Di pedalaman Desa Sombokoro terbentang danau luas yang demikian tenang dan panorama seperti pada lukisan-lukisan tentang alam. Sebagian warga menyebutnya Danau Waserei. Wajar saja jika warga dan aparat Desa Sombokoro bertekad menjadikannya sebagai tujuan wisata untuk memajukan perekonomian mereka. Namun, untuk menjangkaunya perlu berjalan kaki menembus hutan selama satu jam.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/c2fad623-61be-4600-9e1c-4dd801bbf502/kvms_184249_20171110_mhf_avontur_somboporo.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit= cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/11/184249_p.png?v=33’ /]
Sombokoro merupakan salah satu desa di Distrik Windesi, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Di peta, desa ini hanya terlihat seujung kuku dalam skala tiga juta kali, berjarak sekitar 180 kilometer dari Manokwari. Untuk menjangkaunya bisa lewat Manokwari atau Nabire. Agustus lalu, kami ke sana lewat Nabire, lalu naik kapal milik WWF, KM Gurano Bintang.
Dari tempat Gurano Bintang bersandar, kami menggunakan sekoci menuju muara sungai yang menjadi titik paling dekat dengan danau. Setelah membelah laut yang dikelilingi hutan mangrove, sampailah kami pada sungai berbatu yang juga berfungsi sebagai jalan. Sebab, ini adalah satu-satunya akses paling mudah untuk menjangkau danau. ”Tidak jauh. Dekat saja dari sini. Kita tinggal jalan kaki,” kata Kepala Desa Sombokoro Ismael Nunuari yang, bersama tiga warganya, memandu kami menuju danau.
Kami menyusuri sungai dengan aliran air tak begitu deras. Kedalaman air hanya sekitar 20 sentimeter meski ada bagian-bagian tertentu yang lebih dalam. Yang justru perlu diperhatikan adalah bebatuan sungai sebesar kepala hingga bantal yang muncul dan tersebar tak karuan. Kadang kami menemui jalur curam yang semaunya berupa batu. Batu-batu ini sebagian kesat, tetapi banyak yang licin. Jika salah berpijak bisa terpeleset atau terkilir, yang dampak terburuknya tak bisa melanjutkan perjalanan.
Kami berjalan dengan penuh kehati-hatian hingga kadang kala perlu berpegangan tangan sesama teman untuk saling menguatkan. Walakin, sepanjang jalan kami tetap berusaha bercanda dan tertawa menikmati perjalanan.
Rupanya bukan hanya air dan batu hambatan kami. Kontur hutan sangat tak beraturan. Kadang kami menuruni sungai, kadang harus menanjak. Bahkan, tidak sekali-dua kali menunduk dan seolah menerobos pintu goa lantaran di tengah sungai melintang batang pohon besar. Ini pohon yang sekian tahun lalu tumbang dan dibiarkan begitu saja. Lumut dan puluhan tanaman sejenis anggrek atau paku-pakuan tumbuh di atas batang tersebut. ”Tidak apa-apa. Masuk saja. Aman, aman,” kata Ismael kepada salah seorang rekan yang ragu ada binatang melata di bawah pohon itu.
Memang tidak ada ular atau biawak, tetapi kami diserbu pacet. Tiga pacet mengecup saya di lima titik terpisah di sekitar kaki. Untung ada teman yang membawa minyak sirih. Dengan meneteskannya ke pacet, dia mengerut, lalu melepaskan diri.
Sekitar satu jam kemudian kami tiba di tepi danau. Airnya sangat tenang. Sebagian tertutup lumut kehijauan. Beberapa burung terbang melintas menjauhi kami, yang mengganggu kenyamanannya.
Di tepi danau itu bersandar perahu kayu yang hanya cukup untuk dua orang. Saya, dibantu Samuel Urbon (29), menaiki perahu ke tengah danau. Beberapa bebek terbang meninggalkan sarangnya. Kami mendekati sarang itu dan terlihat jelas beberapa telur di sana. Mungkin bebek itu terbang karena takut dengan kami. Suasana danau sangat hening sampai-sampai bunyi kecipak air di tepi sana terdengar jelas. Namun, sesekali terdengar bunyi burung. ”Tidak tahu itu suara burung apa. Mungkin elang. Tapi kadang ada cenderawasih,” kata Samuel.
Cerita buaya
Air danau jernih meski sebagian tertutup lumut. Airnya sangat tenang sehingga bayangan pohon-pohon di sekelilingnya memantul begitu sempurna. Seperti cermin. Udaranya juga sejuk, apalagi waktu itu agak mendung. Lingkungannya sangat terjaga. Lanskap tadi sangat sinematik, cocok untuk lokasi shooting film.
Ismael berencana membangun rumah atau pondok untuk menampung wisatawan. ”Di dekat sini juga ada lokasi wisata yang bisa dijadikan satu paket, seperti Goa Woi dan lokasi penyelaman,” katanya.
Tentang danau yang sepi dan terjaga itu, rupanya berkat cerita yang berkembang di tengah warga. Konon, di sana terdapat sepasang buaya jadi-jadian. Buaya ini dulunya adalah manusia. Namun, akibat kelicikan dan kemalasannya, mereka dikutuk menjadi buaya.
Buaya itu bisa jadi benar. Bisa juga sekadar cerita kosong. Yang jelas, selama kami di sana tidak ada tanda-tanda buaya itu ada. Yang jelas, cerita tadi efektif melindungi lingkungan.
Setelah puas menikmati pemandangan danau, kami kembali menyusuri sungai menuju sekoci. Total perjalanan yang kami tempuh sekitar 7.290 langkah atau sekitar 4,8 kilometer. Di dalam satu aplikasi di telepon seluler juga disebutkan bahwa kami telah naik-turun setara dengan naik-turun 30 lantai. Itu rupanya alasan mengapa betis terasa kemeng.
Mengejar cenderawasih
Ismael bercerita, sesekali terdengar atau bahkan terlihat burung cenderawasih di hutan menuju danau. Namun, sudah jarang. Nah, tentang cenderawasih ini malah lebih sering dijumpai di Kampung Aisandami, Distrik Teluk Duairi, masih di Kabupaten Teluk Wondama. Sekitar dua setengah jam perjalanan menggunakan KM Gurano Bintang.
Kampung ini tengah menggalakkan ekowisata, sejenis pengelolaan wisata desa sembari memberdayakan warga. Mereka berlatih tentang cara menjamu dan melayani tamu. Juga menemani tamu melihat keindahan kampung.
Sore itu, kami diantar menggunakan sepeda motor ke tepi kampung. Lalu mendaki perbukitan sejauh 1 kilometer. Lambertus Koyab (35), pemandu kami, memberi isyarat agar kami tidak bergerak. Katanya, sekitar 15 meter di atas kami bertengger dua cenderawasih. Sesekali terdengar suara burung itu. Merdu nian. Namun, susah sekali melihat bentuknya. ”Wah, dia terbang lagi. Kita tunggu. Pasti ada lagi,” kata Lambertus.
Dia lalu bersiul menirukan bunyi cenderawasih betina, katanya untuk mengundang pejantan. Sepuluh menit, 15 menit, hampir satu jam, tapi burung cenderawasih yang kami tunggu-tunggu itu tak muncul jua. Hanya sesekali suaranya terdengar dari kejauhan. Kami lalu meninggalkan lokasi itu karena hari menjelang gelap. Katanya, siapa yang melihat cenderawasih, dia beruntung. Tampaknya sore itu keberuntungan belum menjadi milik kami.
Kami lantas menuju Air Terjun Mambi, sumber air minum bagi seluruh warga. Air terjun ini mengalir deras, ditampung di reservoir, lalu dialirkan lewat pipa-pipa seukuran jempol hingga sebesar tongkat pemukul bola kasti. Keindahan air terjun itu menjadi obyek wisata tersendiri. Setelah menjenguk danau dan berburu kicau cenderawasih, Air Terjun Mambi menjadi titik berhenti kami. (Mohammad Hilmi Faiq)