Halmahera Barat dengan bentang alam dari laut hingga pegunungan memiliki potensi keindahan yang dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata yang tidak kalah menariknya dengan daerah lain di Maluku Utara. Geliat wisata mulai digerakkan oleh pemerintah kabupaten dengan mempromosikan keindahan alam melalui sejumlah festival wisata. Di sisi lain, infrastruktur, seperti jalan ke kawasan wisata, hotel, dan restoran, terus dibenahi sambil merangkul masyarakat untuk terlibat mempromosikan pariwisata daerah.

Penyelaman di titik NHR02 di sekitar Pulau Babua, Jailolo, Halmahera Barat, Kamis (27/7).

Nama Halmahera Barat boleh jadi belum sesanter nama-nama daerah tujuan wisata di Kepulauan Maluku, seperti Morotai, Ternate, Tidore, ataupun Banda. Padahal, sebagaimana destinasi wisata lain di Maluku, Halmahera Barat juga memiliki lanskap alam yang menawarkan keindahan, mulai dari dasar laut dengan beragamnya biota bawah laut dan terumbu karang hingga pegunungan yang menyajikan hamparan tumbuhan dan pepohonan nan hijau. Beberapa tempat yang sering menjadi tujuan wisatawan untuk menikmati pesona keindahan bawah laut tersebar di beberapa titik penyelaman, seperti di Pulau Babua, Pastofiri, Tanjung Matui, dan sekitar Teluk Jailolo.

Pulau Babua di Jailolo, Halmahera Barat, Kamis (27/7). Di pulau dengan luas hampir sama seperti Pastofiri itu terdapat makam keramat yang oleh warga setempat dinamakan jere. Babua yang terbentuk dari karang hitam dengan tinggi belasan meter diyakini menjadi tempat bersemayam para leluhur Jailolo yang dianggap sebagai kaum aulia.

Selain alam bawah laut, keindahan daratan Halmahera Barat juga memukau, seperti Teluk Jailolo, Pantai Marinbati, dan Tanjung Bobo. Dari aspek kebudayaan, rumah adat asli masyarakat Halmahera Barat, yaitu Rumah Adat Sasadu, ternyata masih berdiri utuh dan dapat dikunjungi.

Demi masa depan, pemerintah setempat telah merencanakan pengembangan kawasan wisata beserta tata kelolanya. Promosi, penyiapan infrastruktur, dan peningkatan partisipasi masyarakat sebagai insan wisata juga terus dilakukan di tengah berbagai kendala, terutama minimnya alokasi dana dan investasi.

Pulau kecil Pastofiri di Teluk Jailolo, Halmahera Barat, Rabu (26/7).

Pariwisata Halmahera Barat memang belum lama dikembangkan. Dinas pariwisata di kabupaten itu bahkan baru dibentuk pada tahun 2009. Sebelumnya, kepariwisataan diurus oleh dinas pendidikan dan kebudayaan. Pembentukan dinas pariwisata kemudian dipandang sebagai komitmen nyata untuk mengembangkan kepariwisataan daerah.

Pemkab setempat kini juga sedang menggenjot promosi untuk memperkenalkan Halmahera Barat. Promosi destinasi wisata memang syarat mutlak dalam pengembangan pariwisata. Promosi bahkan diharapkan memantik kunjungan wisatawan setelah makin banyak orang yang mengenal keindahan alam Halmahera Barat. Beberapa tahun terakhir, promosi digelar, mulai dari melalui media sosial hingga festival.

[kompas-highchart id=”jumlah-wisatawan-halmahera”]

 

Momentum kebangkitan

Setiap bulan Mei, Pemkab Halmahera Barat juga menggelar Festival Teluk Jailolo (FTJ). Diinisiasi oleh Namto Hui Roba, Bupati Halmahera Barat ketika itu, FTJ diselenggarakan pertama kali pada 2009. Tujuannya, tentu untuk menggaungkan pariwisata di daerah tersebut.

Festival tahunan itu juga dijadikan ajang peningkatan kesadaran dan edukasi luas kepada masyarakat setempat untuk menjadi masyarakat yang sadar dan turut membangun pariwisata daerahnya. Jangan heran apabila masyarakat menjadi salah satu pihak yang mendukung kesuksesan FTJ. Anak sekolah, pegawai pemerintahan, nelayan, hingga petani ikut ambil bagian.

Sesuai namanya, festival ini menampilkan beragam pergelaran seni dan budaya yang meriah di tepi Teluk Jailolo. Pengunjung akan menikmati suguhan keindahan panorama laut dan pertunjukan seni-budaya sekaligus.

 

Meskipun belum signifikan dalam mendatangkan wisatawan, setidaknya FTJ telah memberikan dampak positif pada kemajuan pariwisata Halmahera Barat. Tahun 2011-2013 bahkan tercatat kedatangan hingga lebih dari 38.000 wisatawan.

Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan juga berdampak pada kegiatan ekonomi di sektor pariwisata. Merujuk pada indikator produk domestik regional bruto (PDRB) Halmahera Barat dalam beberapa tahun terakhir, sektor kepariwisataan yang dalam hal ini diperlihatkan oleh lapangan usaha penginapan dan restoran terus menunjukkan tren kenaikan.

Kendala infrastruktur

Halmahera Barat merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara pada 2003. Setelah 14 tahun menjadi daerah otonom, geliat perekonomian di Halmahera Barat memperlihatkan tren positif. Meski demikian, dari data PDRB Maluku Utara tahun 2016, ternyata sumbangsih Halmahera Barat baru Rp 1,3 triliun. Nilai tersebut relatif kecil dibandingkan dengan wilayah lain, seperti Halmahera Selatan, Halmahera Utara, dan Halmahera Timur.

Sektor pariwisata yang digadang-gadang sebagai motor baru penggerak roda ekonomi kini terus dibenahi. Ada banyak tempat yang memiliki pesona keindahan alam, tetapi potensi keindahan tersebut belum tergarap dengan baik karena kurangnya promosi dan minimnya infrastruktur.

Hutan mangrove di Gamtala, Jailolo, Halmahera Barat, Selasa (25/7). Mangrove yang masih terjaga ini menjadi salah satu wisata andalan di Jailolo.

Pariwisata jelas belum menjadi primadona dalam perekonomian Halmahera Barat. Perekonomian daerah masih bertumpu pada pertanian dan perikanan. Mengacu pada PDRB Halmahera Barat, sektor pertanian dan perikanan masih mendominasi—setidaknya dalam empat tahun terakhir—dengan nilai Rp 450 miliar per tahun. Bandingkan dengan sektor penyedia akomodasi dan restoran, sebagai tolok ukur geliat kegiatan pariwisata, yang hanya Rp 2,5 miliar hingga Rp 3 miliar setiap tahun.

Indikator minimnya pariwisata dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah akomodasi yang terbilang lamban. Sampai tahun 2015, hanya terdapat 11 penginapan di Halmahera Barat. Minimnya akomodasi ini yang menyebabkan Halmahera Barat belum menjadi destinasi utama. Banyak wisatawan yang datang ke Halmahera Barat, tetapi justru menginap di wilayah lain, seperti Kota Ternate yang berjarak tidak begitu jauh.

[kompas-highchart id=”jumlah-akomodasi”]

 

Pariwisata berbasis masyarakat

Tingginya animo masyarakat saat FTJ kiranya dapat menjadi modal dasar. FTJ dapat pula menjadi momentum kebangkitan pariwisata yang melibatkan masyarakat lokal. Festival di teluk tersebut juga dapat menjadi pintu masuk dalam menumbuhkan semangat kebersamaan dalam keberagaman sosial.

Patung Saloi di kawasan Taman Festival Jailolo, Pelabuhan Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara, Jumat (28/7). Patung Saloi menjadi salah satu landmark atau penanda kota Jailolo.

Mengembangkan kepariwisataan memang sedapat mungkin harus melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk masyarakat. Mengapa? Karena pariwisata berbasis masyarakat akan jauh lebih berdampak langsung pada geliat perekonomian rakyat. Pariwisata sejatinya dapat menjadi pemantik munculnya berbagai kegiatan usaha lain yang saling terkait. Misalnya, tumbuhnya rumah makan, penginapan, hingga jasa transportasi.

Pariwisata harus dipahami merupakan sektor yang saling terkait dengan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi di suatu wilayah. Seorang ahli bernama Swarbrooke menegaskan, pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya dan mengintegrasikan segala aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung.

[kompas-image-360 src=”https://terumbukarang.kompas.id/wp-content/uploads/sites/226/2017/11/360-Hutan-Mangrove-Jailolo.jpg” caption=”Hutan Mangrove di Jailolo” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]

Pariwisata dapat pula menjadi payung dari terintegrasinya ekonomi di suatu wilayah. Untuk itu, pembenahan aspek fisik, seperti terbangunnya infrastruktur, menjadi penting. Walau begitu, peningkatan mutu sumber daya manusia masyarakat sebagai tuan rumah destinasi wisata menjadi tidak kalah pentingnya.

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat ini sudah dimulai beberapa waktu lalu. Setidaknya, kini ada 10 desa yang berpotensi di Halmahera Barat yang dikembangkan sebagai destinasi desa wisata. Ke-10 desa tersebut adalah Bobo, Bobonehena, Guaemaadu, Guaeria, Gamlamo, Tuada, Gamtala, Lako Akediri, Akelamo, dan RTB.

Desa Bobonehena, misalnya, selain pantai berpasir putihnya indah, di sana juga terdapat sumber air panas. Wisatawan juga dapat diajak menikmati wisata religi dengan mengikuti kegiatan para penghafal (hafiz) Al Quran. Ada pula Desa Guaeria, terletak sekitar 20 menit penyeberangan dari Jailolo, yang merupakan desa di sebuah pulau kecil. Desa ini unik karena ada larangan merokok bagi penduduk desa. Wisatawan dapat pula mengikuti aktivitas keseharian masyarakat desa dan tinggal bersama di rumah penduduk setempat.

Suasana di Desa Guaeria, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Selasa (25/7). Desa Guaeria menerapkan peraturan larangan merokok bagi siapa pun, baik warga desa maupun pengunjung. Orang yang melanggar akan diminta meninggalkan desa tersebut.

Dinas pariwisata selaku pemegang komando dalam pengelolaan wisata di Halmahera Barat mengakui ada banyak kendala untuk mengembangkan kepariwisataan. Tidak hanya minim infrastruktur, tetapi juga minim pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengembangkan potensi destinasi wisata di daerahnya.

Industri wisata harus disadari juga membutuhkan sentuhan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pengelolaannya. Lebih dari itu, keberlangsungan pariwisata berbasis alam juga harus didukung sikap masyarakat untuk menjaga dan merawat lingkungan.

 

Program edukasi masyarakat mengenai tata kelola dan kepariwisataan secara lengkap dengan demikian penting bagi penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Sebagai tuan rumah, masyarakat tidak boleh hanya diam menjadi penonton menyaksikan turis berlibur menikmati eloknya tanah Halmahera. Keindahan alam adalah aset berharga yang harus dikelola dengan adil dan bijak sehingga dapat mendatangkan kemaslahatan bagi perekonomian rakyat. (LITBANG KOMPAS/EREN MARSYUKRILLA)