Namanya Samida Duminggu. Ia lahir pada 18 Agustus 1970. Selang sehari setelah peringatan Hari Kemerdekaan Ke-25 RI.
Tak dinyana, semangat Agustus itu pula yang mewarnai Samida dalam kehidupan selanjutnya. Samida memerdekakan potensi kaum bocah dan perempuan di Kampung Sombokoro, Distrik Windesi, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, lewat pendidikan dan pelatihan produksi kerajinan tangan.
Samida merintis pendirian lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) dalam kampung yang secara geografis berada di Pulau Sombokoro. Puluhan anak nelayan di Kampung Sombokoro dan sejumlah kampung lain menjadi muridnya.
Ia mendatangi lokasi mengajar dengan sampan yang ia dayung sendiri tiap Senin hingga Kamis mulai pukul 08.00 hingga 10.00 WIT. Bocah-bocah usia 2-6 tahun ia ajari mengenali kekayaan alam dan konsep-konsep sederhana tentang lingkungan sekitar hidup mereka.
Hingga tahun ini, tiga angkatan sudah ia luluskan. Sebanyak 18 orang lulus di tahun pertama dari total 69 murid. Tahun kedua lulus 9 orang dan 15 siswa diluluskan pada tahun ketiga.
Sepulang mengajar, Samida melanjutkan perjuangan keduanya: mengajari perempuan dewasa dan remaja rupa-rupa keterampilan membuat barang kerajinan tangan. Misalnya saja kalung dari manik-manik yang berasal dari aneka kerang-kerangan yang dikumpulkan tak jauh dari bibir pantai.
Atau noken yang merupakan tas dari anyaman kulit kayu. Juga kumpulan bunga-bunga tiruan yang terbuat dari hasil rautan batang kayu.
Beragam hasil kerajinan tangan itu diajarkan cara membuatnya oleh Samida, selain keterampilan lain, seperti memasak. Akan tetapi, itu hanyalah bagian kecil dari apa yang diberikan Samida kepada perempuan di Somobokoro.
Paling penting, Samida membuat warga di kampung itu percaya bahwa mereka berdaya. Apalagi, setelah mengetahui barang-barang kerajinan tangan itu ternyata laku dijual.
Para perempuan itu sudah berkumpul sejak pagi hari di rumah Samida yang ditempatinya sendiri. Samida baru mulai bergabung dengan rekan-rekan kerjanya itu sekitar pukul 13.00 WIT, sepulang mengajar.
Mutiara terpendam
Kami bertemu dengan Samida pada Jumat (11/8) malam di Sombokoro. Cahaya dari beberapa buah lampu yang berasal dari genset penerang kampung, dan sempat padam selama kami mengobrol, berpendar di teras rumahnya.
Lamat-lamat sejumlah lagu romantis terdengar dari pemutar cakram padat yang disambungkan dengan pengeras suara. Salah satunya “Desember Kelabu” yang dikomposisi A Riyanto dan samar-samar turut disenandungkan. ”PAUD itu saya namai Pulau Mutiara Sombokoro,” kata Samida tentang lembaga pendidikan bagi kaum bocah yang dikelolanya.
Nama itu diambil dari sejenis mutiara yang ditemukan dalam kawasan perairan pulau tersebut. Makna lainnya, anak-anak asuhan Samida bak mutiara yang menunggu gosokan.
Mutiara-mutiara terpendam itulah yang membuat Samida rela memperjuangkan nyaris segalanya untuk mendirikan PAUD. Ia mesti berlayar menuju Manokwari, Ibu Kota Provinsi Papua Barat, guna mengurus izin operasional.
Urusan akta notaris, dinas pendidikan, dan sebagainya adalah beberapa hal yang mesti ia tuntaskan. Setelah sempat enam bulan hanya memegangi stempel cap PAUD yang bakal dikelolanya, pada 3 November 2013 izin operasional akhirnya dikeluarkan.
Namun, perjuangannya mendirikan PAUD sudah dimulai sebelum menyelesaikan urusan perizinan. Pada 2012, ia turut pelatihan mengenai segala ihwal pengelolaan PAUD di Kabupaten Wondama. Termasuk di dalamnya adalah pelatihan guna membebaskan orang-orang dari buta aksara. Pendidikan jenis ini difokuskan bagi mereka yang belum bisa membaca dan menulis.
