Hari belum terang benar ketika Tim Jelajah Terumbu Karang Harian Kompas meninggalkan kompleks penginapan d’Shorea, di pinggiran Kota Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Kamis (26/10). Suasana jalan masih sedikit gelap meskipun sudah dibantu penerangan lampu mobil.

Suasana masih sepi ketika mobil menyusuri jalan beraspal Kota Benteng. Di bawah siraman sinar lampu jalan, mobil kami bergerak ke utara melewati gapura yang menjadi batas Kota Benteng dengan Kecamatan Bontomatene. Mobil terus bergerak menuju tujuan kami, Desa Bongaiya, Kecamatan Bontomatene.

Lebih kurang 45 menit kami menyusuri jalan poros pelabuhan yang menghubungkan Kota Benteng dengan Desa Bongaiya. Dari dalam mobil, kami menikmati pemandangan deretan pohon kelapa yang berjejer di kiri dan kanan jalan. Sesekali kami melewati deretan rumah penduduk yang masih diterangi sinar bohlam yang tergantung di teras. Perjalanan panjang ini akhirnya berhenti di dekat sebuah perkampungan yang berbatasan langsung dengan bibir pantai.

Pohon kelapa tumbuh subur di Desa Bongaiya, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/10). Bagi masyarakat Selayar, kelapa menjadi salah satu komoditas unggulan.

Matahari baru mulai menampakkan sinarnya ketika tim jelajah turun dari mobil. Laut biru yang menghampar di hadapan kami mampu mengobati rasa kantuk yang masih menggelayut. Pemandangan laut ditambah dengan kebun kelapa di sekitar kami akhirnya menyempurnakan pengalaman perjalanan kami pagi itu.

Desa Bongaiya merupakan desa yang memiliki garis pantai terpanjang di Kecamatan Bontomatene. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Sisanya adalah petani, pedagang, dan pegawai negeri. Sebagian besar nelayan di sini masih mempraktikkan cara menangkap ikan menggunakan sero atau semacam perangkap ”raksasa” yang dipasang melintang dari arah pantai ke laut dalam. Orang Selayar menyebut sero ini dengan nama bila.

Sero atau bila ini terbuat dari kayu yang sangat keras agar bisa tahan di dalam air laut selama 3-4 tahun. Kayu-kayu tersebut ditanam ke dalam pasir atau batu karang secara berjejer membentuk satu garis lurus. Panjangnya kira-kira 100 meter. Bagian celah antara kayu-kayu tersebut dipasangi jaring dengan ukuran mata yang relatif kecil.

”Dulu masih dipasang dengan bambu yang dianyam. Sekarang sudah diganti dengan jaring karena bambu hanya bisa tahan dua bulan. Kalau jaring bisa lima tahun lamanya. Sekarang kami pakai jaring karena lebih aman dan lebih awet di laut,” tutur Patti Asih (63), salah satu pemilik sero di Bongaiya.

Komponen ”sero”

Sero terdiri dari atas enam komponen yang terbagi ke dalam beberapa ruang kecil dengan fungsi yang berbeda. Setiap bagian memiliki nama dalam bahasa Selayar yang mencerminkan fungsinya. Bagian paling luar berupa susunan kayu yang ditanam secara berderet, membentuk sebuah garis lurus yang panjangnya bisa mencapai 100 meter. Bagian ini disebut penojo dan berfungsi sebagai tempat masuknya ikan.

Titik ”Sero” di Kepulauan Selayar

[kompas-google-maps id=”map-canvas”]

×

Penojo, kata Patti Asih, merupakan tempat bermain ikan. Bagian ini masih sangat terbuka karena menyatu dengan laut lepas. Ikan-ikan akan mendekati penojo untuk bermain sambil menyusuri deretan kayu hingga ke ujung.

Di ujung penojo terdapat satu bagian yang mulai membatasi ruang gerak ikan dari laut bebas ke dalam perangkap. Bagian ini juga terbuat dari kayu dan diletakkan di sebelah kanan-kiri dengan posisi yang agak berjauhan dari penojo. Bagian ini disebut pangappe yang letaknya diatur sedemikian rupa sehingga membentuk garis yang menyilang dengan tingkat kemiringan sekitar 50 derajat.

