Semburat warna jingga mulai terlihat di langit Selayar ketika tim Kompas menapakkan kaki di Dermaga Desa Parak, Kamis (26/10). Petang itu, tidak ada kapal atau perahu berlabuh di dermaga yang menjorok ke laut sepanjang 100 meter ini. Anak-anak yang biasanya selalu ramai mengisi dermaga itu dengan kegiatan memancing dan mandi sudah tidak terlihat. Puluhan sampan dengan polesan cat berwarna-warni mengapung berjejer di bibir pantai yang berada di sisi kiri dan kanan dermaga.
Beberapa saat kemudian, para nelayan dari balik pohon kelapa menghampiri sampan mereka untuk dipakai melaut. Satu per satu para nelayan tersebut mendayung sampan, pergi meninggalkan pantai menuju ke tempat mereka biasa memancing. Sampan-sampan terus berkurang seiring dengan turunnya matahari ke dalam cakrawala. Dari atas dermaga, sampan-sampan yang didayung ini bergerak perlahan-lahan, kemudian mengecil, lalu menghilang bersama di balik ufuk.
”Beginilah kegiatan rutin nelayan di sini kalau bulan mati. Semua turun ke laut karena ikan lagi banyak-banyaknya. Sebentar lagi semua sampan yang ada di sini habis dibawa turun ke laut,” kata Heriyanto (35), warga Parak, saat menikmati pemandangan matahari terbenam di dermaga. Memang benar yang dikatakan Heriyanto. Ketika azan Maghrib berkumandang, semua sampan yang ditambatkan di pantai sudah tidak tampak lagi.
Para nelayan di Desa Parak memiliki rutinitas dalam melaut. Berangkat petang, kembali ke darat lagi sekitar subuh. Dari laut, para nelayan ini langsung membawa hasil tangkapan mereka ke pasar ikan di Benteng, Ibu Kota Kepulauan Selayar. ”Biasanya sampai di Benteng sekitar jam 6 atau jam 7 pagi. Kalau ikannya cepat laku, jam 9 atau jam 10 pagi saya sudah ada di rumah lagi,” kata Agus (50), warga Desa Parak yang menjadi nelayan sejak muda.
Laut Parak sudah dikenal sebagai penghasil ikan karang yang melimpah dengan kualitas yang paling baik di Selayar. Reputasi ikan karang ini sudah diakui semua pedagang ikan yang ada di pasar ikan Benteng. Para pedagang ikan ini cenderung memprioritaskan membeli ikan dari nelayan Parak sebelum membeli dari nelayan tempat lain.
[kompas-highchart id=”produksi-perikanan-selayar”]
Menurut cerita Ramiala (46), pengepul ikan yang biasa berdagang di Benteng, para pedagang berani membayar dengan harga yang lebih tinggi untuk ikan-ikan dari Parak. Ikan-ikan tersebut lebih cepat lakunya meski dijual dengan harga yang lebih mahal. ”Kami sudah kenal baik dengan nelayan-nelayan dari Parak sehingga sulit untuk dibohongi. Kalau pembeli bilang, ikan-ikan dari Parak dagingnya keras, tetapi enak dimakan. Tidak cepat bau dan cita rasanya lebih tahan lama,” kata Ramiala.
Perdes dan DPL
Reputasi ikan karang dari Parak ini merupakan buah dari peraturan desa tentang perlindungan laut dan Daerah Perlindungan Laut (DPL) seluas 20 persen dari total panjang pantai Parak. Perdes Parak membatasi alat tangkap modern, seperti bagan, pukat, dan pancing rawai. Alat tangkap ini hanya diperbolehkan di perairan dengan jarak lebih dari 4 mil dari garis pantai.
”Silakan datang ke Parak tangkap ikan, tetapi patuhi cara-cara kami menangkap ikan. Kami tidak melarang, hanya mengatur alat tangkap dan tempat penangkapan,” kata Andi Nawir, aktivis lingkungan Parak yang mendapat gelar Dai Terumbu Karang atau Datuk dari Kapolres Selayar.
DPL di Parak dikhususkan untuk melindungi karang yang menjadi tempat pembiakan ikan di laut Parak. Luasnya mencapai 10,6 hektar dengan alokasi zona inti seluas 2,2 hektar. DPL ini menjadi kawasan tertutup dan terlarang untuk kegiatan perikanan. Kawasan tersebut diperuntukkan sebagai pusat pembiakan ikan. ”DPL itu menjadi zona aman ikan. Tempat pembenihan sekaligus kebunnya ikan. Kalau sudah besar, ikan-ikan ini akan keluar. Ikan ini yang boleh ditangkap,” kata Zaenal Yasni.
