Sampah tidak tertangani dengan baik di Labuan Bajo. Sampah tidak hanya sebatas mengancam industri pariwisata, tetapi juga keasrian alamnya. Di tengah ketidakberdayaan pemerintah untuk menangani urusan sampah, sejumlah individu tergugah untuk ambil bagian dengan memungut sampah bahkan mengolahnya menjadi barang berharga.
Sejumlah tanaman hias warna-warni setinggi 1 meter, misalnya, menghiasi halaman rumah Kennedy Diaz (49) di RT 003 RW 002 Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Tanaman hias itu ternyata dibentuk dari botol-botol bekas plastik yang telah dicat, kemudian digunting sedemikian rupa sehingga menyerupai daun.
Tutup gelas plastik bekas pun ”disulap” menjadi dompet, tas, dan keranjang. Bahan bakunya dari puluhan tutup gelas yang dilipat, kemudian dirangkai dengan lipatan tutup gelas lainnya. Corak dari tutup gelas itu mampu membentuk motif unik pada dompet, tas, hingga keranjang.
Sampah yang semula tak ada nilainya, setelah diolah, ternyata mampu menjadi barang yang bernilai. Tanaman hias, misalnya, dapat laku terjual seharga Rp 150.000. Adapun dompet, tas, dan keranjang dijual dengan kisaran harga Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Sementara itu, sampah koran yang telah diolah menjadi kapal pinisi pernah terjual hingga Rp 2,5 juta per unit. “Ini semua hasil kerja kami yang tergabung dalam Komunitas Perempuan Peduli Lingkungan sejak tahun 2011,” ujar Kennedy.
Berawal dari kegelisahan terhadap sampah yang mengotori pesisir Labuan Bajo, Kennedy yang Ketua RT 003 mencoba menggugah kesadaran warganya agar rutin kerja bakti memunguti sampah setidaknya sekali dalam sepekan. Langkah ini harus ditempuh karena pemerintah seperti tak berdaya mengatasi sampah. Truk sampah pemerintah terbatas jumlahnya sehingga pengangkutan sampah tak bisa rutin dilakukan. Belum lagi, tidak semua kawasan di Labuan Bajo dapat diakses dengan truk.
Di sisi lain, kian banyak wisatawan mancanegara dan domestik datang ke Labuan Bajo. Ibu kota Kabupaten Manggarai Barat ini menjadi pintu masuk ke Taman Nasional Komodo yang terkenal akan komodo dan keindahan bawah lautnya. “Jika sampah dibiarkan begitu saja, kami khawatir menimbulkan kesan negatif kepada wisatawan yang datang,” katanya.
Tidak sebatas memungut sampah, masyarakat kini juga diajak memilah sampah yang dipungut. Sampah yang berpotensi diolah menjadi barang bernilai kemudian dikumpulkan. Sementara sampah yang tak bisa diolah dikumpulkan di tempat pembuangan sampah sementara, kemudian diangkut truk sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Dari kegiatan itu, dibentuklah Komunitas Perempuan Peduli Lingkungan. Kenapa komunitas perempuan? Ternyata, dalam kegiatan Kennedy, yang terlibat mayoritas adalah ibu rumah tangga di Kelurahan Labuan Bajo. Kini, jumlah anggotanya pun mencapai 27 orang.
Awalnya, tidak mudah bagi Kennedy meyakinkan mereka untuk terlibat aktif. “Kegiatan ibu-ibu ini sempat ditentang suaminya. Tadinya, para suami merasa tidak diperhatikan oleh istrinya yang lebih sibuk mengolah sampah,” kenangnya.
Namun, Kennedy tidak menyerah. Dia bahkan dengan gigih menyadarkan para suami yang mayoritas bekerja sebagai nelayan untuk ”merelakan” istrinya. Terlebih lagi, kerajinan dari sampah itu dapat menghasilkan uang. ”Tambahannya lumayan. Kalau ada banyak pesanan, sebulan bisa dapat Rp 3 juta,” lanjutnya.
Pesanan datang dari berbagai kota besar di Tanah Air bahkan dari luar negeri. Banyak pesanan juga akhirnya tidak dapat dipenuhi. Hal itu bukan dikarenakan kemalasan anggota komunitas tetapi karena jumlah sampah yang bisa dipungut dan diolah tidak sebanyak jumlah pesanan!
Alhasil, para suami yang semula selalu memarahi istrinya karena terlibat dalam komunitas yang dirintis Kennedy justru memarahi istrinya apabila tidak hadir dalam kegiatan komunitas. “Sekarang, malah dipaksa-paksa ikut,” tambahnya.
Kepiawaian ibu-ibu di komunitas itu dalam merakit sampah dilirik oleh daerah-daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Mereka diminta pemerintah daerah setempat untuk melatih warga agar juga dapat mengolah sampah. Mereka telah menularkan ilmunya hingga Ende, Bajawa, dan Maumere.
