Sabtu (2/9) pagi, kami menjejakkan kaki di Pulau Rinca, di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Hari itu, kemarau masih meraja tatkala intrusi air laut merasuk ke sumur-sumur warga di Dusun Komodo dan Dusun Beringin Jaya. Tujuh sumur berkedalaman 3 meter pun tidak dalam kondisi terbaik. Mencuci baju pun menjadi sulit.
Kesulitan itu dialami ibu dan anak, Sanandi (41) dan Sri Wulan Handayani (18). Di sela-sela pekerjaan mereka, sejumlah warga dari Dusun Bajo mengambil air dari dalam sumur lantas mengangkutnya pergi. Tidak ada sumur di Dusun Bajo ataupun di Dusun Beringin Baru. Warga di dua dusun itu terpaksa mengambil air dengan kadar payau mendekati asin di Dusun Komodo dan Dusun Beringin Jaya.
Tujuh sumur itu diawali sebuah sumur yang baru digali Amirullah (36) pada Agustus 2014. Pada pengujung musim kemarau yang kering, Amirullah menggali sumur itu untuk mencari tambahan pasokan air tawar. “Awalnya dari firasat mimpi bahwa di dekat rumah saya itu ada sumber air tawar, maka saya coba gali,” ujar Amirullah.
Ia menggali sendiri sumur itu di tengah teriknya mentari kemarau. Ketika sumur galiannya itu akhirnya memunculkan air tawar, Amirullah dan sebagian tetangganya merasa bersyukur. Di musim kemarau itu pula sumber air tawar warga di perbukitan yang relatif jauh dari permukiman telah mengering.
Awalnya, sumur di belakang rumahnya itu mengalirkan air tawar. Namun, lama kelamaan, air dalam sumur itu pun menjadi asin, terutama saat kemarau memuncak. Amirullah lantas menutup sumur yang semula digalinya itu. Walau demikian, sumur-sumur dengan kedalaman 3 meter, yang kini tersebar di Dusun Komodo dan Dusun Beringin Jaya, justru digali mengikuti langkah Amirullah sebelumnya.
Kini, untuk memenuhi kebutuhan air minum, warga mengandalkan dua sumber air bersih. Sumber air pertama dinamai Air Gunung, atau dalam bahasa setempat disebut air Boe Bellu. Jaraknya sekitar 700 meter dari perkampungan. Sumber air ini ditemukan seorang tokoh masyarakat bernama Haji Latif sekitar tahun 1800-an. Saat ini, jaringan pipa sudah dipasang dari sumber air itu menuju kolam-kolam penampungan. Warga yang hendak mengonsumsi air dari sumber itu ditarik iuran Rp 500 per 20 liter air untuk perawatan jaringan pipa.
Sumber air kedua dinamai Air Tati, berasal dari Tati Sahama, nama panggilan Haji Muhammad Nur (81), penemu mata air tersebut. Jaraknya lebih dekat, hanya sekitar 400 meter dari permukiman warga.
Kata Tati Sahama, saat itu warga kampung kesulitan air tawar menyusul kemarau panjang. Ia kemudian ingat salah satu kisah ayahnya tentang keberadaan sumber air di dalam hutan yang cukup besar. Begitu besar sumber air itu, kata Hasan, ayah Tati Sahama, seekor kuda sampai terperosok di dalamnya. Peristiwa itu diperkirakannya terjadi pada masa pendudukan Belanda.
Tanpa membuang waku, bersama dua warga lain, yakni Hatu dan Haji Imran, Tati Sahama bergerilya ke dalam hutan demi menemukan sumber mata air tersebut. Persis di titik yang mereka perkirakan, penggalian dimulai. Beberapa waktu kemudian, sumber air tawar benar-benar ditemukan. Lokasinya persis seperti disebutkan Hasan, dengan temuan tulang belulang kuda yang diduga dari kisah terperosoknya kuda pada masa Hasan menjadi pemelihara kuda.
“Kita baku (saling) peluk,” kata Tati Sahama, dengan wajah semringah. Saat itu, karena begitu gembiranya, mereka bertiga saling berpelukan di dalam kawasan kebun jagung dekat dengan lokasi temuan sumber air tawar. Kedalaman sumur awal itu sekitar 2,5 meter. Saat ini, sumur itu berkedalaman sekitar 7 meter karena terus-menerus digali dalam periode sekitar empat tahun sekali.
Mereka sempat menyimpan informasi tersebut sekitar satu bulan lamanya karena khawatir warga desa langsung menyerbu masuk ke dalam sumber mata air. Namun, informasi itu tersebar juga dan membuat antrean mencari air tawar berlangsung hingga malam hari dengan risiko serangan komodo (Varanus komodoensis) yang bisa berlangsung sewaktu-waktu. “Tapi, kalau orang digigit komodo saat sedang mengambil air, itu belum pernah terjadi,” kata Tati Sahama.
Namun, ketika persediaan air tawar makin menipis, di sisi lain kebutuhan air warga cenderung meningkat, tiada pilihan lain kecuali membeli dari Labuan Bajo. Harganya Rp 10.000 per 20 liter. Harga itu termasuk biaya transportasi laut yang harus dibayar pembeli.
Kini, ada sumber air tawar ketiga berupa telaga yang dapat dimanfaatkan warga di Pulau Rinca. Tati Sahama mengatakan, jaraknya sekitar 5 kilometer arah barat dari perkampungan. “Ini tinggal ’tarik’ pipa,” ujarnya.
Walau demikian, Pulau Rinca, bersama-sama dengan Pulau Padar dan Pulau Komodo, yang kini sedang mendapatkan berkah kunjungan wisata adalah pulau-pulau utama dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Dengan demikian, sejumlah ketentuan sebagaimana lazimnya dalam kawasan taman nasional berlaku pula bagi Pulau Rinca, termasuk urusan “menarik” pipa. (ICHWAN SUSANTO/ANTONIUS PONCO ANGGORO/INGKI RINALDI)