Sabtu (14/10) pagi, cuaca sejuk masih menggantung di Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Raja Ampat, Papua Barat. Sisa hujan beberapa jam sebelumnya masih meninggalkan jejak dalam aroma tanah lembab yang menguar di udara.

Dini hari itu sedianya bakal dilakukan pemantauan teripang di area sasi, perairan tempat sasi. Sasi merupakan pantangan atau larangan mengambil sumber daya pada kawasan tertentu. Di Folley, larangan itu diberlakukan pada area seluas sekitar 1 kilometer x 10 kilometer. Teripang hanya salah satu biota yang termasuk dalam sasi, selain udang dan lola yang memiliki nilai ekonomis tak kalah tinggi.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/777a7a5d-5d0d-422e-a776-cca018e5f84b/kvms_194487_20171212_nnn_sasi_ibu.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’novan nugrahadi’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/12/194487_p.png?v=45′ /]

Namun, karena selisih antara waktu pasang surut air laut terlalu sempit (orang-orang di Kampung Folley menyebutnya sebagai konda), pemantauan mesti ditunda beberapa jam. Pasalnya, pemantauan hanya bisa dilakukan tatkala air laut tengah surut.

Pemantauan teripang di lokasi adat sasi Kampung Folley, Misool Timur, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (14/10). Sasi adalah peraturan adat yang melarang eksploitasi suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

Pada saat itu, suhu air laut cenderung bertambah dan membuat teripang keluar dari balik substrat dasar. Pada hari-hari saat pasang surut air laut memiliki jeda waktu cukup, waktu keluarnya teripang itu dimulai sekitar pukul 00.00 hingga jelang subuh.

Pemantauan akhirnya baru dilakukan selepas pukul 08.00. Akan tetapi, air laut juga relatif belum surut sehingga membuat pemantauan mesti dilakukan dengan setengah badan berada dalam air laut.

Pada kondisi saat itu, teripang yang hendak dipantau juga belum muncul. Biota laut bernilai ekonomis itu diduga masih berada pada kedalaman sekitar 50 sentimeter di balik substrat dasar.

Pemantauan dilakukan tim gabungan yang terdiri atas peneliti dari The Nature Conservancy (TNC), warga Kampung Folley, dan sebagian anggota Tim Jelajah Terumbu Karang Harian Kompas. Aktivitas mengukur dan mengecek keberadaan biota-biota target ini dilakukan sebagai bagian persiapan menjelang masa dibukanya sasi, yang memungkinkan beragam sumber daya itu boleh ditangkap.

Warga memancing ikan di dermaga Kampung Folley, Misool Timur, Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (13/10). Kampung ini menerapkan sasi atau aturan adat yang melarang eksploitasi suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Larangan itu diterapkan untuk menjaga kelestarian biota laut, terutama teripang, lola, dan kerang.

Adapun waktu panen atau buka sasi biasanya dilakukan setiap April. Bulan itu dipilih untuk memanfaatkan jeda waktu pasang surut air laut yang relatif panjang.

Tokoh Kampung Folley, Johanes Padimpo (72), mengatakan, hasil laut itu relatif baru bisa dinikmati dalam jangka waktu enam bulan hingga setahun sejak sasi dimulai hingga diakhiri. Pemantauan merupakan upaya untuk melihat perkembangan sumber daya laut itu selama beberapa waktu, sampai dinilai cukup untuk kembali diambil.

[kompas-image-360 src=”https://d3vdlgg67cepnu.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/226/2017/12/Folley-X.jpg” caption=”Kampung Folley.” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]

“Jika anggota TNC datang, kita memantau. Sejauh ini, sudah empat kali dilakukan dan hasilnya bagus. Memang kemarin (periode 2017 saat buka sasi) sedikit menurun,” kata Padimpo. Data yang dicatat rinci olehnya menunjukkan hasil sasi tahun 2016 mencapai 8.680 ekor teripang dan turun drastis pada 2017 menjadi 3.235 ekor.

Kebutuhan patroli

Personel TNC Raja Ampat, Nugroho Arif Prabowo, menambahkan, penurunan hasil sasi pada periode terakhir terkait dengan mulai tersendatnya kegiatan patroli. Saat ini, kegiatan patroli telah dialihkan kepada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Raja Ampat.

Kumpulan ikan di titik selam Magic Mountain di kawasan Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Selasa (10/10). Keragaman biota laut di titik selam ini menarik kunjungan wisatawan.

Sementara di sisi lain, keberadaan BLUD UPTD KKPD Raja Ampat juga terancam legalitasnya. Ini menyusul berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memperluas kewenangan pemerintah provinsi dan berdampak pada sektor perikanan dan kelautan.

Pemerintah kabupaten dan kota yang sebelumnya punya wewenang terhadap wilayah laut dalam batas 0-4 mil laut, dan sebagian di antaranya terwujud dalam BLUD UPTD KKLD Raja Ampat, kini tidak lagi punya kewenangan tersebut. Ini menyusul kewenangan pemerintah provinsi atas wilayah laut yang sebelumnya pada batas 4-12 mil laut menjadi 0-12 mil laut.

“Pada (April) 2016 hasil sasi bagus karena (sepanjang) 2015 masih ada patroli,” ujar Arif.

Tidak rutinnya patroli selama beberapa bukan terakhir belum juga ditanggapi dengan inisiatif warga, misalnya menyisihkan sebagian uang hasil buka sasi untuk kepentingan tersebut. Relatif mahalnya biaya operasional yang dibutuhkan menjadi satu dari beberapa penyebab.

Ikan-ikan bobara hasil tangkapan nelayan dibawa warga untuk diolah sebagai bahan baku abon ikan di Kampung Limalas, Misool Timur, Raja Ampat, Jumat (13/10). Sejumlah ibu-ibu di tempat ini memiliki kemampuan mengolah ikan menjadi abon ikan.

Sejumlah kepala kampung juga sudah dihubungi terkait kebutuhan patroli dengan biaya swadaya itu. Akan tetapi, belum ada respons konkret. Sementara di sisi lain para pengeksploitasi sumber daya telah siap melanggar wilayah sasi, bahkan dengan cara paling konfrontatif sekalipun.

Ancaman itu juga diidentifikasi berasal dari kampung sebelah yang tak jauh dari Folley. Seiring kemajuan dan perubahan kehidupan masyarakat, sasi kini bukan sekadar kearifan lokal. Sasi menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi warga setempat sekaligus incaran bagi pihak-pihak yang ingin mencari jalan mudah mendapatkan hasil laut. (ICHWAN SUSANTO/HARRY SUSILO/SAIFUL RIJAL YUNUS/INGKI RINALDI)