Terdapat sebuah kearifan lokal di Pulau Binongko yang oleh masyarakat setempat digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Tradisi itu disebut kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di daratan ataupun di lautan. Selain itu, terdapat pranata adat yang bernama Sarano Wali, yang berupa sistem nilai adat untuk menjaga harmonisasi kehidupan bermasyarakat.
Rangkuman hasil penelitian partisipatif yang dilakukan WWF (World Wildlife Fund) Indonesia tahun 2015 dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat di Desa Wali, Pulau Binongko, Sulawesi Tenggara, menunjukkan bahwa masyarakat di desa tersebut memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga kelestarian alam. Hal tersebut mereka lakukan dengan memegang teguh pantangan yang disebut kaombo dan menjalankan tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan dengan menggunakan pranata adat yang disebut Sarano Wali.
Berdasarkan kajian WWF Indonesia tersebut terdapat dua kategori kaombo, yakni yang bersifat pribadi dan adat. Kaombo yang bersifat pribadi melekat pada hak milik pribadi, misalnya pohon mangga milik seseorang tidak boleh diambil mangganya tanpa seizin yang punya. Adapun kaombo yang bersifat adat lebih melekat pada hak milik adat atau hak milik bersama, seperti hutan adat, mangrove, dan pesisir pantai. Seseorang dilarang mengambil atau mengekstraksi sumber daya di wilayah adat untuk kepentingan pribadi.
Kearifan lokal berikutnya berupa pranata adat yang disebut Sarano Wali yang memuat berbagai macam aturan dan sanksi sosial bagi yang melanggar sistem, nilai, dan wilayah adat yang sudah disepakati bersama dalam musyawarah adat. Sarano Wali sudah diberlakukan sejak 1950, tetapi terdapat pembaruan aturan sesuai perkembangan zaman. Berdasarkan aturan adat Sarano Wali yang diterbitkan pada 2013, terdapat sejumlah aturan adat yang diyakini masyarakat Desa Wali akan mampu menjaga harmonisasi hubungan antarwarga masyarakat.
Untuk menjaga ekosistem di darat ataupun di laut, dalam pranata Sarano Wali Pasal 1 Ayat (3) yang diterbitkan tahun 2013 disebutkan ”kita tidak boleh merusak sumber daya alam, baik di darat maupun di laut” dan ”kita harus adil menggunakan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut”.
Jika dengan sengaja mengambil telur penyu, per butir akan dikenai sanksi Rp 600.000. Jika mengambil lumba-lumba atau paus, dikenai sanksi Rp 6 juta per ekor.
Sanksi nyata menanti bagi setiap pelanggar aturan adat dalam aturan yang diterbitkan pada 2013 ini, misalnya bagi seseorang yang mengambil penyu (penyu hijau, penyu sisik, dan kura-kura laut) per ekor dikenai sanksi Rp 3,6 juta. Jika dengan sengaja mengambil telur penyu, per butir akan dikenai sanksi Rp 600.000. Jika mengambil lumba-lumba atau paus, dikenai sanksi Rp 6 juta per ekor.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/59ae3506-b602-478f-b536-ebda9f4f49f4/kvms_194220_20171204_ich_kaombo.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Desa Wali berada di Pulau Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Warga di ”Pulau Batu Bertanah” ini hingga kini masih teguh memegang adat istiadatnya. Sejak dua tahun lalu, masyarakat Desa Wali mencoba menghidupkan kembali kearifan tradisionalnya dalam mengelola dan melindungi wilayah laut.’ credit=’KOMPAS’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/12/194220_p.png?v=54′ /]
Hukum adat Sarano Wali juga memberikan hukuman tegas bagi para perusak sumber daya alam laut. Misalnya, jika dengan sengaja menggunakan bom untuk menangkap ikan, akan dikenai sanksi Rp 25 juta setiap pelanggaran yang dilakukan. Jika dengan sengaja menggunakan potasium untuk menangkap ikan, dikenai sanksi Rp 6,7 juta.
Sanksi tegas juga diberlakukan bagi warga yang mengambil pasir dan batu tebing di wilayah kaombo (Pantai Yoro dan Pantai Mbara-mbara), yakni dikenai denda Rp 6 juta. Bagi warga yang sengaja mengambil bakau (mangrove), akan dikenai sanksi Rp 6 juta per batang. Warga juga akan dikenai sanksi jika dengan sengaja memburu semua jenis burung. Jika melanggar, warga akan dikenai sanksi sebesar Rp 2,4 juta per ekor.
Lokasi ”kaombo”
Berdasarkan rangkuman hasil pemetaan partisipatif oleh WWF Indonesia terhadap warga, pada 2015 warga Kelurahan Wali melakukan penentuan lokasi kaombo. Pada awalnya terdapat tiga wilayah pilihan yang termasuk wilayah kaombo, yaitu Pantai Rawa, Pantai Yoro, dan Pantai Wengka-wengka. Namun, masyarakat memilih Pantai Wengka-wengka sebagai lokasi kaombo dengan pertimbangan karena wilayah tersebut merupakan perairan yang banyak ikan dan sangat rawan terhadap pencurian ikan atau illegal fishing.
Setelah lokasi kaombo ditentukan, selanjutnya dilakukan pemasangan tanda batas kaombo oleh seluruh masyarakat Kelurahan Wali dengan menggunakan transportasi laut, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh lurah Wali. Bagi warga yang sengaja melakukan pencurian ikan atau melanggar aturan, akan dikenakan sanksi seperti yang tertera dalam aturan adat Sarano Wali.
Sebagai upaya agar kaombo dan Sarano Wali menjadi kearifan lokal yang dikenal dan harus ditaati, masyarakat Kelurahan Wali melakukan sosialisasi ke desa-desa lain di Pulau Binongko dengan cara berdiskusi bersama aparat desa dan warga desa. Sosialisasi juga dilakukan bersamaan dengan kegiatan adat atau kegiatan keagamaan.
Sebagai sebuah kearifan lokal, wilayah yang masuk daerah kaombo berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam, sedangkan Sarano Wali berisi kelembagaan, norma, dan sanksi sebagai sebuah sistem untuk menciptakan harmonisasi kehidupan masyarakat Pulau Binongko.
Kelestarian dan keberlangsungan ekosistem alam, tanaman, ikan, dan terumbu karang di perairan sekitar Pulau Binongko tidak bisa terlepas dari kesadaran masyarakat setempat untuk menaati aturan-aturan adat. Partisipasi aktif warga Binongko dengan menaati aturan adat setempat membawa implikasi positif bagi keberlangsungan keseimbangan alam bagi generasi penerus. (TOPAN YUNIARTO/LITBANG KOMPAS)