Disiplin pun segera ia tegakkan setelah unsur legalitas ini dia penuhi. Sebagian ia tunjukkan dengan tidak berkompromi pada tantangan cuaca buruk di hari-hari tertentu yang mengganggu pelayaran. Hujan badai rela ia tembus.
Sebagian lagi ia tunjukkan dengan ketegasan pada sejumlah tenaga pengajar yang membantunya. Tiga orang sempat diberhentikan Samida, yang sekaligus juga sebagai kepala sekolah di lembaga PAUD tersebut, menyusul dilanggarnya aturan dan kepatutan. Samida, misalnya, tidak sepakat apabila anak-anak sampai harus dihardik atau bahkan dicaci maki atas hal-hal yang belum mereka ketahui. “Itu tidak boleh,” katanya tegas.
Tanpa biaya
Tidak ada biaya pendidikan yang mesti dibayarkan para orangtua muridnya di PAUD tersebut. Biaya operasional diambil dari dana bantuan operasional pendidikan (BOP) PAUD dari pemerintah pusat dan bantuan operasional sekolah daerah (BOSDa) yang dikucurkan Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama.
Pada tahun pertama, dana BOSDa sebesar Rp 8,8 juta dikucurkan. Tahun kedua, dana itu meningkat menjadi Rp 20,2 juta dan Rp 20,9 juta pada tahun ketiga. Sementara BOP PAUD sudah diberikan untuk penyelenggaraan pendidikan tahun pertama dan tahun kedua, masing-masing sebesar Rp 7,2 juta. ”Memang kurang, tetapi saya tidak bisa menuntut (lebih),” ujar Samida.
Kekurangan itu terutama guna menutupi honor tenaga-tenaga pengajar yang membantunya. Mulai 2016, jumlahnya menjadi empat orang.
Pada 2018, Samida menargetkan mulai memberikan pendidikan tersebut pada orang-orang di kampung. Membebaskan mereka dari belenggu buta huruf. “Tapi itu belum bisa saya laksanakan karena baru bisa saya laksanakan setelah ada yang menggantikan saya (sebagai pengelola PAUD),” tutur Samida.
Melongok lebih jauh lagi, Samida yang sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan logging kayu di Kabupaten Teluk Wondama mulai berkenalan dengan segala potensi Sombokoro sejak 2004. Saat itu, seusai menikah dengan kepala Kampung Sombokoro pada 16 Mei 2004, Samida turut pindah ke Sombokoro.
Saat ini jabatan kepala Kampung Sombokoro diemban putra suami Samida. Adapun suaminya itu telah meninggal. ”Waktu menikah (suami) sudah menjadi kepala kampung selama 38 tahun, ditambah sembilan tahun saat menikah dengan saya, hingga tahun 2013,” ucap Samida.
Sejak 2004 itu, Samida sudah melihat potensi pengembangan kemampuan anak-anak Sombokoro lewat jalur pendidikan. Hal itu ia ketahui saat menjadi salah seorang kader posyandu.
Kini, ibu tiga anak dari pernikahannya yang terdahulu sebelum hijrah ke Sombokoro itu masih tekun mengejar cita-cita lain. Ia masih mengejar titel master dari pendidikan pascasarjana yang diikutinya di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Samaritan, Maluku, lewat metode pembelajaran jarak jauh. “S-2 saya empat bulan lagi selesai,” katanya semringah. Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen menjadi pilihannya.
Waktu malam hingga jelang dini hari kerap dipakainya membaca bahan-bahan pelajaran yang dikirimkan lewat jaringan telekomunikasi. Beruntung sinyal telekomunikasi seluler masih menjangkau pulau tersebut walau kekuatannya tidak merata di seluruh pulau.
“Selagi mampu, saya akan mencurahkan hikmat ini untuk orang lain agar bisa lebih baik,” ucap Samida tentang alasannya. (ICHWAN SUSANTO/MOHAMMAD HILMI FAIQ/INGKI RINALDI)
Samida Duminggu
- Pendidikan:
- S-1 STKIP Samaritan, Maluku (lulus 2015)
- S-2 STKIP Samaritan, Maluku (proses penyelesaian studi)