La Goa (78) berselonjor di kolong rumah panggungnya sambil menganyam bilah-bilah bambu menjadi tas untuk keperluan memanen singkong. Aktivitas ringan itu mengisi masa tuanya setelah nyaris sepanjang hidup ia bertarung dengan ombak, angin, dan arus laut.

La Goa adalah warga Pulau Binongko, tepatnya di Desa Haka, Kecamatan Togo Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Desa di ujung selatan pulau seluas 15.600 hektar itu merupakan salah satu asal pelaut-pelaut ulung Binongko, para pengarung samudra Nusantara.

”Saya mulai berlayar sejak usia 12 tahun,” kata La Goa saat ditemui, Rabu (27/9).

Sejak itu, ia tak pernah lepas dari kehidupan laut. Seperti kebanyakan kaum lelaki di Binongko, kerasnya hidup di pulau karang itu memaksa mereka sejak usia dini menguatkan diri untuk mencari rezeki di tanah lain. Saat ini, kondisi sudah lebih baik karena makin banyak anak yang dapat bersekolah demi mengejar cita-cita yang lebih tinggi.

Salah satu sudut Desa Wali, Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (28/9), yang berupa perkebunan di atas lahan berbatu. Bebatuan karang menjadi unsur penyusun utama pulau tersebut sehingga sebutan ”Pulau Batu” bagi tempat itu pun melekat sejak masa lalu.

Dengan kapal-kapal layar tradisional yang disebut lambo, pelaut Binongko menjelajahi rute perdagangan kopra dan kayu antarpulau di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, Jawa, dan Sumatera. Bahkan, pada dekade 1970 hingga 1990-an, mereka juga berlayar menembus Malaysia dan Singapura untuk berniaga barang bekas atau yang biasa disebut rombengan.

Saat menemui La Goa, siang itu, Desa Haka tampak sepi. Sebagian besar warga yang terlihat adalah perempuan dan anak-anak karena kebanyakan lelaki dewasa sedang berlayar. Hanya satu lambo yang berlabuh di pesisir desa karena menunggu giliran pemuatan di Pulau Buton.

Namun, sejauh apa pun para pelaut itu pergi, Binongko tetap di hati. Meski tak sedikit warga yang hijrah mengejar perbaikan nasib ke daerah lain, banyak yang memilih selalu kembali.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/28458408-ffcb-49a5-8136-d7067821d4ba/kvms_194236_boti_ardin.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Perahu boti khas Wakatobi.’ credit=’ardiansyah’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/12/194236_p.png?v=16′ /]

”Setiap melaut, saya selalu rindu keluarga. Karena itu, saya selalu pulang ke Binongko,” kata La Goa yang sejak tiga tahun terakhir ”pensiun” dari kehidupan berlayar. Tiga kapal miliknya kini digunakan oleh putra-putranya.

Kehidupan sebagai pelaut juga dijalani La Jafar (48), yang melayari rute pengangkutan kayu Sulawesi Tenggara-Nusa Tenggara Timur. Bermodalkan kapal layar motor berkapasitas 17 gros ton, ia setiap tahun rata-rata menakhodai 10 trip pengangkutan bersama tiga awaknya.

Setiap trip membutuhkan waktu seminggu hingga sebulan dengan pendapatan bersih Rp 2,3 juta per orang. Ia menghitung, secara akumulatif, dirinya hanya menetap sekitar empat bulan per tahun di Binongko. Sisanya dihabiskan di laut atau di daerah asal ataupun tujuan kayu. ”Beginilah (cara) kami memperjuangkan sekuku nasi dan segelas air,” ujar Jafar.

Karang

Binongko merupakan pulau paling tenggara dari empat pulau utama di Wakatobi, rangkaian kepulauan yang membujur pada sumbu barat laut-tenggara. Tiga pulau lainnya adalah Wangi-wangi, Kaledupa, dan Tomia. Keempat suku kata awal pulau-pulau itulah yang membentuk akronim Wakatobi.

Dalam deskripsi kondisi geologi yang dikutip dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Pemerintah Kabupaten Wakatobi 2011-2016, Wakatobi merupakan gugusan pulau karang yang dibentuk dari bahan induk batu gamping jenis koral dan didominasi tanah jenis podsolik. Formasi geologi itu membuat tingkat kesuburan tanah rendah, termasuk di Binongko.

