Perjalanan menjelajahi Pulau Binongko di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sungguh pengalaman yang sulit dilewatkan begitu saja. Kemolekan alam dan kearifan masyarakat yang berpadu dalam harmoni tersaji di Pulau Binongko. Selain terkenal akan keindahan lanskap bawah lautnya, Binongko juga menyajikan kekayaan pesona daratannya.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/8e940b51-6369-4f16-b901-5c66695bb7c1/kvms_194223_20171205_jelajah_pesona_binongko.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Perjalanan menyusuri Pulau Binongko, di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menjadi pengalaman menikmati kemolekan alam bawah laut dan pesona daratan.’ credit=’KOMPAS’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/12/194223_p.png?v=43′ /]
Binongko adalah pulau di ujung tenggara gugusan kepulauan Wakatobi. Kepulauan di pusat segitiga karang dunia itu sejak lama dikenal sebagai surga wisata penyelaman. Namun, dibandingkan dengan tiga pulau utama lainnya, yakni Wangi-wangi, Kaledupa, dan Tomia, Binongko relatif terpencil dari hiruk-pikuk wisata Wakatobi.
Seberapa terpencil? Dari Pulau Wangi-wangi, ibu kota sekaligus pintu masuk transportasi udara dari dan ke Wakatobi, Pulau Binongko harus ditempuh dengan pelayaran kapal kayu selama 5-6 jam.
Akomodasi di Pulau Binongko juga masih minim. Belum ada hotel atau penginapan, hanya ada sejumlah rumah warga yang dapat disewa sebagai homestay. Minimnya akomodasi di pulau itu jelas menjadi tantangan pengembangan sektor pariwisata.
Meski demikian, potensi wisata pulau itu sangat menjanjikan. Keindahan lokasi penyelaman di Binongko tidak kalah dengan Wangi-wangi, Kaledupa, atau Tomia. Kesempatan untuk menjelajahi sejumlah pesona Binongko itu datang pada minggu terakhir September 2017.
Bukit Kapal
Daratan Pulau Binongko ternyata cukup memukau. Terhampar daya tarik wisata alam, sejarah, dan budaya. Salah satu titik yang dikunjungi adalah Bukit Koncu Pacua. Kompas mencapai bukit itu ditemani sejumlah anggota kelompok Pariwisata Negeri Sembilan, organisasi swadaya yang dibentuk masyarakat untuk mengelola potensi pariwisata di Kelurahan Wali, Kecamatan Binongko.
Jarak dari pusat permukiman di Wali hingga gerbang bukit sekitar 3 kilometer yang ditempuh dengan sepeda motor. Dari gerbang bukit hingga puncak bukit, masih ada 2 kilometer jalan setapak yang hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki.
Bukit itu merupakan situs bersejarah bagi warga Binongko yang diyakini sebagai lokasi permukiman pertama di pulau tersebut. Apalagi, berdasarkan tradisi lisan culadha tapetape, yang ditulis oleh La Rabu Mbaru dalam bukunya soal peradaban Binongko, Koncu Pacua adalah ”kapal” tempat pertemuan Raja Wali Patua Sakti Sumahil Tahim Alam dengan seorang bidadari.
Pasangan ini dikisahkan sebagai nenek moyang orang Binongko. Dan, pusat permukiman sekaligus pemerintahan Lakina Wali, perwakilan Sultan Buton di Binongko sejak abad ke-17 hingga tahun 1930-an, ada di bukit itu. Setelah itu, masyarakat pindah ke pesisir di wilayah Kelurahan Wali sampai sekarang ini.
Koncu Pacua kebetulan juga kerap disebut warga sebagai Koncu Kapala (Bukit Kapal) karena salah satu sisinya yang mirip haluan kapal.
Setelah kami mendaki hingga puncak, ternyata puncak bukit itu merupakan hamparan landai yang luas. Masih terlihat sisa-sisa perkampungan berupa benteng dari susunan batu-batu karang yang mengelilingi tepian puncak bukit. Terdapat sejumlah makam dan sebuah area bekas masjid dari perkampungan awal itu. Ada pula meriam berukuran kecil yang mengarah ke pesisir timur pulau.