Makin ke dalam, tingkat kemiringan pangappe ini makin sempit. Pangappe yang ada di sebelah kanan dan kiri penojo akan bertemu di satu titik yang membentuk sebuah segitiga. Titik inilah yang menjadi ujung atau titik akhir sero. Pangappe ini merupakan bagian luar sero yang menutupi jalan keluar ikan yang masuk ke dalam perangkap.

Selain menjadi penutup bagian luar, pangappe juga memiliki bagian dalam dengan fungsi yang sama. Bagian dalam pangappe ini dibangun pada titik pangkal yang sama dengan pangappe bagian luar. Konstruksi, bentuk, dan arahnya sama persis dengan pangappe bagian luar. Bedanya, ukuran pangappe dalam lebih pendek.

Pangappe dalam bahasa Selayar berarti memanggil. Dalam sero, pangappe diartikan sebagai tempat ikan-ikan dipanggil atau mulai digoda untuk masuk lebih dalam lagi ke titik perangkap berikutnya. Konstruksi pangappe bagian dalam yang mulai menyempit bisa menggoda ikan karena strukturnya dibuat dengan susunan kayu yang lebih banyak dan lebih rapat. Desain ini untuk memancing kesenangan ikan sekaligus memberikan ruang bermain yang semakin kecil.

”Ikan biasanya senang bermain di tempat yang banyak pelindungnya, seperti di kayu-kayu sero. Mereka akan datang sendiri atau berkelompok lalu bermain di antara kayu penojo dengan pangappe,” kata Patti Asih menerangkan kepada Kompas.

Kondisi perairan di antara dua alat tangkap bila atau sero di Desa Bungaiya, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/10). Bila atau sero merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber daya kelautan.

Setelah berada di dalam pangappe, tahap selanjutnya adalah memastikan ikan-ikan bisa dijerat ke dalam sero. Tahap ini berada di satu titik yang namanya kait atau mengait. Artinya, ikan-ikan yang sudah masuk ke sini merupakan ikan yang sudah pasti bisa dijerat karena jalan keluar untuk melepaskan diri dari perangkap sudah tertutup.

Kait adalah sebuah celah kecil dengan ukuran lebih kurang 20 sentimeter yang berfungsi sebagai pintu masuk ikan ke bagian tengah sero. Celah ini terletak di bagian tengah yang merupakan titik temu sisi kiri dan kanan pangappe bagian dalam. Ketika ikan sudah memasuki celah ini, peluang untuk keluar sangat kecil karena posisi mereka sudah terkunci di bagian dalam sero.

Ikan-ikan yang sudah melewati kait akan ”transit” di pallaha atau tempat tadah. Pallaha merupakan tempat bermain ikan-ikan yang sudah terperangkap. Setelah pallaha, ikan-ikan ini akan digiring ke sebuah celah yang ukurannya lebih kurang sama dengan kait. Celah ini disebut sara tengah atau bagian tengah sero. Sara tengah merupakan tahap perangkap paling akhir sebelum ikan-ikan diambil di bagian paling ujung sero.

Banoang, itulah bagian paling ujung sero yang menjadi tempat para nelayan mengambil ikan. Bagian ini dibuat paling lancip untuk membatasi ruang gerak ikan sehingga mudah untuk diambil. Ikan-ikan yang masuk dari penojo, pangappe, kait, pallaha, dan sara tengah akan berkumpul di banoang sebagai tempat persinggahan terakhir sebelum diambil oleh nelayan pemilik sero.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/79dcee4b-2a8b-4e07-a33b-d3d7a8f882cc/kvms_204292_20171221-prl-seroupd.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’parlindungan siregar’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/12/204292_p.png?v=22′ /]

Properti di laut

Sero dalam kehidupan masyarakat Bongaiya dan Selayar sudah bukan hal baru lagi. Hubungan masyarakat dengan sero ini sudah terjalin semenjak zaman nenek moyang mereka. Belum ada sumber yang bisa menjelaskan dengan pasti tentang asal-usul sero dalam kehidupan masyarakat Selayar.

Namun, Achmad Sarabi, tokoh sepuh di Desa Batangmata, Kecamatan Bontomatene, menyebutkan, sero berasal dari Melayu. ”Bukan asli Selayar. Dulu orang-orang Selayar biasa pergi merantau ke Sumatera lalu belajar cara-cara menangkap ikan di sana. Setelah mereka ke sini, ilmu itu dipakai di sini. Orang-orang lalu mulai bikin satu per satu kemudian jadi banyak,” kata pria berusia 81 tahun ini.