Di Desa Bongaiya, Kecamatan Bontomatene, juga diberlakukan perdes dan DPL untuk melindungi terumbu karang yang ada di perairan Bongaiya. Perairan Bongaiya terbagi menjadi dua kawasan pantai, yaitu sebelah barat panjangnya 15 kilometer dan sebelah timur panjangnya 3 kilometer.
Perdes Bongaiya sangat ketat mengontrol penggunaan alat tangkap nelayan. Nelayan hanya dibolehkan menangkap ikan di dalam wilayah kelola dengan alat tangkap yang ramah lingkungan. ”Perdes bertujuan untuk mengubah perilaku nelayan, terutama nelayan dari luar Bongaiya. Selama ini, mereka datang saja tanpa koordinasi sehingga kami tidak tahu alat tangkap yang digunakan. Perdes akan mengontrol alat tangkap,” kata Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Bongaiya Agusta Herianto.
Agusta juga menceriterakan, saat ini BPD sedang merevisi Perdes Bongaiya tentang Kearifan Lokal yang mengatur tentang DPL. Dalam Perdes revisi ini, jumlah DPL ditambah dua sehingga menjadi tiga DPL, yaitu DPL Taka Bongaiya, DPL Taka Liangtinggi, dan DPL Tanjung Pa’badillang.
”DPL Taka Liangtinggi merupakan DPL lama. Di sana ada terumbu karang dangkal yang dikelilingi laut dalam. DPL Taka Liangtinggi karangnya masih utuh 80 persen. Sementara DPL Tanjung Pa’badilang berupa laut dalam,” papar Agusta.
DPL merupakan program Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar memberdayakan nelayan dan masyarakat pesisir untuk memelihara kelangsungan hidup terumbu karang dan biota laut. Program ini didukung pemerintah desa dan digerakkan langsung oleh masyarakat desa. Pemberdayaan ini merupakan dimensi baru dalam konservasi laut.
”Setiap kepala desa yang punya wilayah laut harus ada kawasan konservasi untuk mencegah praktik illegal fishing. Saya sudah perintahkan kepala desa untuk membuat perdes tentang kawasan konservasi laut,” kata Bupati Kepulauan Selayar Basli Ali di rumah dinasnya, 26 Oktober.
Produktivitas ikan
DPL di Selayar sudah diinisiasi sejak tahun 2004 oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar. Animo pemerintah dan warga desa di Selayar terhadap program ini terbilang tinggi. Hingga tahun 2016, terbentuk 6.089 meter persegi dari 54 DPL yang tersebar di 10 kecamatan. Terumbu karang merupakan jenis biota yang dilindungi dalam tiap-tiap DPL.
Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Selayar menyebutkan, pada 2016 luas keseluruhan area terumbu karang di wilayah ini adalah 82.413 hektar. Ini merupakan salah satu potensi sumber daya pesisir yang bisa menstimulir pembiakan ikan secara masif di perairan Selayar. Apalagi, penemuan peneliti membuktikan bahwa terumbu karang di Selayar merupakan habitat dari 375 jenis ikan pelagis, demersal, ikan hias, dan empat jenis penyu.
Artinya, program DPL untuk menjaga karang sebagai tempat pembiakan ikan terbilang efektif dalam menjaga produktivitas ikan di Selayar selama ini. Data sebaran produktivitas ikan di Selayar menunjukkan adanya perbedaan tingkat produktivitas ikan di antara 10 kecamatan yang memiliki DPL. Kecamatan Takabonerate yang memiliki luas DPL 1.044 meter persegi memiliki produktivitas ikan tertinggi di seluruh Selayar. Meskipun dalam dua tahun ini tren produktivitasnya menurun, angka produktivitasnya tetap yang paling tinggi.
Sebaliknya, Kecamatan Pasimarannu yang DPL-nya paling luas produktivitas ikannya hanya 2.000-an ton per tahun sejak tahun 2014. Jika melihat pada jumlah titik DPL, Kecamatan Takabonerate dan Kecamatan Bontosikuyu sama-sama memiliki 10 titik DPL. Namun, produktivitas ikan di Bontosikuyu hanya seperlima dari produktivitas ikan di Takabonerate.
Perairan Laut Selayar tetap menjadi gudang ikan yang potensial karena para nelayannya sudah memiliki kesadaran untuk menjaga laut mereka. Praktik illegal fishing yang pernah terjadi di perairan Parak kini tinggal cerita masa lalu bagi para pelindung laut. Kini, bom ikan dan bius sudah hilang dari wilayah Parak dan diharapkan semangat positif ini menyebar ke daerah lain di Selayar. Karena itulah, meskipun produktivitas ikan selalu fluktuatif, pemerintah dan masyarakat Kepulauan Selayar selalu optimistis, ikan tidak akan pernah pergi meninggalkan Laut Selayar. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)