Langit cerah saat matahari bergerak kembali ke peraduannya. Gradasi warna langit yang perlahan berubah dari biru menjadi kemerahan mengiringi kepergian sang surya. Keindahan langit menjelang tenggelamnya matahari itu bak lukisan yang hidup.

Dari perbukitan di pantai Waecicu, Jefri Warut (25) bersama temannya menikmati pesona alam itu. Begitu pula belasan wisatawan mancanegara. Tak peduli akan lalu lalang truk di sekitar mereka ataupun debu tebal yang diempaskannya. Sebab, hanya dari bukit itu keindahan masih bisa dinikmati.

Waecicu di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan tempat tepat untuk menikmati matahari tenggelam. Sejak tahun 2013, pesona alam ini dimanfaatkan sejumlah investor dengan membangun hotel-hotel berbintang di area pantai Waecicu sepanjang sekitar 500 meter.

Pantai berpasir putih itu pun “dikuasai” hotel. Siapa pun tidak bisa mengaksesnya, apalagi hendak menikmati pantai. Tentu, terkecuali bagi tamu hotel yang eksklusif bisa menikmati area yang seharusnya milik publik itu.

Tulisan larangan bagi masyarakat untuk masuk terpampang jelas di pagar masuk menuju kawasan hotel. “Selain tamu hotel dilarang masuk!” Demikian salah satu larangan yang ada.

Manajer Hotel Sylvia, salah satu hotel di pesisir pantai Waecicu, Marcelus Tantur, berdalih, pihaknya menutup akses publik ke pantai untuk menjaga keamanan dan kenyamanan tamu hotel. Untuk bisa kembali berwisata di pantai, menurut dia, publik harus menunggu pemerintah membangun akses jalan ke pantai.

Sudah tak ada lagi pantai untuk masyarakat di Labuan Bajo ini. Semuanya sudah dikuasai oleh investor. Kami seperti asing di negeri kami sendiri.

Jadilah masyarakat yang terbiasa menikmati pesona langit sore sambil berenang di pantai atau sekadar duduk santai di pantai harus rela menyingkir. Area perbukitan di sekitar pantai yang tandus saat kemarau akhirnya menjadi pilihan mereka.

Areal pantai berpasir putih di Waecicu, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Agustus 2017. Pantai itu tak lagi menjadi ruang publik untuk berwisata karena areal pesisir telah dikuasai investor untuk didirikan hotel.

Tempat itu jauh dari rasa nyaman masyarakat. Truk-truk pengangkut pasir dan material hilir mudik di jalan raya yang berada di antara perbukitan. Ditambah lagi debu tebal saat truk melintas. Bukit pun cukup terjal sehingga bisa membahayakan siapa pun yang naik ke puncaknya.

“Sudah tak ada lagi pantai untuk masyarakat di Labuan Bajo ini. Semuanya sudah dikuasai oleh investor. Kami seperti asing di negeri kami sendiri,” keluh Jefri Warut.

Menyusul jejak

Pantai Pede, yang menjadi salah satu ikon wisata Labuan Bajo, hampir menyusul jejak Waecicu. Sejak tahun 2016, pantai publik tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyaksikan Sail Komodo pada 14 September 2013 ini telah dikuasai investor. Di situ akan dibangun hotel mewah di pinggir pantai berpasir putih itu. Kekhawatiran pun muncul, area pantai akan dikuasai pula saat hotel beroperasi.

Melihat gelagat ini, masyarakat bereaksi. Unjuk rasa beberapa kali digelar untuk mempertahankan pantai yang merupakan ruang publik terakhir masyarakat Labuan Bajo.

“Hingga akhirnya, muncul janji dari pemerintah dan investor, Pede akan dipertahankan sebagai ruang untuk publik,” ujar Marsel Agot, salah satu tokoh masyarakat Manggarai Barat.

Namun, ruang publik itu tak lagi seperti sebelum investor masuk. Area rencana hotel mengokupasi banyak ruang pantai serta menyisakan sedikit area pantai bagi publik. Itu pun tak terurus kondisinya dan sampah bertebaran mengotori pantai.