Seorang warga di Desa Haka, Togo Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (28/9), tengah berupaya menanam bibit pisang dengan memecah dan menggali batuan karang.

Oleh karena itu, sejumlah warga pun kerap bergurau menggambarkan pulau tersebut sebagai ”karang bertanah”, bukan ”tanah berkarang”. Karang menjadi pemandangan lazim tidak hanya di bawah laut, tetapi juga di darat.

Namun, ketangguhan, keuletan, dan sikap pantang menyerah membuat warga mampu beradaptasi dengan lingkungan cadas itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2016, penduduk Pulau Binongko yang terdiri dari Kecamatan Binongko dan Togo Binongko berjumlah 16.348 jiwa.

Selain melaut, warga juga menanam singkong dan jagung, dua makanan pokok di Binongko. Jagung biasanya dijadikan bubur. Adapun singkong diolah menjadi kasuami atau sangkola, penganan bertekstur mirip roti, tetapi lebih kasar dan padat dengan rasa tawar agak masam.

Petani di Binongko tidak memakai pacul, tetapi linggis sebagai alat utama bertani. Jika bibit singkong atau benih jagung tak bisa ditancapkan di sela-sela karang, linggis digunakan untuk membobok titik tersebut. Saat mengelilingi jalan lingkar pulau, tanaman singkong, jagung, dan pisang banyak terlihat tumbuh di hamparan lahan karang.

”Hasil panen singkong dan jagung untuk dimakan sendiri. Kalau ada sisanya, baru dijual,” kata La Baali (56), warga Kelurahan Wali, Kecamatan Binongko, saat ditemui di ladangnya di wilayah perbukitan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, Baali juga bekerja sebagai nelayan.

Sumur

Tidak ada sumber air tawar di pulau itu, baik berupa mata air maupun sungai. Warga pun tak patah arang. Kebutuhan minum diperoleh dari menampung air hujan. Adapun untuk keperluan mandi dan cuci, mereka menggali karang untuk membuat sumur meskipun airnya payau.

”Zaman dulu, tetangga sekitar rumah akan bergotong royong membantu warga yang membuat sumur. Namun, sepuluh tahun terakhir sudah ada jasa pembuatan sumur dengan biaya Rp 650.000-Rp 700.000 per meter kedalaman,” tutur Jaenuddin (53), salah satu tokoh masyarakat Kelurahan Wali.

Warga menimba air payau dari sumur di Desa Wali, Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Rabu (27/9). Air bersih menjadi salah satu kendala yang dihadapi warga Binongko. Air payau hanya digunakan untuk mandi dan mencuci. Untuk kebutuhan memasak dan air minum, warga terpaksa membeli air atau menampung air hujan.

Ikatan warga dengan pulau itu makin dikuatkan saat kelembagaan adat, yang sejak kemerdekaan tenggelam, dihidupkan kembali pada 2013 dalam wujud Sarano (pemerintahan adat) Wali Binongko. Adat warisan leluhur itu menyimpan banyak kearifan lokal, terutama yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan.

La Ode Hasahu Tarahayani yang menjabat Lakina (kepala pemerintahan adat) Wali mengatakan, sejak zaman dulu leluhur Binongko sangat menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan alam. Terumbu karang, hutan, dan bakau dilindungi ketat dengan larangan adat yang amat dipatuhi warga karena memiliki konsekuensi sanksi berat.

Salah satunya melalui kaombo atau areal khusus adat yang secara mufakat ditetapkan sebagai daerah terlarang untuk diolah selama jangka waktu tertentu. Saat ini, kaombo diterapkan di sejumlah wilayah hutan, bakau, dan laut Binongko. ”Kami hanya meneruskan apa yang dilakukan orangtua dulu,” ujar Hasahu.

Kearifan itu memastikan seluruh rantai ekosistem pulau di jantung segitiga karang dunia tersebut dapat berkelanjutan untuk generasi berikutnya. Pelaut-pelaut Binongko, seperti La Goa dan La Jafar, pun akan selalu punya tempat untuk pulang. (MOHAMAD FINAL DAENG/INGKI RINALDI/ICHWAN SUSANTO)