Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung di Sulawesi Utara mengancam keanekaragaman hayati perairan Selat Lembeh. Padahal, kawasan ini terkenal akan kekayaan biota laut renik dan unik yang menjadi surga fotografi bawah laut. Pesonanya tidak ada duanya di Indonesia.

Butuh empat kali pertanyaan dilontarkan kepada Meyer Musa ihwal dampak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung terhadap keberlanjutan profesinya. Meyer adalah pemandu selam yang tujuh tahun terakhir bekerja di sejumlah lokasi di Sulawesi Utara.

Meyer rupanya belum mengetahui mengenai KEK Bitung yang sudah ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Bitung. Ia baru menyadari ”jualan” obyek wisata selam di Selat Lembeh, yang relatif berdekatan dengan lokasi KEK Bitung, berpotensi terganggu. ”Obyek-obyek fotografi makro bisa hilang. Padahal, Lembeh ini sudah terkenal untuk fotografer makro,” ujar lulusan program D-3 Ekowisata Bawah Laut Politeknik Negeri Manado, 2010, itu.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/79251c6d-aebb-40f9-802a-b741b8cd1351/kvms_184481_20171124_berburu_renik_unik_di_lembeh.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Selat Lembeh layak dijuluki sebagai surga fotografi makro bawah laut. Perairan di antara Pulau Lembeh dan Pulau Besar Sulawesi itu layaknya sebuah kelestarian gudang aneka biota renik nan unik.’ credit=’KOMPAS’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/11/184481_p.png?v=19′ /]

Obyek fotografi yang banyak diminati penyelam di Lembeh terutama kuda laut pigmi, aneka jenis siput laut, dan ikan pipa hantu ornate yang semuanya berukuran kecil, hanya 1-7 sentimeter, sehingga dibutuhkan lensa khusus untuk memotretnya secara jelas. Sebagian penyelam juga ada yang memburu gambar ikan mandarin yang berwarna-warni sehingga disebut juga ikan barongsai.

Merisaukan

Rencana reklamasi di sebagian garis pantai Kota Bitung yang juga dikenal dengan sebutan ”Kota Cakalang” sebagai konsekuensi pembangunan KEK Bitung juga merisaukannya. ”Kalau nanti direklamasi, keindahan bawah laut tidak ada yang bisa dilihat lagi,” katanya tentang selat sepanjang 16 kilometer itu.

Sebagian penduduk juga belum mengetahui rencana tersebut. Seorang di antaranya, Nober Suef (33), warga Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung, yang khawatir pembangunan KEK Bitung akan menggusur tempat tinggalnya. Hampir seluruh wilayah Tanjung Merah digunakan untuk pembangunan KEK Bitung.

”Warga akan menolak jika sampai terusir dari tempat tinggal mereka,” ujar Herry Mamonto (51), Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Tanjung Merah.

Warga akan menolak jika sampai terusir dari tempat tinggal mereka.

Meskipun disebut-sebut belum ada sosialisasi kepada warga, megaproyek ini telah membebaskan 92,6 hektar lahan walau sebagian masih berkonflik. KEK Bitung akan menempati lahan seluas 534 hektar di tiga kelurahan di Kecamatan Matuari, yakni Tanjung Merah, Manembo-nembo, dan Sagerat.

”Tapi, kami belum mendapatkan kepastian kapan pembangunan KEK Bitung ini dimulai,” ujar Lurah Tanjung Merah Boby Marthin Rumawung.

Boby menuturkan, masyarakat tetap mendukung pembangunan KEK Bitung. Saat ini terdapat 10 perusahaan yang umumnya bergerak di bidang industri perikanan dan berada di Kelurahan Tanjung Merah.

Di kelurahan yang berpenduduk 1.359 jiwa itu, sebagian besar warganya tergantung dari penghasilan sebagai buruh industri. Ada sekitar 119 karyawan pabrik, 75 petani, 41 nelayan, dan sisanya pegawai negeri sipil, wirausaha, serta sektor lain.

Belum mengetahui

Kecenderungan belum diketahuinya rencana detail pembangunan KEK Bitung, yang ditargetkan selesai tahun 2018, rupanya dialami pula oleh sebagian aparatur pemerintahan setempat.

Lurah Manembo-nembo Reflin Karamoy mengatakan belum tahu proyek apa yang akan dibangun di kelurahannya. Ia pun belum mengetahui rencana reklamasi pantai sebagai bagian proyek KEK Bitung.

Reflin hanya paham, baru dilakukan pelebaran jalan dengan mekanisme ganti untung bagi warga terdampak dan rencana penggunaan aliran sungai sebagai sumber air. Akan tetapi, lanjut Reflin, proyek pelebaran jalan masih menyisakan kesepakatan nilai lahan yang belum tercapai.

Selain Manembo-nembo, Kelurahan Tanjung Merah dan Sagerat juga bakal terdampak rencana pembangunan tersebut.

Kawasan pantai Tanjung Merah di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari, Kota Bitung, Sulawesi Utara, Kamis (14/9). Kelurahan itu termasuk kawasan yang akan terkena dampak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung.

Rencana pembangunan KEK Bitung juga menuai kekhawatiran warga di Pulau Lembeh yang letaknya berseberangan dengan Tanjung Merah. ”Saya belum tahu bakal ada reklamasi, belum tahu sama sekali,” ucap Nasir (47) yang tinggal di Paudean, Kecamatan Lembeh Selatan.

Safar (63), yang juga tinggal di Paudean, mengatakan, belum ada sosialisasi terkait proyek yang berpotensi memengaruhi keberadaan sumber daya laut di wilayahnya.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bitung Melda Sidangoli menyebutkan, penghitungan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan telah dilakukan terkait KEK Bitung.

Saat ini, kantor Administrator KEK Bitung di Kelurahan Sagerat sudah dibangun. Ruang lobi telah dilengkapi sofa serta meja dan kursi. Namun, belum ada pegawai yang bertugas untuk melayani. Hanya petugas satuan polisi pamong praja yang ada untuk berjaga-jaga.

Pembangunan kompleks kantor Kawasan Ekonomi Khusus Bitung di Kelurahan Sagerat, Kecamatan Matuari, Sulawesi Utara, Kamis (14/9).

”Dengan adanya pembangunan KEK, kami akan reklamasi dari Girian hingga Tanah Merah. Sekarang baru dapat izin 35 hektar, nanti lahannya akan mencapai 400 hektar,” ujar Wali Kota Bitung Maximilian Jonas Lomban.

Maximilian yang juga Wakil Ketua Dewan KEK Bitung mengatakan, industri perikanan, perkebunan, pertanian, dan logistik bakal menopang KEK Bitung. Sementara warga berharap, megaproyek tersebut tidak menjadikan mereka penonton di kampung sendiri. (ICHWAN SUSANTO/HARRY SUSILO/JEAN RIZAL LAYUCK/INGKI RINALDI)