Jalan Pantai Pede yang terletak di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, dikenal sebagai kawasan hotel berbintang di Manggarai Barat. Pantai Pede terletak 3 kilometer ke selatan Labuan Bajo. Hampir semua tanah yang ada di pesisir pantai sudah menjadi milik investor yang menurut rencana akan membangun hotel berbintang. Saat ini telah berdiri puluhan hotel berbintang tiga setinggi tiga lantai.

Penguasaan pantai-pantai di Labuan Bajo oleh investor ini hanya gambaran kecil dari penguasaan investor atas ruang-ruang di ibu kota Kabupaten Manggarai Barat tersebut. Setelah gelaran Sail Komodo tahun 2013, Labuan Bajo yang merupakan pintu masuk ke Taman Nasional Komodo seketika menjadi incaran para investor, baik nasional dari luar Manggarai Barat maupun asing. Ini seiring dengan kian populernya taman nasional itu bagi wisatawan mancanegara ataupun Nusantara.

Investor rela menggelontorkan uang banyak untuk membeli tanah di pesisir pantai di areal perbukitan dengan pemandangan ke laut, bahkan pulau, untuk dibangun hotel, restoran, atau sekadar untuk kepentingan investasi. Jika pemilik tanah tidak ingin melepas tanahnya, investor menyewa tanah berikut bangunan di atasnya untuk kepentingan bisnis investor.

Kawasan Jalan Soekarno-Hatta di Labuan Bajo menjadi contoh. Kawasan yang semula merupakan permukiman nelayan itu sebagian tanahnya sudah dikuasai investor. Jika sekitar tahun 2000 harga tanah per meter persegi hanya Rp 12.500, setelah tahun 2013 investor rela membelinya dengan harga lebih dari satu juta rupiah.

Areal pantai berpasir putih di Waecicu, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Agustus 2017. Areal ini tak lagi menjadi ruang publik karena daerah pesisir telah dikuasai investor untuk pembangunan hotel.

Namun, ada pula yang disewakan oleh pemiliknya kepada investor. Harga sewa pun selangit. Harga kontrak satu tahun bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Padahal, bangunan yang disewa luasnya terkadang hanya seluas lapangan badminton.

Di tanah yang dibeli investor dibangun hotel, restoran, dan kantor biro perjalanan wisata yang menawarkan paket wisata di Manggarai dan Taman Nasional Komodo. Begitu pula yang menyewa bangunan, bangunan dipugar juga untuk kepentingan yang sama. Jalan Soekarno-Hatta pun lambat laun berubah menjadi pusat hiruk-pikuk wisatawan di Labuan Bajo.

“Banyak investor di Labuan Bajo ini, investor asing. Mereka bisa memiliki tanah karena menikah dengan warga Indonesia atau mereka memercayakan orang Indonesia untuk membeli tanah atas namanya sekalipun kepemilikan sesungguhnya milik investor asing. Namun, ada pula investor dalam negeri, kebanyakan dari Jakarta, ada pula dari Bali,” tutur Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Wilayah Manggarai Barat Silvester Wanggel.

Mereka bisa memiliki tanah karena menikah dengan warga Indonesia atau mereka memercayakan orang Indonesia untuk membeli tanah atas namanya sekalipun kepemilikan sesungguhnya milik investor asing.

Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal Manggarai Barat, total nilai investasi asing di sektor pariwisata mencapai Rp 317,206 miliar dari total 51 investor. Adapun total nilai penanaman modal dalam negeri sebesar Rp 89,380 miliar dari total 67 investor. Jumlah nilai realisasi investasi ini bisa lebih banyak karena tidak semua investor melapor ke dinas.

Tergiur

Dengan tawaran uang yang begitu besar, pemilik tanah dan bangunan pun tergiur menjualnya. Tak peduli jika konsekuensi dari hal itu, mereka harus menyingkir ke pinggiran kota atau bagi sebagian orang harus meninggalkan profesinya sebagai nelayan dan mencari mata pencarian lain untuk hidup.

