Keberadaan hiu paus (Rhincodon typus) di perairan Kwatisore, Nabire, Papua, dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah daya tarik bagi para pengunjung. Berbeda dengan sejumlah titik di dunia—seperti Meksiko, Kepulauan Galapagos di Samudra Pasifik, dan sejumlah lokasi lain di Indonesia yang hanya dikunjungi binatang laut ini beberapa kali dalam setahun—di Teluk Cenderawasih ikan ini bisa ditemui sepanjang tahun.
Pengunjung hanya perlu mengunjungi salah satu bagan penangkap ikan milik nelayan biasa di kawasan perairan itu, membeli ikan puri (sejenis ikan teri) berukuran kecil-kecil dari penjaga bagan, menebarkannya, dan tinggal menanti kemunculan hiu-hiu paus memakan ikan-ikan kecil itu. Itulah yang Kompas alami pada 15-16 Agustus lalu dalam upaya mendokumentasikan ikan terbesar di dunia itu.
Sebanyak tiga individu hiu paus, yang ditandai sebagai ID013, ID134 dan ID135, muncul pertama kali pada Selasa (15/8) itu di bagan bernama Cahaya Nurul. Penandaan dilakukan organisasi nonpemerintah World Wildlife Fund (WWF) dengan metode identifikasi pola pada bagian sirip dorsal di punggung hiu-hiu paus itu.
Evi Nurul Ihsan, Monitoring and Surveillance Officer WWF Indonesia di Teluk Cenderawasih, mengatakan, ID013 diketahui muncul sejak 2012 dan diberi nama ”Djati.” Adapun ID134 dan ID135 tercatat sejak November 2016.
Pada saat awal dimonitor, Djati baru berukuran sekitar 3 meter. Ukuran Djati sudah menjadi sekitar 6 meter pada Rabu (16/8) saat kami dokumentasikan.
Sementara dua individu lain masing-masing berukuran sekitar 4 meter dan 5 meter. Ketiganya tidak tampak terganggu dengan kehadiran sejumlah orang yang berupaya mengabadikan mereka.
Berulang kali hiu-hiu paus itu hilir mudik memburu ikan-ikan puri yang ditaburkan ke pinggiran bagan. Mulut ketiganya menganga dan mengatup berulang kali di permukaan laut saat melahap ikan-ikan kecil itu.
Para penjaga bagan Cahaya Nurul, yakni Mangka (31), Irduan (25), Rasul (20), dan Akbar (17), mengamati aktivitas ini dari atas bagan. Mereka berasal dari Takalar di Sulawesi Selatan dan bekerja untuk juragan yang berada di Nabire, Papua.
Pada Rabu (16/8) itu, tiga turis dari Spanyol ikut naik ke atas bagan untuk mendokumentasikan hiu paus bersama kami. Mereka disertai sepasang suami-istri dari Belgia dan Amerika Serikat, Alain Schroeder dan Lynn Cohen, yang sudah empat tahun terakhir berkeliling dunia.
Mereka tampak semringah meskipun kamera Schroeder sempat mengalami masalah karena terkena air laut. ”Di tempat kami berasal, tidak ada ikan sebesar ini,” kata Lynn.
Turis-turis itu membayar kepada pengelola jasa penginapan atau perjalanan wisata untuk diantar ke bagan-bagan ini. Untuk setiap satu jam sesi pengamatan hiu paus dengan umpan satu kotak ikan puri, para pengunjung itu membayar ke para penjaga bagan sekitar Rp 400.000-500.000. Sementara jika durasinya seharian, antara pukul 07.00 hingga 16.00, biayanya sekitar Rp 3 juta.
Besaran biaya itu relatif. Jumlahnya bisa berubah menyusul pasokan ikan puri dan sejumlah kondisi lain. Para pengunjung biasanya membayar biaya tersebut ke pengelola penginapan atau kapal wisata yang memberikan jasa kepada wisatawan. Selain penjaga bagan, pihak kampung juga beroleh sebagian dari biaya tersebut.
Tidak ada bagian dari pembayaran itu yang harus disetorkan ke para pemilik atau juragan bagan. “Juragan tahu (ada aktivitas pariwisata), tetapi tidak minta bagian. Kita dapat (uang dari pengunjung), itu saja (penghasilan) sampingan,” sebut Mangka.
Irduan mengatakan, para pengunjung mulai berdatangan menyaksikan keberadaan hiu paus sejak 2010. Dalam versinya, adalah pengunjung asal Amerika Serikat yang saat itu lebih dulu datang dan membeli ikan puri dalam satu kotak pendingin seharga Rp 300.000 sebagai umpan.
Ia mengingat, pada masa itu kemunculan hiu paus di sejumlah bagan di kawasan tersebut masih lebih banyak. Ini menyusul masih belum tersebarnya individu-individu hiu paus tersebut ke sejumlah bagan lain dalam kawasan perairan tetangga.
Terjadi alamiah
Kedatangan wisatawan dan hubungan mutualisme dengan penjaga bagan tejadi secara alamiah. Mangka dan Irduan mengaku belum ada upaya pemberdayaan atau pelatihan layanan jasa wisata oleh pemerintah terkait keberadaan hiu paus yang masuk daftar merah terancam punah di Badan Konservasi Dunia (IUCN) sejak 2016 itu.
Spesialis Pengelolaan Konservasi Elasmobranch (ikan tanpa tutup insang) organisasi nonpemerintah Conservation International, Abraham Sianipar, Selasa (23/8), di Jakarta, menyebutkan, pengaruh interaksi hiu paus dengan manusia di bagan tengah dipelajari. Salah satunya lewat survei kesehatan hiu paus dengan pengambilan sampel darah untuk diuji kandungannya dalam laboratorium.
Menurut Abraham, terdapat dilema terkait operasional bagan dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. “Kok, di zona taman nasional ada bagan, tetapi di sisi lain ini merupakan platform untuk wisata hiu paus yang juga ikonik untuk (industri) pariwisata,” ujar Abraham.
Selain itu, keberadaan sejumlah bagan dalam kawasan tersebut juga belum diketahui aktivitas detailnya dalam menangkap ikan. Ini memicu kekhawatiran mengenai kemungkinan eksploitasi berlebihan stok ikan puri sebagai sumber makanan hiu paus dan salah satu dasar dalam rantai makanan di ekosistem tersebut.
Jika pengelolaannya, yang didasarkan pada data survei, tidak dilakukan secara hati-hati, ada kemungkinan hiu paus menghilang. Perlu ada perhatian khusus soal ini. (ICHWAN SUSANTO/MOHAMMAD HILMI FAIQ/INGKI RINALDI)