Selanjutnya, berangkat dari kesadaran bahwa tidak dapat sendirian untuk mengatasi persoalan sampah, Kennedy sejak tahun 2014 mengajak komunitas lain dengan visi dan misi yang sama untuk bekerja sama. Akhirnya, turut bergandengan tangan Komunitas Pemuda Pemudi Labuan Bajo Bersatu, Anak-anak Peduli Sampah, dan Thrash Hero. “Setiap Jumat sore, kami putuskan sebagai waktu untuk bersama-sama mengumpulkan dan memilah sampah,” katanya.
Dalam berkegiatan, mereka juga mengajak wisatawan yang sedang berada di Labuan Bajo untuk ikut terlibat. Poster-poster ajakan dalam bahasa Inggris tertempel di toko, restoran, dan kantor biro perjalanan di pusat kota Labuan Bajo.
Ajakan ini kerap membuahkan hasil. Tak sedikit turis asing ataupun domestik yang merelakan waktu wisatanya untuk ikut memungut dan memilah sampah. Bahkan, tak jarang dari mereka justru membuka akses pasar untuk produk olahan sampah hasil karya komunitas. “Ada, misalnya, turis dari Australia yang pernah ikut kegiatan kami. Lalu, saat pulang ke negaranya, secara rutin memesan produk-produk olahan sampah. Di Australia, dia memasarkan kembali produk itu ke warganya,” ujar Kennedy.
Menurut Koordinator Program World Wildlife Fund (WWF) di Taman Nasional Komodo Jensi Sartin, sampah memang menjadi persoalan serius di Labuan Bajo. Belum lagi sampah kiriman yang terbawa arus laut. Faktanya pula, tidak semua sampah berakhir di TPA di Labuan Bajo.
Tiap hari bahkan dari Labuan Bajo terkumpul 13 ton sampah atau sekitar 112,4 meter kubik sampah. Berdasarkan jenisnya, sebanyak 33 persen sampah merupakan sampah anorganik yang bisa didaur ulang secara ekonomis.
Masih banyak lagi sampah yang berakhir di laut. Masyarakat terkadang memilih cara praktis membuang sampah ke laut karena buruknya pelayanan pengangkutan sampah oleh pemerintah daerah. Ketersediaan tempat-tempat sampah di tempat umum juga masih minim.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat sesungguhnya menyadari ancaman dari sampah. Namun, ujar Asisten II Pemkab Manggarai Barat Marthin Ban, pemerintah dihadapkan pada keterbatasan anggaran. “Kami sudah punya truk sampah, sudah ada juga pasukan kuning, tetapi memang belum memadai,” katanya.
Bahkan, daya tampung dari TPA di Labuan Bajo, jujur saja, tak lagi memadai. Untungnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersedia membantu pengadaan TPA baru pada 2017.
Dokumen sampah
Persoalan sampah memang harus segera diatasi supaya tidak mengancam status Labuan Bajo sebagai destinasi wisata. Sampah juga berpotensi merusak kelestarian alam bawah laut Taman Nasional Komodo yang menjadi tujuan utama wisatawan datang ke Labuan Bajo.
Kabar baiknya, kini Pemkab Manggarai Barat serta Balai TN Komodo bersama WWF Indonesia telah menyepakati dokumen pengelolaan sampah di kawasan Kota Labuan Bajo dan TN Komodo. Dokumen ini disebut-sebut akan mengelola sampah secara terintegrasi darat-laut atau dengan pendekatan landscape-seascape ataupun ridge to reef.
Dokumen itu merekomendasikan investasi penambahan infrastruktur persampahan, penambahan jumlah dan fungsi tempat penampungan sampah 3R, pemisahan fungsi regulator dan operator persampahan, penegakan peraturan terkait pemilahan dan retribusi, serta penerapan tempat pengolahan akhir dengan sistem sanitary landfill.
Semua pihak, termasuk tentu saja pencinta komodo, menanti supaya dokumen itu tak hanya tersimpan dalam rak pejabat. Materi dari dokumen itu idealnya segera diimplementasikan dalam wujud program-program nyata di lapangan.
Terlebih lagi, keberadaan sampah ini, khususnya sampah plastik, sudah sangat mengganggu Labuan Bajo dan Komodo sebagai daerah wisata. Padahal, kawasan ini didorong untuk menjadi destinasi wisata unggulan yang telah dinobatkan sebagai satu dari tujuh keajaiban alam dunia, bahkan menjadi Situs Warisan Dunia dan Cagar Biosfer. Mari kita jaga kawasan Labuan Bajo dan Komodo. (ANTONIUS PONCO ANGGORO/INGKI RINALDI/ICHWAN SUSANTO)