Tak peduli juga ketika kawasan tempat mereka pernah tinggal berubah menjadi berbau asing. Nama hotel dan restoran diambil dari nama luar negeri. Begitu pula makanan yang disajikan didominasi makanan dari luar negeri. Sangat sulit menjumpai restoran yang menawarkan kuliner lokal di Labuan Bajo.

Tak hanya di darat, di laut pun investor mendatangkan kapal-kapal wisata untuk melayani wisatawan yang hendak berwisata ke Taman Nasional Komodo. Kapal-kapal wisata dilengkapi fasilitas yang serba memanjakan turis, berbeda jauh dengan kapal-kapal nelayan yang disulap menjadi kapal wisata. Bahkan, untuk operator selam guna memfasilitasi wisatawan yang hendak menikmati alam bawah laut di Taman Nasional Komodo, tidak sedikit investor mendatangkan kapal dari luar Manggarai Barat.

Wisatawan menikmati pemandangan saat senja dari atas bukit di Gili Lawa Darat di Kawasan Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Selasa (29/8). Selain alam lautnya, pesona darat di kawasan ini juga menjadi daya tarik wisatawan.

Selanjutnya, seiring dengan terus bertambahnya jumlah wisatawan—tahun 2016 sebanyak 83.712 wisatawan atau naik hampir tiga kali lipat dari jumlah wisatawan pada 2012—keuntungan otomatis lebih banyak diraih para pemilik modal. Salah satu hotel dan restoran di kawasan Soekarno-Hatta, misalnya, bisa meraup omzet hingga satu miliar rupiah per bulan, khususnya saat musim ramai wisatawan, Juli hingga September setiap tahun. Dari omzet sebesar itu, separuh masuk ke tangan pemilik hotel dan restoran.

Sementara keuntungan untuk masyarakat tidaklah banyak. Sebagian besar hanya menjadi buruh bagi para pemilik modal. Itu pun dengan upah yang sering kali masih di bawah upah minimum Provinsi NTT. Mereka juga harus bersaing dengan sumber daya manusia yang datang dari luar Manggarai Barat.

Ketiadaan modal dan minimnya kemampuan berwirausaha membuat mereka sulit untuk bisa seperti investor dari luar. Kalaupun ada yang mencoba berwirausaha, kebanyakan dengan membuat biro perjalanan wisata sederhana yang menawarkan paket-paket wisata di Manggarai Barat dan Taman Nasional Komodo.

“Namun, itu pun memunculkan kekhawatiran. Kalau jumlahnya terlalu banyak, tidak sebanding dengan jumlah wisatawan yang datang, bisa-bisa mengancam eksistensi biro perjalanan. Apalagi jumlah biro perjalanan dari luar yang menawarkan paket wisata di Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo juga semakin banyak jumlahnya,” kata Donatus Matur, salah satu pengurus di Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (Asita) Manggarai Raya.

Wisatawan menikmati matahari tenggelam di Gili Lawa Darat, Manggarai Barat, Senin (28/8). Wisatawan harus mendaki bukit untuk mendapatkan titik terbaik menikmati senja di tempat ini.

Memfasilitasi

Padahal, sesungguhnya lebih banyak keuntungan bisa diraih masyarakat setempat jika pemerintah memberikan perhatian. Marsel Agot mencontohkan, sayuran, buah, dan daging ayam yang dibutuhkan hotel dan restoran mayoritas masih didatangkan dari luar Manggarai Barat. Padahal, jika ada keinginan, pemerintah bisa memfasilitasi petani di Manggarai Barat untuk memasok barang-barang yang dibutuhkan hotel dan restoran itu.

Dari sisi kendala permodalan untuk berusaha, pemerintah seharusnya juga bisa membantu masyarakat setempat. Tak sebatas dalam bentuk bantuan modal, tetapi juga dari aspek perizinan.

“Agar masyarakat tak kalah bersaing dengan investor luar, seharusnya investor dari dalam diberi keringanan biaya dan kemudahan untuk mengurus perizinan berusaha,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Organisasi Asita Manggarai Raya Ervis Budisetiawan.

