Empat tahun lalu, Datu (47) mengambil belokan tajam dalam jalur hidupnya. Belasan tahun mencari nafkah sebagai pemburu telur penyu, ia beralih menjadi penjaga satwa dilindungi tersebut. Lelaki ramah itu kini mengelola ”kampung” bagi penetasan ribuan telur penyu, perawatan tukik, dan akhirnya melepasnya kembali ke alam.

Di tepi pantai Desa Barugaia, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, tempat bernama ”Kampung Penyu” itu berdiri. Di atas lahan Kampung Penyu seluas sekitar 1 hektar itu terdapat rumah panggung yang menjadi markas pengelola, demplot atau area percontohan penetasan telur penyu, hingga kolam-kolam pemeliharaan tukik.

“Kampung Penyu itu singkatan dari ’kerukunan pemuda pelindung penyu’,” ujar Datu saat ditemui di markasnya, Kampung Penyu, Selasa (24/10).

Pantai berpasir di Desa Barugaia adalah lokasi berbagai jenis penyu yang datang setiap musim untuk bertelur, di antaranya penyu hijau (Chelonia mydas), lekang (Lepidochelys olivacea), sisik (Eretmochelys imbricata), dan tempayan (Caretta caretta). Sejak tahun 1997, Datu memburu telur-telur itu untuk dijual.

Penyu yang siap dilepaskan ke pantai di penangkaran penyu di Kampung Penyu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Kamis (26/10).

Dalam setahun, ribuan telur bisa diperolehnya. Terakhir, pada 2012, Datu mencatat, dari 15 pemburu yang aktif di desa itu, total telur yang terkumpul mencapai 8.700 butir. Kala itu, telur penyu dijual ke pasar dengan harga Rp 800 per butir.

Namun, masifnya perburuan selama bertahun-tahun membuat populasi penyu menyusut. Datu pun menyadari hal itu saat jumlah induk yang datang setiap tahun makin menurun. ”Sebelum tahun 2012, dalam satu malam bisa tujuh ekor indukan yang datang bertelur. Belakangan, paling banyak hanya dua indukan yang datang,” ujarnya.

Kenyataan itu membuatnya berkesimpulan bahwa perburuan telur penyu terlalu masif sehingga jumlah induknya terus berkurang karena tidak ada regenerasi. Jika kondisi ini dia biarkan, populasi penyu bisa saja habis atau tak ada lagi yang datang bertelur ke Barugaia. Itu berarti tak ada lagi rupiah yang bisa dia dapat.

Sekali bertelur, setiap penyu dapat menghasilkan 100-180 butir telur. Datu mulai mengajak rekan-rekannya untuk menyisakan 10 persen dari telur itu dengan harapan akan menetas dan kelak berkembang menjadi induk baru. ”Namun, cara itu tidak juga membuat indukan yang datang bertambah,” kata Datu.

Kerja sama

Langkah lebih progresif ditempuh Datu dan rekan-rekannya setelah bertemu dengan Sileya Scuba Divers (SSD), komunitas penyelam di Selayar. Pertemuan ini melahirkan ide pelestarian penyu di Barugaia. Mereka bekerja sama menggalang dukungan dari berbagai pihak hingga akhirnya mewujudkan Kampung Penyu pada 2013.

Datu pun merangkul rekan-rekan sesama pemburu untuk beralih menjadi pelestari penyu. Permasalahan hilangnya mata pencarian diselesaikan dengan memberi insentif kepada para pemburu.

Datu, Pelestari Penyu

”Setiap telur yang diperoleh pemburu diserahkan ke Kampung Penyu dengan insentif Rp 1.000 per butir. Telur-telur itu kemudian ditetaskan hingga menjadi tukik yang siap dilepas ke alam,” kata Datu.

Setiap telur penyu dieramkan di demplot selama 50-60 hari. Setelah menetas, tukik dipindahkan ke kolam pemeliharaan selama setidaknya dua minggu sebelum siap untuk dilepas.

Datu menjelaskan, penetasan telur dilakukan di demplot karena jika dilakukan secara alami risiko kegagalannya besar. Dari 100 telur di satu sarang, misalnya, biasanya 1-2 telur akan menetas lebih dulu sehingga bau lendirnya akan mengundang predator datang dan memangsa sisa telur di sarang.

Untuk membiayai operasional penangkaran dan insentif pemburu, Kampung Penyu dibuka untuk wisata. Pembangunan sarana dan prasarana juga didukung oleh Coremap (Program Rehabilitasi dan Manajemen Terumbu Karang) dan Pemerintah Kabupaten Selayar.

Perlahan, kampung itu mulai dikenal dan dikunjungi wisatawan untuk melihat aktivitas penangkaran penyu atau melepas tukik ke laut. Setiap wisatawan diharapkan berdonasi Rp 5.000 untuk melihat penangkaran tukik. Jika ingin melepas tukik, wisatawan dikenai biaya Rp 10.000 per ekor.

