Kabupaten Halmahera Barat boleh dikata merupakan lumbung pangan bagi Maluku Utara. Sejumlah desa di beberapa kecamatan menjadi penyuplai aneka komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Namun, imbal hasil yang diterima petani dan nelayan di daerah itu relatif tidak sepadan. Inisiatif kerja sama ekonomi dalam bingkai ”segitiga emas” pun digagas Halmahera Barat dengan menggandeng Ternate dan Tidore. Kesepakatan tiga daerah itu sudah ditandatangani pada 15 Agustus 2016. Secara budaya, keberadaan ”segitiga emas” juga seperti merajut kembali kekuatan empat kerajaan besar yang berjaya di Maluku Utara pada masa lalu, yakni Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan, dalam persekutuan Maluku Kie Raha.
Bupati Halmahera Barat Danny Missy, Senin (24/7), di Jailolo, mengatakan, kerja sama dalam bingkai ”segitiga emas” mesti dilakukan. Apabila tidak, hanya Ternate yang beroleh manfaat atas komoditas hasil bumi Halmahera Barat. Namun, setahun setelah ide itu digagas, kerja sama ekonomi tersebut relatif belum menemui titik keseimbangan.
Akhir Juli 2017, petani Jailolo, Loisa Pangandaen (49), merebahkan badan di atas bangku penumpang Kapal Motor Harapan Baru yang berlayar dari Pelabuhan Jailolo menuju Ternate, Maluku Utara. Rasa kantuknya tak tertahan sehingga dia sempat tertidur di kapal yang biasanya berlayar selama dua jam.
Perjalanan panjang memang sudah ditempuh Loisa. Sejak sekitar pukul 01.00, ia sudah melaju selama tiga jam dari desanya menuju Pelabuhan Jailolo dengan menumpang mobil bak terbuka sembari membawa hasil buminya. Dia membawa 200 kilogram jahe merah, 300 kg keladi, dan 40 kg salak. Sebagian hasil bumi diambil dari kebunnya dan sebagian lagi ia beli dari petani di desa asalnya, yakni Borona, Kecamatan Ibu Utara, Kabupaten Halmahera Barat.
Loisa sudah melakoni dibo-dibo (jual beli) hasil kebun sejak tujuh tahun lalu. Dalam satu minggu, ia dua kali pergi-pulang Jailolo dan Ternate menyusul melimpahnya hasil pertanian di Kecamatan Ibu Utara dan sekitarnya.
Petani Halmahera Barat memang masih sulit menemukan saluran distribusi yang tepat. Mahalnya biaya transportasi dan permainan harga oleh pengepul di Ternate, misalnya, membuat petani terkadang tidak berkutik.
”Kadang, mereka (petani) datang dan meminta tolong agar saya bisa beli barang mereka. Saya terpaksa berangkat ke Ternate walau gelombang tinggi karena mereka terdesak kebutuhan, seperti menyekolahkan anak,” ujar Loisa. ”Memang saya untung, tetapi tidak banyak. Kami saling membantu,” kata Loisa, yang pernah belajar hingga sekolah menengah ekonomi atas itu.
Saya terpaksa berangkat ke Ternate walau gelombang tinggi karena mereka terdesak kebutuhan, seperti menyekolahkan anak.
Untuk satu kali perjalanan, Loisa dapat membawa barang dengan nilai hingga Rp 3 juta. Keuntungan yang ia dapatkan sekitar Rp 500.000. Sementara keuntungan yang diraup pengepul di Ternate diperkirakan hingga lebih dari dua kali lipat. Loisa dan pedagang lain dari Jailolo memang tak diizinkan menjual barang mereka di Pasar Ternate. Tak jarang, ia merugi hingga lebih dari Rp 1 juta jika kapal kayu yang biasa mereka tumpangi dilarang berlayar dengan alasan gelombang tinggi. Ketika kapal dilarang berlayar, sudah tentu barang dagangan pun rusak.
Meski orang seperti Loisa menjadi ”jembatan” bagi petani dan pasar, nasib petani tidak banyak berubah. Nasib petani di daerah itu tetap suram. Padahal, tanah vulkanik menjadikan Halmahera Barat sebagai wilayah paling subur di Maluku Utara. Saat Kompas menyusuri Jalan Trans-Halmahera sejauh 30 kilometer dari Jailolo, tampak tanaman tumbuh subur di bahu jalan. Gulma pun tak mau kalah tumbuh subur menyaingi tanaman budidaya.
Di kebun milik Kalvin Ngitu (54), sekitar 20 km dari Jailolo, misalnya, ubi kayu dan pisang terbuang percuma. Pisang khas Halmahera Barat, yakni pisang mulut bebek (buahnya panjang melengkung), yang di Jailolo dijual per tandan Rp 35.000 dan di Ternate hingga Rp 60.000, terbuang begitu saja di kebun Kalvin.