Lepas dari asal-usulnya, sero sudah diterima menjadi bagian dari kehidupan para nelayan di Bongaiya. Dari Patti Asih diperoleh informasi, di desanya saja terdapat seratusan sero yang masih digunakan nelayan sebagai sumber mata pencarian. Sero-sero tersebut ada yang merupakan warisan turun-temurun, ada yang dibuat sendiri dan ada juga yang disewa. Bagi nelayan Bongaiya, sero tidak beda dengan kebun yang ada di darat.

Aktivitas di sebuah bila atau sero milik warga yang dibangun di Desa Bungaiya, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/10) pagi.

Zul Janwar, mantan aktivis lingkungan, menyebutkan, sero merupakan bentuk pengakuan oleh masyarakat dan penguasa terhadap properti di laut. ”Masyarakat di sini menganggap sero itu merupakan kebun atau lahan mereka yang ada di laut,” kata pria yang sekarang berdinas di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar ini.

Selama ini, sero dipandang sebagai metode penangkapan ikan yang ramah lingkungan karena keberadaan perangkap raksasa ini tidak menimbulkan kerusakan pada ekosistem laut yang brutal. Para nelayan hanya akan mengambil ikan ketika sero dibuka pada pagi hari kemudian ditutup kembali hingga keesokan harinya. Proses pengambilan ikan dari dalam sero hanya menggunakan jaring.

Para nelayan tidak pernah menyentuh atau menginjak karang ketika mengambil ikan. Mereka bergelantungan memegang batang-batang kayu atau menumpukan kaki mereka pada kayu sero sambil menyendok ikan dengan jaring. Setelah mengambil ikan, mereka membereskan kembali sero-nya kemudian kembali lagi ke darat.

Nelayan-nelayan di Bongaiya ini justru berkepentingan menjaga kelestarian habitat biota laut di sekitar sero agar ikan tidak menghilang lantaran dirusak habitatnya. Untuk menjaga kelestarian laut ini, para nelayan sepakat membuat aturan main tentang jarak ideal antar-sero, yaitu 40 depa.

Artinya, antara satu sero dan sero berikutnya berjarak 40 depa atau sekitar 73 meter. Aturan main ini dibuat untuk menegakkan sistem konservasi ala mereka, yaitu  tidak melakukan aktivitas perikanan di area kosong yang menjadi pemisah sero.

Sero bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk praktik konservasi laut yang diinisiasi langsung masyarakat Bongaiya untuk kemaslahatan mereka semua. Legitimasi sero sebagai properti di laut berhasil membentuk kesadaran masyarakat untuk merawat dan menjaga sero berikut kelestarian ekosistem laut yang berada di sekitarnya. Para nelayan memiliki kesadaran bahwa untuk menangkap ikan tidak perlu sampai merusak tatanan kehidupan di laut.

”Kita tidak boleh mengejar ikan, apalagi sampai merusak tempat tinggal mereka. Ambil saja seperlunya yang sudah masuk ke dalam sero,” kata Patti Asih, yang ikut mengelola sero bersama orangtuanya sejak berusia 15 tahun.

”Ongko”

Selain sero, masyarakat Selayar juga mengenal bentuk konservasi laut secara tradisional yang diwariskan dari nenek moyang mereka, yaitu ongko. Ongko tidak berwujud alat tangkap seperti sero, tetapi hanya berupa tanda-tanda fisik air laut atau benda-benda yang ada di pesisir pantai.

Dalam buku Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Kabupaten Kepulauan Selayar, yang ditulis Ali Yansyah Abdurrahim dan kawan-kawan (2015), ongko disebutkan sebagai suatu kawasan perairan yang dikuasai seseorang atau keluarga karena wilayah tersebut memiliki sumber daya ikan yang melimpah. Tanda-tanda wilayah ini adalah adanya pusaran air, permukaan laut berbusa, dan banyak didatangi burung.

[kompas-highchart id=”potensi-sumber-daya-pesisir”]

Arif Satria dalam buku Ekologi Politik Nelayan (2009) menulis tentang pengetahuan lokal nelayan yang belum terkuak sains. Mereka tahu kapan dan di mana ikan bertelur sehingga mereka membuat aturan larangan penangkapan ikan untuk kurun tertentu (closed season), serta isyarat-isyarat alam yang diketahui nelayan dijadikan dasar pembuatan aturan meskipun dalam bentuk mitos-mitos. Inilah kekuatan pengetahuan lokal.

