Rabu (30/8) siang, di sekitar titik penyelaman Taka Makassar di Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, sebuah pesan lewat aplikasi percakapan masuk ke telepon pintar milik staf World Wildlife Fund di Komodo, Kusnanto. Pesan itu masuk ke dalam grup percakapan yang diisi sejumlah operator kapal-kapal wisata.
Isinya laporan pengawasan dari kapal lain terhadap KLM (Kapal Layar Motor) Adishree yang kami tumpangi. Pesan dalam bahasa Inggris itu mengingatkan bahwa Adishree tengah membuang jangkar di kedalaman 20 meter.
Kusnanto, Biodiversity Monitoring and Fisheries Assistant WWF-Indonesia, segera berlari ke anjungan kapal. Ia menemui kapten Adishree, Nasrul Nasir (35), untuk mengonfirmasi laporan itu.
Sejurus kemudian, Nasrul memastikan jangkar berada di kedalaman sekitar 40 meter dan tidak merusak karang. Lokasinya pun relatif tidak berdekatan dengan titik penyelaman Taka Makassar.
Aktivitas saling memantau dan melaporkan itu merupakan inisiatif sebagian pelaku wisata di kawasan Taman Nasional Komodo. Hal tersebut dilakukan menyusul relatif makin banyaknya pengunjung, khususnya yang melakukan aktivitas penyelaman, dan fakta rentannya terumbu karang dari ancaman kerusakan.
Komodo tengah bergeliat. Terdapat kebutuhan relatif besar untuk bersama-sama menjaga sumber daya lingkungan, terutama terumbu karang, sebagai daya tarik utama industri pariwisata.
Akan tetapi, kesadaran dan inisiatif tersebut relatif masih terbatas pada pelaku wisata yang mengoperasikan kapal-kapal wisata ukuran relatif besar, sekitar 30 gros ton. “Mestinya kapal-kapal (yang melayani rute) harian dan jumlahnya banyak juga menjadikan (pemantauan dan pelaporan) sebagai kewajiban,” ujar Kusnanto.
Relatif banyaknya jumlah kapal wisata berukuran relatif kecil, dengan kapasitas sekitar 10 penumpang, itu tampak dari keramaian di sekitar kawasan Pantai Merah atau lebih dikenal dengan Pink Beach di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Kamis (31/8). Dua mooring buoy, tempat mengikatkan tali kapal, di perairan pantai itu dipaksa melayani 3-4 kapal per buahnya. Idealnya satu mooring buoy hanya untuk satu kapal.
Beberapa kapal memilih buang jangkar meski hanya berjarak 50 meter dari pinggir pantai yang warna merahnya berasal dari pecahan cangkang mikroorganisme foraminifera mati itu. Jangkar itu jatuh di daerah yang menjadi ekosistem terumbu karang tempat sejumlah wisatawan mancanegara tengah menikmati kondisi bawah laut sekitarnya lewat aktivitas snorkeling.
Hadapi tekanan
Taman Nasional Komodo, wilayah darat dan lautnya, memiliki luas 1.817 kilometer persegi. Beragam biota laut, seperti manta, hiu, penyu, dan beragam jenis ikan eksotis, terdapat di dalam lautnya.
Peneliti terumbu karang Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), Rikoh Manogar Siringoringo, mengatakan, berdasarkan riset Tuti dan Budiyanto (1999), terdapat setidaknya 253 jenis karang, terdiri dari 70 marga dan 15 suku. Rikoh yang melakukan riset pada 2013 juga melaporkan kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Komodo berada dalam kategori sedang dengan persentase 28,04 persen.
Di wilayah daratan, komodo (Varanus Komodoensis) menghuni sejumlah pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Pulau Gilimotang, dan Pulau Nusakode adalah sebagian di antara pulau-pulau tempat komodo berada.
Komodo adalah kadal tertua di bumi. Buku Komodo the Living Dragon yang ditulis Dick Lutz dan J Marie Lutz (1991) menyebutkan genus awal dari keluarga Varanidae, yang kemungkinan disebut sebagai moyang langsung pertama komodo, muncul sekitar 70 juta tahun hingga 100 juta tahun silam di daratan Eurasia.
Selain komodo, yang populasinya terus dipantau, terdapat pula kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea parvula) yang turut dimonitor. Kepala Balai Taman Nasional Komodo Sudiyono mengatakan, dua satwa tersebut memang diprioritaskan pengelolaannya.
“Itu (komodo dan kakatua jambul kuning) termonitor ada berapa jumlah individunya dan sebagainya,” ujar Sudiyono.
Khusus komodo, Sudiyono mengatakan, dirinya kini tengah berencana menambah populasi komodo. Hal tersebut akan dilakukan seiring upaya peningkatan populasi satwa pakan komodo, seperti rusa, kuda, kerbau, dan babi hutan.
Alokasi sebagian anggaran pun tengah difokuskan untuk tujuan tersebut. Ini termasuk menjaga kualitas turunan satwa target komodo, seperti pemeriksaan genetik pada populasi kerbau untuk mencegah kemungkinan terjadinya perkawinan sekerabat.
Akan tetapi, upaya tersebut dihadapkan pada tantangan yang relatif besar. Beberapa di antaranya ialah keberadaan penduduk di sejumlah pulau utama, seperti Komodo, Rinca, dan Papagarang, yang dengan segala aktivitas dan perkembangannya menimbulkan tekanan tersendiri terhadap lingkungan.
Jumlah penduduk tersebut cenderung terus bertambah. Sementara di sisi lain, kebutuhan utama, seperti layanan kesehatan dan pendidikan, sangatlah minim, selain kebutuhan dasar berupa air bersih yang cenderung tidak tersedia dan membuat berbagai cara untuk bertahan hidup mesti dilakukan.
