jadi pintu masuk menuju Taman Nasional Komodo, melainkan juga kapal-kapal dari daerah lain.

Kapal-kapal dari Bali dan Raja Ampat di Papua Barat, misalnya. Atau bahkan kapal pesiar dari luar negeri. Ramainya bisnis pelayaran itu membuat Robby dan kawan-kawannya tengah berpikir untuk membuat kapal kedua.

Ledakan industri pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo itu juga tecermin dari relatif sulitnya memperoleh penerbangan dan penginapan di Labuan Bajo. Robby yang pada Senin (28/8) sedianya akan kembali ke Jakarta bersama putranya, Riantino Rompis, terpaksa terbang sendirian. ”Saya hanya dapat tiket untuk esok harinya,” kata Riantino.

Bukan hanya penerbangan, mencari penginapan di Labuan Bajo, terutama saat masa puncak kunjungan wisatawan, bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Hotel-hotel baru pun bermunculan hingga ke arah pinggiran kota.

Wisatawan menikmati makan malam di lapak pedagang kaki lima di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Minggu (27/8). Membanjirnya wisatawan yang datang ke Labuan Bajo menjadikan bisnis makanan, penginapan, dan transportasi berkembang pesat.

Perkembangan ini membuat penduduk dari luar Labuan Bajo beramai-ramai datang ke kota itu. Salah satunya Emanuel (20), yang akrab disapa Eman, seorang sopir di salah satu hotel baru di pinggiran kota, yang berasal dari Terang, di Boleng, Manggarai Barat, sekitar 50 kilometer dari Labuan Bajo.

Eman baru tiga bulan bekerja tetap di hotel itu, dengan tugas mengantarkan dan menjemput tamu sejak pagi hingga malam. Sebelumnya, Eman adalah seorang pekerja serabutan.

Pembangunan tempat penginapan di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Senin (28/8). Banyaknya wisatawan yang datang ke Labuan Bajo membuat bertumbuhnya tempat penginapan baru.

Keriuhan bisnis juga terjadi pada industri jasa penyelaman. Sofia Tedestam yang mengelola Dive Komodo menyebutkan, pihaknya bisa melayani hingga 250 penyelam dalam sebulan. Mereka terbagi menjadi para penyelam yang pergi dalam pelayaran sehari dan penyelam yang tinggal dalam kapal (live aboard) selama berhari-hari.

Komunitas penyedia jasa penyelaman juga cukup berkembang dalam wadah Dive Operator Community Komodo (DOCK). Anggotanya saat ini, seperti dikutip dari laman diveoperatorskomodo.com, berjumlah 19 operator berdasarkan data 2014.

Wisatawan menikmati pemandangan matahari tenggelam di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Minggu (27/8). Pemandangan alam, baik darat maupun laut, yang indah serta keberadaan binatang langka komodo menjadi daya tarik wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, datang ke Labuan Bajo dan pulau-pulau di sekitarnya.

Operator-operator jasa penyelaman itu berkumpul di Jalan Soekarno-Hatta. Bersama-sama dengan sejumlah kafe, rumah makan, toko kelontong, dan keriuhan bisnis lainnya.

Menurut Amin, yang sejak 2004 berjualan mi ayam di kawasan kuliner Kampung Ujung, Labuan Bajo, keriuhan wisatawan melonjak makin tinggi setelah pelaksanaan kegiatan bahari tingkat internasional Sail Komodo 2013. Amin yang berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah, mengingat bahwa ledakan pengunjung itu terjadi dengan cukup besar, terutama jika dibandingkan masa-masa awalnya berdagang di Labuan Bajo.

Imbas keriuhan

Namun, imbas keriuhan tersebut relatif tidak serta-merta langsung dirasakan warga di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Papagarang. Untuk listrik PLN, misalnya, warga baru menikmatinya pada awal 2017.

Adapun untuk sekolah, belum ada satu pun SMA berdiri di pulau-pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo tersebut. Baru ada sekolah setingkat SD hingga SMP.

Bahkan, di Desa Komodo, sebagian murid mesti belajar di bawah pohon karena keterbatasan kelas. Batiang (40), yang juga seorang kepala sekolah SD di desa itu, menyebutkan, jumlah kekurangan tersebut masing-masing sebanyak dua kelas untuk tingkat SD dan SMP.

Sementara untuk kebutuhan air, warga di Pulau Rinca hanya memiiliki dua sumber air minum. Sumber pertama yang bernama Boe Bellu atau Air Gunung ditemukan seorang warga bernama Haji Latif pada masa sebelum kemerdekaan. Mata air ini berada sekitar 700 meter ke arah timur perkampungan.

Sumber kedua bernama Air Tati yang ditemukan warga bernama Hasan pada masa pendudukan Belanda, berjarak sekitar 400 meter arah selatan permukiman. Sumber itu, pada 1980, digali kembali oleh Haji Imran, Hatu, dan Haji Muhammad Nur. ”Disebut Air Tati karena Tati adalah nama marga saya yang berasal dari Bima,” kata Nur.

Warga mencuci di pinggir jalan Desa Rinca, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT, Sabtu (2/9). Pada musim kemarau sumur warga menjadi payau sehingga mereka harus mengeluarkan ekstra biaya untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Namun, itu pun masih kurang karena populasi warga terus bertambah dan debit air cenderung mengecil. Kesulitan akses ke kebutuhan dasar ini masih ditambah dengan kewajiban membayar Rp 500 per jeriken air isi 20 liter untuk air dari sumber pertama menyusul keberadaan petugas penjaga bak penampungan aliran air.

Sebetulnya warga di pulau itu punya sumur, totalnya ada tujuh sumur di sejumlah pekarangan warga. Akan tetapi, sumur-sumur itu, yang pertama kali digali warga bernama Amirullah (36) pada Agustus 2014, cenderung berisi air asin sehingga hanya dipergunakan untuk mencuci. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar warga, air tawar didatangkan dari Labuan Bajo. Harganya Rp 10.000 per 20 liter.

Warga membawa air bersih yang diambil dari salah satu mata air di Pula Rinca, Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Sabtu (2/9). Sumber air ini menjadi andalan warga untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih.

Di Pulau Papagarang, yang sepanjang mata memandang hanya berisikan dataran bebatuan tandus, sama sekali malah tidak ditemukan sumber air tawar.

Hamado (42), salah satu warga Papagarang, mengatakan, konsep kepemilikan lahan yang tidak terlalu rumit seperti di kota dan relatif lancarnya usaha penangkapan sebagai nelayan menjadi alasan mereka bertahan di pulau tandus itu. ”Air, berapa pun (harganya), bakal dibeli, yang penting masuk (sesuai) antara pendapatan dan (tangkapan) ikan,” kata Hamado.

Tentu saja peningkatan populasi penduduk, meledaknya aktivitas pariwisata, dan penangkapan ikan tersebut bakal pula menambah tekanan pada lingkungan dan berpotensi mengurangi hasil tangkapan ikan. Sebab-musabab yang jalin-menjalin ini mendesak untuk dipahami dan ditangani sebelum industri pariwisata makin berkembang dengan kehadiran pemodal-pemodal raksasa. (ICHWAN SUSANTO/ANTONIUS PONCO ANGGORO/INGKI RINALDI)