Sepasang burung boheba dalam bentuk ornamen yang melambangkan kesatuan rakyat dan pemimpin bertengger di bagian depan mobil SUV hitam di area pelataran Keraton Kesultanan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Selasa (25/7). Itu merupakan simbol Kesultanan Jailolo yang kini dipimpin Kolano (Sultan) Jailolo Haji Abdullah Syah.
Pada bagian bawah simbol itu tertera tulisan ”Limau Gapi” yang berarti ”Negeri Gunung”. ”Tulisan itu masih salah karena ’Limau Gapi’ adalah simbol bagi Ternate. Mestinya sebutan untuk Jailolo bertuliskan ’Limau Jiko’ yang berarti ’Negeri Teluk’,” kata Hairudin, jugugu atau Kepala Urusan Pemerintahan Kesultanan Jailolo, memberi penjelasan kepada tim Kompas, 25 Juli 2017.
Namun, jangan bayangkan keraton seperti bentuk keraton yang biasa ditemui di Pulau Jawa.
Padahal, Kesultanan Jailolo dalam masa modern ini sudah mulai dibangkitkan lagi sejak penobatan Haji Abdullah Syah pada 24 September 2003. Penobatan sultan baru itu dilakukan setelah Abdullah Syah ”ditemukan” pada tahun 2000-an seusai pencarian selama sekitar 35 tahun.
Proses setelah penobatan hingga masuk ke dalam wilayah keraton bagi sultan yang aslinya berasal dari Solo itu juga relatif panjang. Sepuluh tahun setelah penobatan atau hingga 2013, Abdullah Syah masih tinggal di kawasan pantai dalam wilayah Desa Lako Akediri.
Mulai 2013, barulah sultan baru itu memasuki wilayah keraton. Namun, jangan bayangkan keraton seperti bentuk keraton yang biasa ditemui di Pulau Jawa. Keraton di Jailolo ini berupa bangunan serupa rumah tinggal dengan kamar-kamar besar yang pada sejumlah sudutnya mirip gudang. Saat tim Kompas tiba, bagian dapur tengah direnovasi.
Sejumlah lembaran seng membatasi sebagian wilayah keraton itu dengan jalan berkontur curam sebagai aksesnya yang relatif tanpa penunjuk dari pusat kota. Namun, warga tampaknya mengetahui lokasi keraton itu, terbukti ketika seorang remaja berinisiatif menjadi penunjuk jalan bagi tim Kompas.
Hairudin menyebutkan, lokasi keraton tersebut adalah bekas lahan milik warga. Setelah ditebus dengan sejumlah biaya, bangunan keraton itu pun mulai dibangun. ”Dulu tanah di sini berlumpur, dalam sekali,” kata Hairudin.
Konsep ”Kie Raha”
Mengapa eksistensi Kesultanan atau Kerajaan Jailolo harus dikembalikan? Bagi Awad Lolory, yang menjabat sebagai juhukum tulilamo atau Sekretaris Kesultanan Jailolo, itu tidak lepas dari konsep Maluku Kie Raha.
Maluku Kie Raha adalah konsep pemerintahan berbentuk konfederasi. Sejarawan Adrian B Lapian, seperti dikutip dalam buku Halmahera and Beyond: Social Science Research in the Moluccas (editor Leontine E Visser,1994), menyebutkan Mpu Prapanca dalam Negarakertagama pada tahun 1365 menulis tentang ”Maloko” yang dapat disamakan dengan Ternate. Namun, Maluku untuk selanjutnya diterima sebagai konfederasi Maluku Kie Raha yang merupakan empat gunung di Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Awad merujuk pada sejarah pada 1322 tatkala konsep tersebut mapan dijalankan. Masa ini terkait dengan kesepakatan Traktat Motir atau ”Treaty of Motir” yang bisa jadi merupakan tonggak lahirnya konsep Maluku Kie Raha.
Motir merupakan nama pulau yang menjadi singgasana pertama Jailolo sebelum dipindahkan ke tempat saat ini. Ini merupakan titik keseimbangan empat gunung pantai barat Halmahera yang terdiri dari selatan ke utara, yaitu Makian/Bacan, Motir/Jailolo, Tidore, dan Ternate.
Ia melakukannya karena ingin mengembalikan keseimbangan empat gunung (Maluku Kie Raha).