Dari kegiatan ekowisata itulah Datu bersama kelompoknya menghidupi pelestarian penyu. Ia tidak pernah mencatat pasti berapa telur yang selama ini ditetaskan ataupun jumlah tukik yang telah dilepas ke alam. “Tahun ini saja sekitar 2.000 ekor tukik telah dilepas,” ucapnya.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/22fbd6a0-5c9d-499b-b7e9-61ab8e60b72b/kvms_204243_20171220_tim_penyu_.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Kampung Penyu Selayar’ credit=’Kompas’ cover_src=’https://terumbukarang.kompas.id/wp-content/uploads/sites/226/2017/12/20171220H_SELAYAR_83_web.jpg’ /]

Tekor

Perjalanan Datu mengelola Kampung Penyu tidak selalu mulus. Untuk pembiayaan, misalnya, kunjungan wisatawan baru dapat menutupi sekitar 40 persen dari total pengeluaran Kampung Penyu. Datu beberapa kali harus menalangi pembiayaan Kampung Penyu dari koceknya sendiri. Kondisi itu terutama terjadi saat puncak cuaca buruk pada musim angin barat sekitar Desember hingga Februari. ”Jumlah pengunjung anjlok sehingga tidak ada pemasukan,” katanya.

Akibat kesulitan itu, Datu bercerita, pada 2014, tiga anggota awal Kampung Penyu keluar sehingga tinggal menyisakan dirinya. Ia pun mengaku sempat gamang melanjutkan pengelolaan tempat konservasi itu.

”Saya lalu bertanya kepada istri, apakah lanjut atau tidak? Istri saya bilang lanjut saja,” ujar Datu mengenang percakapan dengan Siti Masrah (38), sang istri.

Mendengar respons dan dukungan tersebut, Datu akhirnya membulatkan tekad untuk meneruskan Kampung Penyu. Apalagi, sang istri juga telah rela untuk tidak mengharapkan penghasilan dari aktivitas tersebut.

Untuk penghidupan keluarga sehari-hari, Datu menjadi pemborong kelapa dari petani untuk dipasok ke pedagang besar di luar Selayar. Saat sibuk di Kampung Penyu, Siti membantu Datu menjalankan usaha itu.

Pemilahan kelapa sebelum dijadikan kopra di Desa Parak, Kecamatan Bontomanai, Kepulauan Selayar, Selasa (24/10). Kelapa pernah menjadi penopang utama ekonomi warga Selayar hingga dijuluki ”emas hijau”.

Selain kelapa, Datu juga punya ”usaha” musiman. ”Saat musim angin barat, banyak sampah plastik dan botol yang terdampar di pantai. Saya mengumpulkan sampah-sampah itu untuk dijual ke pengepul. Jumlahnya bisa sampai puluhan ton,” katanya.

Kekurangan dana itu sedikit banyak bisa ditutupi oleh donasi tidak tetap dari instansi, organisasi, atau pejabat yang berkunjung ke Kampung Penyu. Misalnya, seorang pejabat menyumbang Rp 10 juta untuk mengadopsi beberapa tukik. ”Alhamdulillah, tahun lalu bisa surplus Rp 1 juta,” ujar Datu.

Datu berharap pelestarian penyu ini bisa menjadi motor ekowisata yang juga dinikmati masyarakat luas, terutama warga Desa Barugaia. Pada hari libur atau saat ada instansi menggelar acara di Kampung Penyu, sejumlah warga membuka usaha penjualan makanan dan minuman.

Demi kelestarian penyu-penyu yang dicintainya itu, Datu menempuh jalur hidup baru ini. Waktu masih menjadi pemburu, Datu mengatakan, setiap kali bertemu penyu yang akan kembali ke laut, ia selalu mengusap kepala penyu itu sambil meminta maaf karena telah mengambil telurnya sekaligus berterima kasih karena telur itu akan menghidupi keluarganya.

”Sekarang, saya berpesan kepada teman-teman setiap selesai mengambil telur untuk menyampaikan maaf kepada penyu, telurmu kami ambil untuk dijaga,” ujar Datu. Kampung Penyu adalah bentuk nyata permintaan maaf Datu kepada para penyu. Pemburu yang berubah menjadi pelindung penyu. (MOHAMMAD HILMI FAIQ/MOHAMAD FINAL DAENG/INGKI RINALDI)

Datu

  • Lahir: Tenro, Selayar, 10 Juli 1970
  • Istri: Siti Masrah (38)
  • Pendidikan: SMA (lulus 1992)
  • Anak:
    • Rabiatul Adawiah (18)
    • Ismu Kurniawan (13)
    • Anggi Sri Wahyuni (12)
    • Aqila Khumairah (3)