Kampung Yomakan di Distrik Rumberpon, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, pernah dijuluki Kampung Vietnam. Mengapa? Karena penduduk kampung itu dulu gemar menangkap ikan menggunakan bom atau bopis. Kini, kebiasaan itu berangsur hilang karena warga mulai sadar tentang pentingnya pelestarian lingkungan.
Hari itu, sepuluh anak berusia tiga tahun hingga tujuh tahun duduk manis menyimak cerita Kepala Bidang Perpustakaan Teluk Wondama Anneke R Morin atau yang biasa disapa Mama Morin. Mama Morin bercerita tentang legenda Kampung Yomakan, yakni Sawasemaria, nenek moyang warga Yomakan. “Yo makan, yo makan. Akhirnya kampung ini diberi nama Yomakan,” ujar Mama Morin, mengakhiri ceritanya.
Legenda itu menceritakan kebersamaan warga Yomakan, kampung di pesisir pantai Taman Nasional Teluk Cenderawasih, di tengah berlimpahnya sumber daya alam di darat dan di laut yang lebih dari cukup untuk menghidupi seluruh warga. Kini, penduduk Yomakan terus bertambah dan mencapai 86 keluarga yang terdiri dari 13 marga.
Berlokasi di Teluk Cenderawasih membuat sebagian besar warga menggantungkan hidup pada laut dengan menjadi nelayan. Mereka memancing dan menombak. ”Kami tidak perlu pergi jauh-jauh ke tengah laut. Ikan-ikan datang sendiri ke tepi pantai. Kami tinggal pancing atau tombak,” kata Lambertus Yomaki (53), warga Yomakan. Jauh sebelumnya, hal serupa juga dialami ayah dan kakeknya.
Selain memancing dan menombak, ada satu-dua warga yang mencari ikan dengan bom atau bopis. Ini perilaku lama, warisan puluhan tahun lalu. Warga desa dulu melakukannya setelah melihat beberapa tentara Belanda melakukan itu. ”Mereka kemudian mengambil mesiu dari granat atau misil yang tidak terpakai saat perang,” kata Andres Torai (54), tokoh masyarakat sekaligus Ketua Kelompok Pengawasan Masyarakat Yomakan.
Pengeboman dulu mulai dilakukan sejak awal-awal masa kemerdekaan. Tindakan itu meluas setelah pendatang dari Baubau tiba di Teluk Wondama pada 1970-an dan menangkap ikan dengan bopis. Masyarakat Yomakan kemudian ramai-ramai mengikuti cara itu hingga hampir semua nelayan mahir merakit bopis. Puncak pemakaian bopis terjadi pada kurun 1990-an sampai 2005.
Menurut Lambertus, ketika itu para nelayan yang hendak melaut seperti hendak maju ke medan tempur. Dalam satu perahu berisi 10 orang tidak hanya dilengkapi jala, tetapi juga bopis. Lalu, para nelayan melempar bopis bergantian ke laut. Belum selesai mereka mengambil ikan yang mati terkena ledakan, terdengar suara bopis lain dari kanan, kiri, belakang, dan depan. Suasananya mirip sekali dengan pertempuran. ”Makanya, dulu Yomakan disebut Kampung Vietnam karena setiap hari seperti perang di Vietnam,” katanya sambil tertawa.
Sekali ”berperang”, para nelayan dapat mengeruk hingga 2 ton ikan. Jauh lebih banyak daripada memancing atau menombak yang paling-paling hanya mendapat 100 kilogram. Mesiu juga bukan barang yang sulit didapat. Nelayan bahkan dapat membeli mesiu hingga 50 kilogram di Manokwari. Dari bahan baku mesiu itu dapat dirakit 100 sampai 140 bom.
Lambertus ingat dalam sehari dia memegang uang Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Namun, uang itu cepat sekali habis seumpama alkohol yang menguap. “Ya, kalau banyak uang, kami mabuk-mabukan atau beli barang-barang yang sebenarnya tidak kami butuhkan. Apalagi, waktu itu kami masih lajang,” kata pria yang sejak usia 18 tahun sudah mencari ikan dengan bopis.
Penggunaan bopis meluas hingga Kampung Sombokoro, Distrik Windesi, Kepualauan Auri, bahkan Kampung Napan Yaur dan Kwatisore di Kabupaten Nabire. Mencari ikan dengan bopis diakui hemat dan efektif. Namun, perilaku itu merusak terumbu karang di Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Kerusakan tersebut jelas tidak sebanding dengan hasil yang didapat.