Jaenuddin (53), salah satu tokoh masyarakat Wali yang ikut dalam perjalanan ke Koncu Pacua, mengatakan, perkampungan awal itu didirikan di puncak bukit untuk melindungi penduduk dari serangan bajak laut Tobelo. Bukit karang dengan medan terjal ditambah benteng yang mengelilinginya menjadi pertahanan yang efektif. ”Bajak laut tidak pernah bisa menembus benteng itu,” ujar Jaenuddin, yang juga mantan Kepala Desa Wali.
Pada 1930-an, ketika kondisi keamanan sudah stabil, warga mulai bermukim di pesisir.
Perjalanan Kompas berikutnya adalah menyusuri jalan lingkar pulau sepanjang lebih kurang 50 kilometer dengan sepeda motor. Sebagian besar jalan sudah teraspal, hanya menyisakan sekitar 5 kilometer ruas yang berbatu.
Dari Desa Wali, di sisi timur pulau, perjalanan mengarah ke selatan. Tidak jauh dari permukiman penduduk ada Pantai Yoro, pantai cantik yang telah dilengkapi dengan sejumlah fasilitas gazebo untuk pengunjung. Di pantai itu terdapat pula areal hutan mangrove yang dilindungi secara adat.
Perjalanan pun diteruskan hingga mencapai ujung selatan pulau. Di lokasi itu berdiri mercusuar setinggi sekitar 30 meter dengan diameter alas 6 meter. Sayang kondisinya tidak terawat. Tangga bangunan itu juga rusak sehingga pengunjung tak bisa naik ke puncak mercusuar. Padahal, mengunjungi mercusuar takkan lengkap tanpa meniti tangga hingga puncak menara.
Tidak jauh dari mercusuar, terdapat pantai karang yang ditumbuhi banyak tanaman santigi. Pengunjung disarankan berhati-hati di lokasi itu karena terdapat batu-batu karang yang tajam serta beberapa sisi karangnya berlubang cukup besar dan mengarah ke laut.
Melanjutkan rute menyusuri pesisir barat pulau, kita akan menemui Taman Batu. Nama lokasi itu sesuai dengan sajian pemandangannya, yakni hamparan bongkahan karang-karang raksasa berwarna hitam seperti arang. Nyaris tak ada vegetasi yang tumbuh di atasnya.
[kompas-image-360 src=”https://d3vdlgg67cepnu.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/226/2017/12/taman-batu-edit.jpg” caption=”Taman Batu, Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.” credit=”KOMPAS/Ardiansyah” /]
Berlanjut ke arah utara, masih di pesisir barat Binongko, terdapat perkampungan pandai besi di Desa Sowa. Di sana, pengunjung dapat menyaksikan aktivitas warga membuat parang atau golok khas Binongko yang tersebar di puluhan pondok kerja.
Pengelolaan wisata
Ketua Pariwisata Negeri Sembilan (Pansel) La Hendri mengatakan, masyarakat berinisiatif membentuk organisasi itu pada 2015. Tujuannya, menggali potensi wisata dan kekayaan adat di Binongko. ”Kami melakukan pendampingan kepada warga untuk membuat kerajinan serta menyiapkan kuliner dan homestay,” ujarnya.
Terkait fasilitas homestay, Hendri mengatakan, saat ini terdapat 20 rumah warga yang dapat disewa wisatawan saat berkunjung ke Binongko. ”Kami terus memperkuat kelembagaan serta upaya pelestarian adat, tradisi, dan situs-situs kebudayaan di Binongko,” ucapnya.
Pemberdayaan pengelolaan pariwisata yang dilakukan warga juga mendapat pendampingan dari WWF Indonesia. Staf Social Development WWF Indonesia Program Southern-Eastern Sulawesi Subseascape, Sadar, mengatakan, ekowisata menjadi fokus yang didorong untuk pengembangan pariwisata di Binongko. Terlebih lagi, potensi itu sangat kuat di pulau tersebut.
”Harapannya, pengembangan pariwisata model ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lingkungan sekitar obyek wisata juga akan dilindungi oleh masyarakat,” ujar Sadar. (MOHAMAD FINAL DAENG/INGKI RINALDI/ICHWAN SUSANTO)