Buku tersebut juga menyebutkan bahwa pada fase tersebut posisi Bacan, yang singgasananya berada di Pulau Makian dan berdekatan dengan Motir, telah ditekan menjadi sekunder dan Jailolo mulai mengambil kepemimpinan. Peneliti Belanda, Francois Valentijn (1666-1727), yang dikutip dalam Halmahera and Beyond, menyatakan itu mencerminkan bahwa Jailolo adalah nama kuno dari Pulau Halmahera.
Eksistensi Jailolo yang meredup dan bahkan cenderung hilang ditelan dominasi Ternate dan Tidore dimunculkan lagi. Sekitar tahun 1797 atau satu abad setelah eksistensinya hilang ditelan Ternate, Jailolo dibentuk kembali oleh Sultan Nuku dari Tidore. Ia melakukannya karena ingin mengembalikan keseimbangan empat gunung (Maluku Kie Raha) dan memilh Mohammad Arif Bila yang sebelumnya adalah sangaji dari Makian serta diduga keturunan penguasa Jailolo tua.
Leirissa menyebutkan, kapan tepatnya Kerajaan Jailolo lenyap tidaklah bisa dipastikan. Adapun terkait keberadaan kerajaan tersebut bisa dihubungkan dengan dua hal. Pertama, teori perubahan sosial Smelser dan sistem sosial masyarakat di sekitar Laut Seram. Ini menyusul konsep ”bobato” yang memimpin masyarakat mengungsi ke Seram Utara karena kekuasaannya terancam. Juga terkait dengan keberadaan Raja Jailolo dalam Kerajaam Seram di Seram Pasir (Leirissa, 1996).
Belakangan diketahui, pada tahun 1818, Raja Jailolo II dibuang ke Jepara, Jawa Tengah, oleh Laksamana Buyskes dari Belanda di Ambon dalam rangka menanggulangi perlawanan Pattimura. Tahun 1825, Raja Jailolo II sempat dikembalikan ke Maluku guna menjabat sebagai Sultan Seram sebelum akhirnya dibuang ke Cianjur pada 1832 dan meninggal 1839 di Cianjur.
Pada masa itu, Maluku Utara di abad ke-19 terdiri dari Ternate dan Tidore serta Bacan. Wilayahnya meliputi Maluku Utara, Irian Barat (kini Papua), dan Sulawesi Timur. Namun, sebelumnya pada abad ke-17, terdapat Kerajaan Jailolo dengan pusat di Pulau Halmahera yang adalah pulau terbesar di Maluku Utara. Dalam bukunya, Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan Sekitar Laut Seram Awal Abad ke-19 (1996), sejarawan RZ Leirissa menyebutkan, Jailolo adalah kerajaan tertua dan utama sebelum hilang pada awal abad ke-17 karena dianeksasi Ternate dengan bantuan VOC.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Barat Demianus Sidete menyebutkan, setelah kalah bersaing dengan Ternate dan Tidore, sebagian pengelola keraton bermigrasi hingga ke sejumlah daerah. Sebagian di antaranya termasuk Solo, Seram, Cianjur, hingga Tuban. ”Ada banyak versi pelariannya,” kata Demianus.
Kekuasaan maritim
Sebagai kesultanan yang sudah ratusan tahun tunduk pada Ternate, Hairudin memahami bahwa ketergantungan pada Ternate masih kuat. Kerumitan, katanya, juga menjadi bagian Kesultanan Jailolo akibat kebiasaan lama berada di ”penundukan”.
Namun, secara lokal, Jailolo tetaplah sebuah konsep kekuasaan yang berpusar pada sejumlah pranata maritim. Itu, misalnya, termanifestasi dalam kepercayaan orang-orang Jailolo tentang Pulau Babua, yang dianggap sebagai pintu gerbang Jailolo.
Sultan Jailolo disebut senantiasa mengelilingi pulau tersebut sebanyak tiga kali sebelum memasuki perairan Jailolo. Penduduk setempat juga selalu mengadakan ritual sigofi ngolo setiap kali hendak melangsungkan hajatan besar sebagai momen pembersihan jiwa. (ICHWAN SUSANTO/FRANSISKUS PATI HERIN/INGKI RINALDI)