Boby M Rumawung untuk sejenak tercenung di salah satu ruangan di kantor Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Lurah Tanjung Merah itu beberapa kali membenahi lembar peta rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung yang sudah ditetapkan sejak 2014, dan tadinya ditargetkan selesai akhir tahun ini.
Kamis (14/9) pagi itu, bersama Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Tanjung Merah Herry Mamonto, Boby memperlihatkan rencana tersebut. Selembar peta cetakan baru dia beberkan persis di permukaan dinding muka ruangan. ”Ini memang bukan rahasia, tapi belum diumumkan kepada masyarakat. Kenapa? Karena akan ada kekecewaan kalau kami umumkan sekarang,” ujar Boby.
Kekecewaan itu, ditekankan Boby, bakal terjadi karena nyaris 99 persen wilayah Kelurahan Tanjung Merah akan terdampak pembangunan KEK Bitung. Konsekuensinya, sekitar 1.400 jiwa harus pindah dari wilayah sekitar 400 hektar itu.
Akan tetapi, Boby buru-buru menepis kemungkinan terjadinya relokasi. Terlebih lagi, belum ada pembicaraan apa pun antara pengelola atau Dewan KEK Bitung dan masyarakat. Ia menambahkan, jika memang harus terjadi pemindahan penduduk, hal itu paling cepat terjadi 20 tahun hingga 30 tahun lagi.
Faktanya, dari total 534 hektar lahan yang dibutuhkan, ternyata baru 92,96 hektar yang telah siap dipromosikan kepada investor. Lokasinya pun tersebar di Kelurahan Tanjung Merah, Sagerat, dan Manembo-nembo.
Faktanya, dari total 534 hektar lahan yang dibutuhkan, ternyata baru 92,96 hektar yang telah siap dipromosikan kepada investor.
KEK Bitung sebenarnya telah ditetapkan sejak 16 Mei 2014 dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 32/2014. KEK Bitung ditargetkan menerima investasi tiga tahun sesudahnya. Pengolahan perikanan, pengolahan kelapa, dan farmasi merupakan jenis-jenis industri yang bakal jadi kegiatan utama di dalam kawasan tersebut, dengan kegiatan logistik sebagai pendukungnya.
Kantor Administrator KEK Bitung di Jalan Trans Manado-Bitung, Kelurahan Sagerat, Matuari, Kota Bitung, juga belum beroperasi. Kamis (14/9), hanya tampak sejumlah petugas Satpol PP Kota Bitung berjaga-jaga di kantor itu sejak sebulan terakhir. Beberapa pekerja bangunan juga masih menyelesaikan tahap akhir pembangunan pos pintu masuk.
Namun, Boby mendapat informasi adanya rapat koordinasi konsultan pelaksana proyek ihwal pemanfaatan sumber-sumber air untuk disalurkan ke KEK Bitung. Ini membuat Boby mengkhawatirkan keberlanjutan kawasan kelurahan yang dipimpinnya itu.
Padahal, Tanjung Merah merupakan kelurahan atau desa tertua di Kota Bitung. Tanjung Merah secara resmi diakui sebagai sebuah kawasan administratif desa sejak 172 tahun lalu. Walau demikian, secara faktual, kawasan itu mulai terbentuk menjadi desa sejak lebih dari 204 tahun silam. Ini menyusul keberadaan gereja di tempat tersebut yang sudah berumur 204 tahun.
Secara faktual, kawasan itu mulai terbentuk menjadi desa sejak lebih dari 204 tahun silam. Ini menyusul keberadaan gereja di tempat tersebut yang sudah berumur 204 tahun.
Desa yang dalam bahasa Tonsea dinamai Tanah Rundang itu dibentuk oleh sebagian warga dari sejumlah desa di Minahasa Utara, seperti Kema, Tontalete, dan Treman. Mereka datang bersinggah dan membuat bedaseng yang menjadi semacam tempat istirahat sementara setelah melakukan aktivitas penangkapan ikan seperti memancing. ”Disebut Tanah Rundang karena, menurut tokoh-tokoh masyarakat, di bagian timur pantai terlihat batu di bagian tanjung berwarna merah. Dari laut dan bagian selat, (warna) itu kelihatan sekali bercahaya,” ucap Boby.
Belakangan, sebagian warga kampung tersebut membentuk kawasan baru bernama Aertembaga, atau Kuala Batambaga dalam bahasa Tonsea, di dekat wilayah pelabuhan sekarang. ”Hubungan kedua desa ini bersaudara,” kata Boby.
Menurut Herry, seharusnya Kelurahan Tanjung Merah justru dijadikan semacam lokasi cagar budaya. Ia menilai, hal itu sudah semestinya diatur dalam peraturan daerah dengan sejumlah keistimewaan khusus bagi warganya. Ini mengingat dari Tanjung Merah itulah Bitung bermula.
Cenderung bersedia
Namun, terlepas dari ide-ide yang mereka lontarkan, Boby dan Herry menyatakan dukungan terhadap KEK Bitung. Mereka beralasan, sebagian besar penduduk kini memang bekerja dan bergantung pada sektor industri. Di Kelurahan Tanjung Merah, misalnya, setidaknya ada delapan perusahaan dengan beragam industri, mulai dari pengekspor perikanan hingga pengolahan kelapa dan kopra.
”Kami mendukung pemerintah, tapi tetap dengan catatan tidak terusir. Sebab, Tanjung Merah ini desa tertua. Kami akan bertahan dan kita akan cari solusi,” ujar Herry.
Boby menambahkan, jika memang akhirnya Kelurahan Tanjung Merah terdampak, nilai ganti untungnya harus benar-benar pantas. Apalagi, bagi penduduk Tanjung Merah seperti Nober (33), relokasi rumah bukanlah sebuah pilihan.
Jika memang akhirnya Kelurahan Tanjung Merah terdampak, nilai ganti untungnya harus benar-benar pantas.
Hal senada disampaikan Lurah Manembo-nembo Reflin Karamoy, yang mengayomi 4.200 jiwa penduduk. Walau, kata Reflin, hingga kini belum ada pembebasan lahan karena baru dilakukan pengukuran tanah. Dari total 310 hektar wilayah kelurahan itu, terdapat sekitar 120 hektar yang bakal terdampak. Pembebasan lahan dijadwalkan pada Desember, beberapa hari lagi, untuk selanjutnya diberikan ganti untung serta dipersilakan mencari hunian pengganti secara mandiri.
Diakui Wali Kota Bitung Maximilian J Lomban, terdapat kendala penyediaan lahan dalam pembangunan KEK Bitung. Hingga November ini, baru tersedia 92,6 hektar dari kebutuhan 534 hektar. Ia pun mengatakan telah meminta saran dari pemerintah pusat. Solusi yang disodorkan adalah percepatan pemetaan, percepatan pendataan, dan percepatan konsesi.
Maximilian mengatakan, Pemerintah Kota Bitung sebenarnya siap mengucurkan dana lebih besar untuk pembuatan sertifikat tanah. Akan tetapi, jumlah aparat Badan Pertanahan Nasional, lanjutnya, tidak cukup banyak untuk menuntaskan ribuan sertifikat dalam waktu cepat. Jangan heran apabila pembangunan KEK Bitung masih jalan di tempat. (HARRY SUSILO/ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI)