Hari beranjak senja saat tim Kompas menyelesaikan jeda waktu penyelaman di titik selam Makawidey, di perairan Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (12/9). Sore itu, kami berencana mengakhiri hari dengan menikmati tarian ikan mandarin (Synchiropus splendidus) di bawah air. Ikan mandarin juga kerap disebut ikan barongsai karena warnanya yang seperti barongsai.

”Ikan mandarin baru keluar menjelang gelap begini,” kata Efra Wantah, aktivis lingkungan di Manado, yang bersama rekannya, Meyer Musa, mendampingi tim Kompas selama berkegiatan di Bitung. Turut pula dalam kegiatan ini Ucu Yanu Arbi, Kepala Stasiun Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) di Bitung.

Kebetulan, lokasi ikan mandarin atau ikan barongsai berada di bawah Kapal Motor Bianca, yang bertahun-tahun dibiarkan pemiliknya mengapung di perairan dangkal. Lokasinya sekitar 150 meter dari pantai depan kantor P2O LIPI Bitung. Nama kapal itu, Bianca, kemudian menjadi nama lokasi penyelaman yang terkenal dengan ikan barongsainya.

Nama kapal itu, Bianca, kemudian menjadi nama lokasi penyelaman yang terkenal dengan ikan barongsainya.

Sore itu, tampak juga satu perahu wisatawan mancanegara sedang mengeksplorasi Bianca. ”Nanti, sampai di bawah langsung diam saja, fin (sepatu katak) jangan gerak-gerak agar air tidak keruh,” pesan Meyer, sambil merapikan peralatan selam yang telah dipakainya.

Titik Penyelaman di Selat Lembeh

[kompas-google-maps id=”map-canvas”]

×

Pukul 17.15, tim Kompas mulai turun di Bianca. Suhu yang awalnya 29 derajat celsius berangsur turun satu derajat ketika sampai di kedalaman maksimal 7,3 meter.

Di kedalaman 7,3 meter itu, lokasi pengamatan ikan barongsai ini ibarat panggung pentas dari karang akropora. Kami diminta rebahan alias buoyancy negatif di atas substrat lumpur. Tak lupa, kami memastikan dulu tidak ada ikan pari, ikan batu, atau biota berbahaya di atasnya.

Dari metode inilah, penyelaman di Lembeh juga disebut muck dive atau penyelaman kotor. Dipastikan baju selam hingga kamera kami ditempeli partikel lumpur setelah menyelam dengan cara itu.

Kami juga menyalakan lampu video berkekuatan 6.500 lumens yang tak disetel maksimal serta beberapa senter disorotkan di panggung ”pentas” alami itu. Paparan cahaya sengaja dikurangi agar tidak mengganggu biota nokturnal setempat.

Ikan-ikan mandarin (Synchiropus splendidus) tampak di titik selam Bianca, Selat Lembeh, Sulawesi Utara, Selasa (12/9).

Layaknya sebuah pertunjukan akbar, di tempat ini, awalnya hanya tampak ikan cardinal piyama (Sphaeramia nematoptera) dan ikan cardinal banggai (Pterapogon kauderni) yang berseliweran di depan panggung, seolah berperan sebagai band pembuka.

Sekitar lima menit kemudian, sepasang ikan barongsai berwarna loreng-loreng jingga dan hijau dengan beberapa titik dan garis biru menyala mulai menampakkan diri. Sepasang ikan sepanjang 5-7 sentimeter ini menyembul keluar-masuk dari celah persilangan cabang-cabang karang akropora, seolah meminta perhatian para penyelam.

Sepasang ikan mandarin ini sedang dalam ritual kawin. Tak lama kemudian, pasangan ini meluncur ke atas secepat kilat. Dalam hitungan detik, saat keduanya menempel, air sekitarnya tampak keruh. Rupanya, mereka sedang kawin dengan masing-masing melepas sel sperma dan sel telur di kolom air.

Ikan mandarin (Synchiropus splendidus) ini menjadi daya tarik di titik selam Bianca, di perairan Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (12/9). Tarian sepasang ikan mandarin ini biasa dilakukan saat petang.

Meski hanya menonton pentas ”sederhana” ini, tak terasa kami sudah menghabiskan waktu di bawah air selama 1 jam 15 menit. Waktu selam ini jauh lebih lama dari kebiasaan menyelam sedalam 20-30 meter di lokasi sebelumnya, yakni Jailolo, Teluk Cenderawasih, dan Komodo, yang rata-rata selama 45 menit.

Meski penyelaman di Bianca hanya pada kedalaman 7 meter, atau jauh dari risiko dekompresi, kami memutuskan naik karena tekanan di dalam tabung selam telah mendekati batas risiko 50 bar. Di samping itu, aliran air mulai terasa dingin meski computer selam ”hanya” menunjukkan suhu 28 derajat celsius.

Bianca sungguh memukau, walau Bianca hanya satu dari lebih dari 90 titik selam di perairan Selat Lembeh. Nudi Falls, yang berada di pinggir pulau besar Sulawesi, pun tak kalah unik. Selain kaya akan aneka jenis nudibranch, atau siput laut, seperti namanya, di sini juga terdapat penghuni gorgonian (kipas laut) yang selalu menjadi buruan fotografer makro, yakni kuda laut mini/pigmi dari jenis Hippocampus bargibanti.

Salah satu sudut titik selam Nudi Falls, Selat Lembeh, Sulawesi Utara, Rabu (13/9).

Karena warna tubuhnya merah muda, dengan ukuran maksimal 2 sentimeter, satwa itu relatif sulit ditemukan karena menyatu dengan warna habitatnya. Keduanya sama-sama memiliki tonjolan-tonjolan dengan ukuran dan warna yang sangat mirip.

Di Nudi Falls, kami menemukan kuda laut pigmi di kedalaman 17 meter di pinggir tebing. Karena hanya ada satu individu, dan area pemotretan terbatas, tim yang masing-masing membawa kamera pun bergiliran mengambil gambar si pigmi.

Sambil menanti giliran, fotografer bisa berpuas-puas mengambil gambar nudibranch. Juga tampak anakan barramundi atau kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang berwarna putih kontras dengan totol-totol hitamnya. Warnanya yang putih terang serta cara berenangnya yang meliuk-liuk sangat kontras dengan warna air laut yang cenderung sangat biru di kedalaman.

Seekor kerang berlampu yang diduga dari spesies Lima scabra berada di celah tebing titik selam Bianca, di perairan Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Rabu (13/9).

Di celah-celah tembok tebing dekat si pigmi, ternyata bersembunyi kerang yang diperkirakan berjenis Lima scabra dengan julur-julur mirip anemon berwarna merah. Uniknya, pinggir mulut tubuhnya bercahaya putih terang yang berkedip-kedip ibarat lampu disko ketika disorot cahaya.

Surga fotografi makro dengan hewan renik serta cara memotret yang tak umum dilakukan menjadi keunikan menyelam di Lembeh. Keasyikan menikmati berbagai keajaiban biota-biota aneh ini menggoda kami untuk melakukan penyelaman berisiko, dengan melewati batas tanpa dekompresi (no deco), meski hal ini tak disarankan dilakukan berulang-ulang dan ”wajib dibayar” dengan melakukan safety stop. (ICHWAN SUSANTO/INKI RINALDI/HARRY SUSILO)