Agar masyarakat tak kalah bersaing dengan investor luar, seharusnya investor dari dalam diberi keringanan biaya dan kemudahan untuk mengurus perizinan berusaha.

Tak kalah penting, dari aspek pendidikan. Hingga kini, belum ada perguruan tinggi di Manggarai Barat. Padahal pendidikan merupakan modal penting agar sumber daya manusia masyarakat lokal tidak kalah bersaing dengan orang dari luar.

Jika hal-hal itu dilakukan, pariwisata bisa menjadi penggerak utama perekonomian Manggarai Barat, mengentaskan warga dari kemiskinan yang hingga tahun 2015 angkanya masih 20,12 persen dari total jumlah penduduk di Manggarai Barat.

Suasana Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Jumat (1/9). Desa Komodo merupakan salah satu desa yang berada di Kawasan Taman Nasional Komodo. Berdasarkan data tahun 2016, ada 1.719 jiwa yang tinggal di Desa Komodo.

Namun, jika pemerintah terus abai atas kondisi masyarakatnya yang terpinggirkan oleh pemilik modal, dan justru memberi jalan lapang bagi investor, Marsel mengingatkan, tidak hanya kemiskinan yang tidak bisa teratasi, kecemburuan sosial pun berpotensi timbul. Dan, kecemburuan ini merupakan benih dari konflik.

Sementara Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengklaim banyak hal telah dilakukan agar masyarakat bisa ikut menikmati hasil dari bergeliatnya industri pariwisata di kabupaten yang mekar dari Kabupaten Manggarai tahun 2006 tersebut. “Bantuan pelatihan, misalnya, sudah dilakukan. Bantuan modal usaha sudah pula ditawarkan. Namun, bagaimana selanjutnya, sangat bergantung pada kemauan dan kreativitas masyarakat. Tugas pemerintah hanya sebatas mendorong masyarakat,” ujar Asisten II Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat Marthin Ban.

Sekretaris Dinas Pariwisata Manggarai Barat Pius Baut menambahkan, pemerintah tidak mungkin melarang investasi yang masuk. Toh, investasi yang masuk tidak selamanya buruk. Dari usaha yang dibuat investor, banyak tenaga kerja bisa diserap. Dari penanaman modal investor, pemerintah bisa memperoleh pendapatan asli daerah (PAD) yang ujungnya juga untuk masyarakat.

PAD dari sektor pariwisata di Manggarai Barat menyumbang Rp 13 miliar dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 860 miliar. Adapun dari sisi tenaga kerja, sektor pariwisata mempekerjakan 5.279 orang dari total tenaga kerja sebesar 106.993 orang. Lapangan pekerjaan utama masyarakat masih di sektor pertanian dan perikanan sebesar 78.537 orang.

Wisatawan menikmati makan malam di lapak pedagang kaki lima di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Minggu (27/8). Membanjirnya wisatawan yang datang ke Labuan Bajo menjadikan bisnis makanan, penginapan, dan transportasi berkembang pesat.

Ya, memang, investasi tidak selamanya buruk. Namun, yang penting pula diperhatikan, investasi bisa mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya menjadikan masyarakat sebagai penonton dari pesatnya investasi yang masuk.

Pesan proklamator bangsa kita, Bung Karno, saat membuka Hotel Indonesia, 5 Agustus 1962, patut direnungkan.

“Tundjukkanlah kepribadian kita jang sebaik-baiknya! Djanganlah dengan membuka kepariwisataan itu lantas mendjadi satu bangsa jang malahan turun kepribadiannja, satu bangsa djiplakan, satu bangsa copy, satu bangsa imitation. Tidak! Dengan kepariwisataan itu kita mau menundjukkan diri kita jang semurni-murninja, mengadjak kepada seluruh umat manusia di dunia ini untuk bekerdja bersama-sama dalam satu gabungan umat manusia untuk mendatangkan dunia baru jang setjantik-tjantiknya.” (ANTONIUS PONCO ANGGORO)