”Mau jual ke Jailolo atau Ternate terlalu jauh jadi saya malas. Tidak ada kendaraan,” kata Kalvin yang mengaku memiliki sekitar 1,5 hektar kebun pisang itu. Banyak pengepul datang dari Jailolo membeli pisang miliknya dengan harga hanya Rp 10.000 per tandan untuk semua jenis pisang.
Terlepas dari kesulitan warga untuk memasarkan hasil buminya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2015, misalnya, produksi pisang di Halmahera Barat mencapai 81.710 ton, tomat 1.311 ton, dan kelapa 31.961 ton. Jumlah yang tidak sedikit.
Segitiga emas
Selain unggul dalam potensi pertanian, Halmahera Barat juga menjadi penyuplai ikan bagi Ternate dan Jailolo. Husein Albaar, nelayan di Desa Saria–kampung nelayan terbesar di Halmahera Barat, Kecamatan Jailolo–menuturkan, semua nelayan di desa itu memasarkan hasil tangkapan mereka ke Ternate dan Sofifi, Tidore Kepulauan.
Di desa itu ada 17 kapal ikan dengan daya tampung sekitar 3 ton per kapal dan sekitar 30 perahu motor dengan kapasitas masing-masing 200 ton ikan. Tidak adanya penampungan ikan di Saria memaksa nelayan harus menampung dan menjual ikan mereka di Ternate. Jika tangkapan banyak dan tempat penampungan penuh, ikan-ikan itu terpaksa dibuang ke laut.
Jika tangkapan banyak dan tempat penampungan penuh, ikan-ikan itu terpaksa dibuang ke laut.
Sejauh ini, meski ada konsep ”segitiga emas”, Halmahera Barat seolah masih bertindak selaku penyuplai, sedangkan Ternate dan Tidore sebagai pasar. Peta jalan segitiga emas itu sedang disusun bersama. Salah satunya adalah rencana pengaturan harga. Bacan sejauh ini juga belum dilibatkan menyusul jarak geografis yang relatif jauh.
Bupati Halmahera Barat Danny Missy mengatakan, setiap hari dua kapal dengan kapasitas masing-masing 200 ton mengangkut hasil pertanian dan perkebunan dari Halmahera Barat. ”Itu belum termasuk (arus barang) dengan feri yang diambil dari petani. Pagi meluncur ke Ternate setelah malam hari mengambil barang. Ini, kan, kita tidak tahu arus (perdagangannya). Ini harus dibuat kerja sama sehingga terdeteksi arusnya,” ujar dia.
Komoditas lain yang hendak digenjot pemasarannya dalam kerangka kerja sama itu adalah cengkeh, pala, kayu manis, dan kelapa. Digelarnya Festival Kepulauan Rempah mulai tahun 2017, untuk melengkapi Festival Teluk Jailolo, juga dapat menjadi kanal pemasaran komoditas Halmahera Barat.
Komoditas lain yang dikembangkan termasuk kol, jahe merah, dan jagung. Khusus jagung, telah dicanangkan penanaman di lahan seluas 20.000 hektar yang juga ditargetkan bagi pasar ekspor. Target untuk menembus ekspor didasari produktivitas 10 ton jagung untuk setiap luasan satu hektar. Dengan harga Rp 1.350 per kilogram, hasil perkebunan jagung bisa menjadi alternatif bagi penduduk di masa tidak melaut.
Staf Ahli Bidang Pemerintahan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat Ismail Arifin mengatakan, kopra juga termasuk salah satu komoditas yang dikembangkan. Sedikitnya 30.000 ton komoditas itu dihasilkan dari 33.0000 hektar lahan setiap tahunnya dengan target pemasaran ke Surabaya dan Manado.
Selain kopra, melimpahnya kelapa juga dimanfaatkan untuk menghasilkan minyak kelapa kualitas terbaik. Apalagi, setidaknya ada 12.000 ton kelapa dihasilkan dari 31.000 hektar setiap bulan. Menurut Ismail, produk dari Halmahera Barat telah mampu disandingkan dengan produksi sejenis dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Yang juga harus diwaspadai adalah melimpahnya hasil alam yang didukung suburnya lahan di Halmahera Barat, kata Ismail, cenderung melenakan sebagian besar penduduk. Di sisi lain, dari sekitar 112.000 penduduk terdapat 5 persen penduduk pendatang justru bergiat di berbagai jenis usaha lain.
Karena itu, ujar Ismail, salah satu tugas besar bagi pemerintah adalah mengupayakan pemerataan kesempatan dan pemanfaatan sumber-sumber daya. Bagi Ismail, itu berarti mengusahakan pembinaan yang sama bagi seluruh elemen penduduk. (ICHWAN SUSANTO/FRANSISKUS PATI HERIN/INGKI RINALDI)