Ini terjadi di Desa Rinca dan Papagarang. Di Pulau Papagarang sama sekali tidak ada sumber air bersih untuk minum. Penduduk mesti mengeluarkan Rp 10.000 untuk setiap jeriken air dengan kapasitas 20 liter. Air tersebut didatangkan dari Labuan Bajo.
Pompa-pompa air yang dipasang di sejumlah titik hanya mampu menyedot air berasa asin yang dipergunakan untuk mencuci. Relatif tidak ada mata pencarian selain mengandalkan hasil-hasil laut.
“Harapannya (dari) laut. Kalau TNK (Taman Nasional Komodo) melarang (menangkap ikan menggunakan) pukat, kami meronta,” kata Mulyati (35) yang tinggal di Papagarang dan sempat berdagang air dari Labuan Bajo.
Sebuah instalasi penyulingan air laut menjadi air tawar sempat beroperasi di desa itu pada September 2013 hingga awal 2015. Air bersih layak minum itu sempat dijual Rp 1.000 per galon sebelum kini berhenti berproduksi menyusul terjadinya kerusakan mesin.
“Kering dayung, kering periuk,” ujar Hamni (42). Ketua RW 002 di desa tersebut menjelaskan tentang hasil laut yang sejauh ini masih menguntungkan sebagai bekal hidup dan logika di balik bertahannya penduduk di pulau tanpa air tersebut.
Sementara di Pulau Rinca terdapat dua sumber air bersih untuk minum. Pertama sumber air Boe Bellu (Air Gunung) yang terletak sekitar 700 meter ke arah timur perkampungan. Sumber kedua terletak sekitar 400 meter dari arah permukiman, yang dinamai Air Tati.
Penyebutan itu diambil dari nama Muhammad Nur (81) yang juga dipanggil sebagai Tati Sahama, sebagai penemu sumber air tersebut pada 1980. Tati merupakan nama marga suku Bima di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat.
Namun, air dari Labuan Bajo yang diperoleh dengan cara membeli tetap jadi andalan warga. Terutama jika kebutuhan sedang tinggi dan mengantre dari sumber air minum di wilayah perkampungan tidak menjadi pilihan.
Terdapat pula tujuh sumur warga yang mulai digali Amirullah (36) pada Agustus 2014 untuk menambah persediaan air tawar. Namun, air tersebut kini cenderung menjadi asin, terutama saat kemarau, dan hanya dipergunakan untuk mencuci.
Itu pun hanya terdapat di Dusun Komodo dan Dusun Beringin Jaya. Warga dari dua dusun lain dalam desa tersebut, Dusun Bajo dan Dusun Beringin Baru, mesti bergantian masuk wilayah dusun tetangga untuk mengambil air guna kebutuhan mencuci.
“Kalau air minum kurang, ya, beli dari Labuan Bajo, setiap dua hari atau tiga hari,” kata Sanandi (41) yang pada Sabtu (2/9) pagi itu tengah mencuci di salah satu sumur bersama anaknya, Sri Wulan Handayani (18).
Sebetulnya terdapat sumber air minum ketiga, dengan lokasi sekitar 5 kilometer arah barat laut desa tersebut. Nur mengatakan, bentuk sumber air seperti telaga dengan jumlah persediaan besar itu telah diinformasikan kepada pihak Taman Nasional Komodo. Akan tetapi, hingga saat ini, belum kunjung ada respons.
Tidak dibenturkan
Sudiyono tidak ingin membenturkan antara keberadaan manusia dan komodo karena fakta bahwa keduanya saling memengaruhi. Bagi Sudiyono, memilih keutamaan satu atas lainnya juga akan menimbulkan tekanan terhadap satu atas lainnya.
“Misalnya, okelah, kita pentingkan manusia (penduduk). Akan tetapi, kalau komodo punah, wisata tidak akan ada lagi. Ikon kita adalah komodo. Kita harus cerdas, ada tempat-tempat lain yang bisa dikembangkan (untuk permukiman manusia),” tuturnya.
Sudiyono menambahkan, keberadaan komodo selama ini terbukti menghidupi banyak pihak. Di dalamnya termasuk industri perhotelan dan penerbangan.
Hubungan antara komodo dan keberadaan manusia, dalam hal ini penduduk yang hidup dalam satu lingkungan, memang tidak bisa disangkal. Selain lewat cerita penduduk berupa legenda antara komodo dan “saudara kembarnya”, sejumlah riset menyebutkan keberadaan manusia di Komodo telah ada sejak ribuan tahun silam.
Komodo the Living Dragon (1991) menyebutkan manusia mulai tiba di kawasan itu sekitar 4.000 tahun sebelum masehi. Sementara berdasarkan catatan Kompas, temuan manusia kerdil Homo floresiensis oleh ilmuwan Australia yang bekerja sama dengan ilmuwan Indonesia menyimpulkan bahwa manusia prasejarah itu meninggal sekitar 18.000 tahun silam.
Catatan Kompas juga menyebutkan hal itu sekalipun terdapat perbedaan pandangan dengan Prof T Jacob dari Laboratorium Bio-Paleoantropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tentang temuan yang berusia sekitar 7.000 tahun. Juga dugaan bahwa “manusia Flores” bukanlah spesies baru, melainkan merupakan subspesies Homo sapiens, ras Austrolomelanesid.
Akan tetapi, temuan manusia kerdil dengan tinggi sekitar 1 meter pada 2004 di Liang Bua, Flores, NTT, itu tidak terbantahkan. Flores, sebuah pulau di luar kawasan Taman Nasional Komodo, adalah tempat komodo juga ditemukan hidup hingga saat ini. (ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI)