Kerusakan terumbu karang dan kerumunan ikan yang susah payah mencari makan. Itulah yang dilihat penari, koreografer, dan dosen Eko ”Pece” Supriyanto (46) tatkala masa-masa awal berkarya di Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara.
Tarian Cry Jailolo kemudian lahir sebagai respons Eko atas kondisi tersebut. Enam pemuda lokal ditempa Eko sebagai para penari karya awalnya di Jailolo tersebut.
Keseharian ekosistem laut Jailolo yang digubah dari gerakan tarian adat suku Sahu di Halmahera Barat yang bertumpu pada tumit.
”Tentang terumbu kerusakan terumbu karang. Schooling fish (kerumunan ikan) dan kehancuran terumbu karang (pada saat itu),” kata Eko sembari mengisahkan tindakan menjaga kondisi terumbu karang yang baru kembali dilakukan belakangan.
Pesan kuat ihwal kondisi bawah laut dan pergulatan berbagai biota yang hidup dan menghidupinya itu dipentaskan untuk pertama kali di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2013. Sejak saat itu Cry Jailolo makin mendunia.
Gerakan-gerakan ritmis tumit-tumit kaki yang ditempa alam Halmahera Barat berkeliling mengentak panggung demi panggung. Mementaskan keseharian ekosistem laut Jailolo yang digubah dari gerakan tarian adat suku Sahu di Halmahera Barat yang bertumpu pada tumit.
Lantas di tahun 2016, karya kedua dilahirkan, yakni Bala-bala. Untuk karya ini, lima perempuan muda Jailolo dilatih Eko.
Bala-bala menyampaikan pesan tentang kontrol perempuan atas dirinya. Ini terlihat dari dipilihnya tari tradisional soyasoya dan cakalele yang dipergunakan sebagai dasar koreografi Bala-bala. Dalam tradisinya, soyasoya dan cakalele hanya ditarikan laki-laki sebagai tarian perang. Pemilihan penari perempuan untuk karya tersebut merupakan dekonstruksi atas dominasi konsep patriarki dalam budaya maritim di Halmahera Barat.
Menurut Eko, karya keduanya di Jailolo ini merupakan pengungkapan personal dalam hubungannya dengan alam, keluarga, dan ekosistem, alih-alih ihwal diskursus jender. ”Selain itu, Bala-bala juga sangat personal karena Bala-bala berhubungan dengan (kisah) ibu saya. Dari sakit sampai meninggal (memiliki) pengalaman hidup sangat tidak mengenakkan dan ini membuat saya antusias dan masuk,” kata Eko.
Kekuatan fisik, dengan tumpuan pada kedua tungkai kaki, menjadi intisari seluruh gerakan. Ini misalnya dapat dirasakan tatkala mengikuti sesi pemanasan dalam latihan Bala-bala oleh sejumlah penari yunior yang jadi pelapis para penari senior.
Gerakan dengan menekuk sebagian tubuh dengan posisi kepala mengangguk dan sepasang kaki sebagai tumpuan, misalnya, relatif menguras energi besar. Atau gerakan seolah duduk, tetapi tanpa kursi sebagai penyangga, yang juga butuh tenaga kuat.
Kini, di tahun 2017, Eko menyelesaikan karya ketiganya, Salt. Ini adalah tarian tunggal oleh Eko dan merupakan eksplorasi Eko atas pengalaman tubuhnya sebagai seorang penari yang mengalami kondisi tanpa gravitasi tatkala menyelam. Pentas perdana Salt berlangsung bulan Oktober lalu di Belgia.
Salt adalah tentang dunia bawah laut dengan kenyamanan berbeda dibandingkan panggung. Salt juga merupakan refleksi atas beragam latihan tari yang menempa Eko sejak kecil dan memengaruhi proses ketubuhannya.
Bagi penari Bala-bala dan keluarga mereka, eksplorasi Eko berarti sangat besar. Marwiah Umar (49), orangtua Siti Sadia yang biasa dipanggil Tika dan merupakan salah seorang penari Bala-bala, eksplorasi dan pencapaian Eko membuatnya merasa bersyukur.
Itu menyusul kebanggaannya atas prestasi gemilang Tika di mancanegara. Minat untuk mendalami dunia tari kemudian juga turut bergolak di kalangan anak muda.
Kondisi ini relatif tidak dialami di masa sebelumnya tatkala hanya ada relatif sedikit kaum muda yang menaruh minat. Kesenjangan itu juga dikenali Eko dengan nyaris tidak adanya pemuda berminat untuk menari, kecuali anak-anak dan orang-orang tua.
Minat yang membesar di kalangan muda, ditambah dukungan dari berbagai pihak, membuat Jailolo kemudian mulai banyak dikenal. Terangkatnya nama Jailolo, yang kemudian berkelindan dengan minat banyak orang untuk datang, lantas berhubungan pula dengan tingkat pendapatan bagi warga.
Sementara bagi para penari, seperti Siti Sadia Akil Djalil yang disapa Tika, Bala-bala berarti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan dalam berbagai hal, seperti kemampuan menarikan soya-soya yang sebelum Bala-bala hanya bisa ditarikan laki-laki, serta kesetaraan dalam nyaris segala bidang, termasuk bagaimana mengelola sumber-sumber daya laut Jailolo.
Sumber daya yang, menurut Tika, sangat berharga dengan kekayaan ikan dan terumbu karang pemikat wisatawan serta tidak semestinya dirusak dengan pengeboman ikan dan sampah yang mengotori laut. Tika tidak sedang mengada-ada sebab Jailolo adalah episentrum kekuatan laut di masa silam yang memikat pihak lain.
Kondisi lingkungan
Timbul tenggelamnya Jailolo sebagai sebuah kerajaan cenderung berkelindan dengan apa yang terjadi pada lingkungan hidupnya. Kerusakan terumbu karang dan belakangan relatif pulih kembali menyusul dinamika perairan yang diperkaya dengan sumber-sumber vulkanik dan sebagian dipotret Eko itu merupakan salah satunya.
Tentang ketergantungan orang-orang Jailolo yang relatif besar pada sumber daya kelautan dan pada bagaimana sandaran itu goyah tatkala kondisi laut mulai rusak.
Pelibatan kaum muda setempat dilandasi alasan sederhana bahwa mereka sebelumnya tidak punya cukup alasan untuk belajar, berlatih, dan menguasai potensi kesenian tersebut. Namun, kisah kerumunan ikan (schooling fish) kehilangan terumbu karang, yang menjadi tema Cry Jailolo, telah menautkan keseharian yang dihadapi dalam kehidupan sebagian warga.
Karya itu menjadi relevan dengan kondisi masyarakat. Tentang ketergantungan orang-orang Jailolo yang relatif besar pada sumber daya kelautan dan pada bagaimana sandaran itu goyah tatkala kondisi laut mulai rusak.
Fakta tentang kerusakan ekosistem bawah laut di kawasan itu juga diungkap Profesor Riset bidang Biologi Laut Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), Suharsono. Ia menyebutkan, kondisi Teluk Jailolo secara ekologis berada dalam status sekarat.
Ini menyusul sedimentasi ataupun tumpukan sampah akibat peningkatan aktivitas pembangunan menyusul pertambahan jumlah penduduk dan sebagainya. Tentu saja ini bukan sebuah keadaan yang hanya terjadi di Jailolo.
Nyaris seluruh wilayah ibu kota provinsi Maluku Utara, dengan wilayah perairan di depannya, punya kondisi relatif mirip. Hal ini menyusul ketiadaan rencana induk di provinsi tersebut untuk menyelamatkan perairan yang berada di depan wilayahnya. ”Jailolo itu, kan, sekarang mau dikembangkan sebagai ibu kota provinsi,” kata Suharsono.
Menurut dia, sejak awal pembangunan ibu kota provinsi dengan wilayah perairan di depannya, kepemilikan rencana tata ruang merupakan kewajiban. Suharsono menyebutkan, kondisi perairan yang masih relatif baik berada kawasan pelabuhan lama Jailolo di mana terdapat pabrik kayu dan penggergajian kayu. Namun, kondisi itu diketahuinya pada saat penyelaman di tahun 2000. Setelah 17 tahun berlalu, Suharsono tidak yakin apakah keadaannya masih sebaik dahulu.
Sekalipun demikian, relatif lambatnya pertumbuhan kota dan aktivitas perekonomian di Jailolo yang masih terbatas membuat kerusakan ekosistem laut juga cenderung berjalan perlahan. Saat ini, pusat aktivitas penduduk dan perekonomian relatif masih berada di Ternate.
Sebagian penduduk pada hari-hari tertentu kembali ke Ternate. Ini cenderung dilakukan sebagian pegawai yang memang berasal dari Ternate dan memilih meninggalkan Jailolo pada hari-hari tertentu. ”Padahal, itu ibu kota (Kabupaten Halmahera Barat), tetapi seperti kota mati,” ujar Suharsono.
Kondisi ini agaknya terkait erat dengan keadaan Jailolo pada masa lampau tatkala menjadi bagian Ternate dan hingga saat dibangkitkan kembali oleh Sultan Nuku dari Tidore. (ICHWAN SUSANTO/FRANSISKUS PATI HERIN/INGKI RINALDI)