Meskipun hampir semua nelayan di Selayar memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda ongko ini, tidak semuanya bisa menemukan dan menguasai ongko. Keberadaan sebuah ongko biasanya disertai dengan ancaman bahaya yang ada di kawasan perairan tersebut, entah berupa arus yang sangat kuat, angin kencang, bahkan gelombang laut. Hanya nelayan dengan daya juang tinggi dan memiliki daya tahan kuat yang bisa menaklukkan bahaya ongko dan menguasainya.

Karena itulah, keberadaan ongko menjadi rahasia dan tetap dirahasiakan para pemiliknya. Bahkan, para pemilik ongko cenderung mengeramatkan ongko mereka dengan cerita-cerita mistik yang dikaitkan dengan isyarat-isyarat alam yang bisa menakut-nakuti masyarakat untuk datang ke sana.

”Cerita mistik biasanya bekisar tentang makhluk laut yang menjadi penunggu di ongko. Para penunggu ini biasa muncul dengan cara menunjukkan sampan yang bisa berdiri di atas laut. Atau sampan yang bisa bergoyang sendiri. Bahkan, kalau lewati Taka Bonerate setiap maghrib, pasti akan bertemu penunggunya,” tutur Zul Janwar.

Zul Janwar menarasikan, cerita mistik yang berkembang di kalangan nelayan Selayar ini membawa dampak pada keyakinan mereka tentang bahaya yang akan menimpa jika mengambil ikan di ongko milik orang lain. Keyakinan itu mengindikasikan bahwa para nelayan ini masih percaya bahwa laut memiliki kekuatan gaib yang misterius sehingga harus diperlakukan secara bijak. Apalagi, nelayan tradisional masih merepresentasikan masyarakat teologis yang selalu mengaitkan fenomena alam dengan pandangan nilai budaya dan kepercayaan mereka.

”Mengambil saja sudah dimarahi penunggunya, apalagi merusak lautnya. Kira-kira seperti itulah keyakinan yang membentuk kesadaran para nelayan ini,” ungkap pria yang akrab disapa dengan Pak Regal ini.

Institusi lokal

Baik sero maupun ongko mengajarkan masyarakat untuk menghargai laut dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Nilai kearifan lokal yang bisa diaplikasikan dari sero dan ongko adalah tidak mengganggu makhluk yang ada di dalam air laut dengan merusak lingkungan hidupnya. Semua makhluk laut adalah bagian dari ekosistem yang ada di alam semesta ini.

Bila atau Sero milik warga yang dibangun di tepi pantai di Desa Bungaiya, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/10).

”Menghargai laut berarti menghargai seluruh penghuni yang ada di dalamnya,” kata Rahmat Zaenal, pengamat sosial budaya Selayar, ketika menjelaskan makna sero ataupun ongko bagi masyarakat Selayar. Cara masyarakat Selayar menghargai laut bisa dilihat dari kesadaran mereka melestarikan nilai-nilai budaya yang sudah diaplikasikan sejak zaman dahulu.

Budaya yang dijaga tidak sekadar praktik menangkap ikan, tetapi juga ritual-ritual yang menyertai praktik tersebut. ”Ritual itu dipahami sebagai cara untuk menjamu makhluk yang ada di laut sebagai bentuk ungkapan rasa syukur,” kata Rahmat.

Kalau kelestarian laut bisa dijaga bersama-sama, ikan yang mau dicari tidak akan habis. Inilah inti kearifan lokal yang merefleksikan budaya bahari masyarakat Bongaiya dan Selayar pada umumnya.

Akhirnya, sero dan ongko juga mengajarkan bahwa laut bukan merupakan sistem ekologi semata, melainkan juga sebuah sistem sosial. Sero ataupun ongko bisa menjelma sebagai sebuah institusi dengan aturan yang merefleksikan keyakinan masyarakat lokal tentang cara menjaga dan mengawasi laut.

Memberdayakan masyarakat melalui keduanya bisa melibatkan mereka sebagai pengawas laut yang efektif, sekaligus pengelola pesisir dan perikanan lokal yang bermuara pada tumbuhnya ekonomi pesisir. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)