Ini dibuktikan dengan rumah Lambertus, yang seperti kebanyakan rumah warga di Teluk Cenderawasih. Rumah itu hanya berdinding papan dengan penerangan yang mengandalkan solar cell. Ketika malam merayap semakin larut, satu per satu rumah warga gelap gulita kehabisan energi matahari. Belasan anak bertelanjang kaki dan sebagian bertelanjang dada kemudian keluyuran di dermaga atau jalan-jalan depan rumah.
Di siang hari, anak-anak pun pergi sekolah tanpa alas kaki. Pakaian mereka lusuh karena tak punya baju ganti. Beberapa anak tak berhenti menggaruk sekujur badannya yang dipenuhi kudis dan kurap. Kemiskinan memeluk erat Kampung Yomakan. Uang yang melimpah dari hasil mengebom beberapa waktu silam seolah sama sekali tidak berbekas.
Warisan anak-cucu
Lambertus mengakui, Yosias Yomaki (46), adiknya, yang kebetulan menjadi kader konservasi Taman Nasional Teluk Cenderawasih, pernah mengingatkannya. Dia berulang kali mengatakan bahwa bopis merusak lingkungan dan memiskinkan warga. Namun, Lambertus terlalu mabuk dengan jutaan rupiah dalam genggamannya dan tidak menemukan bangunan logika antara mengebom ikan dan kemiskinan warga. ”Bagaimana bisa miskin kalau mendapat jutaan rupiah?” demikian pemikirannya.
Paralel dengan nasihat Yosias itu, World Wildlife Fund (WWF) juga gencar mengampanyekan penyelamatan lingkungan laut di perairan Yomakan dengan meminta warga menghentikan pemakaian bopis. Kampanye ini antara lain terangkum dalam Education for Sustainable Development (ESD) dan Pendidikan Lingkungan Hidup. Salah satu tujuannya memberi pemahaman dan perspektif menjaga kelestarian lingkungan pada orang dewasa ataupun anak-anak.
Tahun 2008, Lambertus berhenti mengebom ikan dan kembali memilih cara memancing dan menombak setelah bersentuhan dengan WWF. ”Sekarang ini, menombak dan memancing hanya bisa dapat ikan 20 kilogram atau 30 kilogram. Ini karena ikan-ikan su habis dibom. Kalau bom meledak, bukan hanya ikan besar yang mati, telur-telur juga hancur. Karang-karang tempat ikan bertelur juga hancur,” ujarnya.
Kesadaran itu membuat Lambertus aktif dalam gerakan pemulihan terumbu karang dengan cara mencangkok terumbu karang. Dia belajar cara mencangkok terumbu dan menyelam. Meskipun butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun, untuk bisa memulihkan terumbu karang yang rusak, tetapi baginya itulah cara menebus dosa selama dia mengebom ikan dan terumbu karang.
Sekarang ini, hampir seluruh warga Yomakan bersedia menghentikan pengeboman ikan dan sepakat membuat peraturan kampung tentang pelarangan pencarian ikan dengan cara mengebom. Peraturan kampung ini muncul lantaran masih ada setidaknya delapan keluarga yang tetap memakai bom sebagai cara menangkap ikan.
Petang itu, warga berkumpul di dermaga membahas peraturan kampung. Ketegangan sempat memayungi pertemuan itu karena beberapa warga menolak menyetujui peraturan kampung jika tetangganya yang masih menggunakan bopis tidak dihadirkan dalam pertemuan. Setidaknya, ada tiga keluarga yang memilih tidak hadir malam itu, padahal mereka masih menggunakan bopis.
Lambertus termasuk orang yang paling gigih memperjuangkan pemulihan lingkungan. Tidak heran apabila dia juga menjadi orang yang paling gemas ketika ada warga yang tak mau mengikuti aturan. Dia beberapa kali melaporkan warga yang masih nekat menggunakan bom. Pada Desember tahun lalu, warga itu akhirnya ditangkap polisi dan diminta menandatangani surat perjanjian untuk tidak kembali mengebom ikan.
Aparat kampung dan tetua adat berulang kali menggunakan pendekatan kultural agar warga berhenti mengebom. ”Kami akan memanggil warga yang masih menggunakan bom untuk bicara baik-baik. Kalau nanti masih mengebom, biar polisi yang maju,” kata Hans Paiki, Sekretaris Kampung Yomakan.
Hari-hari ini di perairan Teluk Cenderawasih relatif tenang sehingga anak-anak bisa belajar dengan tenang seperti saat mendengar dongeng Mama Morin. ”Anak-anak, boleh tidak lempar bopis ke laut?” tanya Mama Morin.
“Tidaaak..!” jawab anak-anak serentak. Orang tua dan anak-anak kini sadar untuk menjaga keutuhan alam. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)