Sensasi kelezatan makanan tak hanya ditentukan oleh seberapa mumpuni seorang pendekar dapur mengolah makanan. Sebab, suasana tempat makan juga memiliki andil besar memberikan sensasi tadi. Ini setidaknya kami sadari selama sepekan berada di atas KM Gurano Bintang dalam ekspedisi Jelajah Terumbu Karang di Teluk Cenderawasih, Papua Barat, selama sepekan pada awal Agustus lalu.
Malam itu laut sangat teduh, lebih teduh daripada biasanya. Maklum, kami tengah melempar sauh di Teluk Cenderawasih yang jarang sekali muncul ombak besar. Para anak buah kapal bersama Tim Jelajah Terumbu Karang asyik menonton film di geladak tengah, yang juga difungsikan sebagai tempat diskusi. Kami juga selalu makan di tempat ini. Intinya, geladak tengah menjadi pusat kegiatan para awak kapal berikut tamu yang ikut.
Tak jarang sebagian dari kami tidur hingga pagi di bangku geladak tengah itu. Angin sepoi dari buritan kapal lebih membuai daripada udara pengap di kabin. Kapten kapal, Bardin Tandiono, tampaknya sedang bosan. Seperti biasa, dia mengusir kebosanan dengan memancing di buritan kapal. ”Banyak sotong di sana,” katanya menunjuk ke bawah kapal.
Lampu kapal yang menerangi laut membantu kami melihat dengan jelas beberapa sotong (Sepia officinalis) berlalu lalang. Selang 20 menit kemudian, tiga sotong seukuran telapak tangan tak berdaya di dalam ember setelah kena pancing. ”Pak Nasir, tolong dimasak,” teriaknya kepada juru masak, Nasir (60).
Jelang tengah malam, sebagian dari kami makan malam untuk kedua kalinya dengan lauk cumi goreng. Nasir hanya menggorengnya begitu saja tanpa bumbu apa pun. Kami menyantapnya dengan nasi panas dan sambal tomat. Sambal ini berbahan cabai, tomat, bawang merah, dan garam. Rasa gurih dan manis sotong ditambah sedikit sensasi pedas sambal mengundang selera makan. Rasanya sudah lama sekali tak menyantap sotong sesegar ini, dari laut, dimakan di laut pada saat hampir bersamaan.
Nasir mengatakan, tidak terlalu susah masak untuk para anak buah kapal. Kuncinya, lauk harus segar. Selama ini Nasir mengandalkan bumbu dasar bawang merah, bawang putih, dan cabai. Kadang dipadu serai, laos, atau asam. Itu seperti saat memasak ikan sayur asam. Beragam jenis ikan, seperti kakap atau kerapu, menjadi terasa demikian lezat di tangan Nasir. ”Kalau memang ikannya segar begini, pasti enak dimakan,” kata Nasir yang selalu siap kapan saja diminta masak. Dia telaten dan sabar.
Suasana kapal
Beraktivitas di dekat atau di laut cenderung cepat lapar. Apalagi saat itu kami harus menjelajahi daratan dan tim lain menyelam. Sehabis menyelam selama satu jam ditambah perjalanan berjam-jam, rasanya seluruh energi terkuras dan makanan apa pun terasa nikmat. Dalam kondisi seperti itu, Nasir menyajikan ikan teri segar yang digoreng tepung. Lalu, dipadu dengan sambal tomat tadi. Bayangkan sendiri sensasinya.
Ikan-ikan itu selalu segar meskipun tidak selalu hasil kami memancing. Ketika pasokan ikan habis, kami membelinya dari para nelayan bagan, yakni mereka yang memancing ikan di bagan. Seperti saat kami membuang sauh di Kwatisore, Nabire. Sembari melihat hiu paus, kami membeli ikan dari pemilik bagan Rp 300.000. Beragam ikan itu kami bakar di tepi pantai. Lalu, makannya ditemani semilir angin darat yang membuai.
Jika di KM Gurano Bintang kami memasak makanan dengan resep-resep sederhana, agak berbeda ketika berada di KM Adishree yang membawa Tim Jelajah Terumbu Karang dari Labuan Bajo ke sejumlah titik penyelaman di kawasan Taman Nasional Komodo, akhir Agustus lalu. Koki Sebastianus Sandu (29) yang biasa bekerja di kapal wisata itu menyajikan menu makanan dengan olahan yang lebih kompleks. Aneka jenis olahan ikan, daging sapi, ayam, sayuran, udang, sotong, dan buah-buahan yang disajikan utuh hingga berbentuk jus. Akhir Agustus lalu, misalnya, sebagai menu pembuka disajikannya udang rebon bercampur irisan kecil tempe sebagai yang paling disuka.
Keesokan paginya kami mendapat pastel berisi udang, cumi, dan sayuran yang diblender menjadi semacam pasta. Sensasinya lembut dan berpadu dengan tekstur garing lunak pastel. Itu dipadu nasi goreng dengan irisan mentimun serta sosis goreng yang disajikan bersama jus jeruk. Menu sarapan itu disajikan setelah sesi penyelaman pagi hari dilakukan. Adapun menu pertama setelah bangun tidur dan sebelum memulai penyelaman, terdiri atas roti tawar dengan aneka selai, seperti nanas, jeruk, dan cokelat, yang ditemani teh atau kopi.
Sotong berlumur bumbu pedas, tempe goreng tepung, kentang goreng, dan ayam goreng serta sayur sawi, wortel, dan kacang panjang menjadi teman saat santap siang. Tentu saja, sotong segera tandas dalam hitungan menit. Maklum, kami baru saja mentas dari menyelam. Di dalam laut tak ada warung makan….
Variasi menu
Bastian sangat paham dalam memberikan variasi menu sehingga kami tak pernah bosan. Setiap menu seolah baru meski ada beberapa pengulangan. Bastian melanjutkan sajian pemanja lidah pada sore hari dengan sukun goreng berteman kopi atau teh. Sup ikan, ikan bakar, dan oseng-oseng udang dengan tahu dan buncis menemani malam yang temaram.
Variasi menu juga seperti menyesuaikan dengan kondisi tubuh sebagian penumpang yang tengah didera mabuk laut atau motion sickness. Jus jeruk, buah mangga, dan jus pisang cokelat adalah sebagian di antara upaya Bastian menanggulangi sindrom dengan gejala mual dan sakit kepala tersebut.
Menu daging sapi dan ayam serta sayuran, termasuk kentang goreng dan mi goreng, adalah upaya lain Bastian untuk menyesuaikan lidah tamunya yang sebagian terhitung sebagai ”orang darat.” Ia paham, memanjakan tamunya terus-terusan dengan hidangan laut bukanlah keputusan bijak.
Tentu saja Bastian sudah menyiapkan aneka menu tersebut sejak jauh hari. Bastian meminta informasi dari pengelola kapal tentang negara asal dan jumlah tamu yang bakal dilayani. Jika tamu berasal dari Indonesia, maka menu masakan Asia dan Indonesia yang disiapkan. Demikian pula jika tamu berasal dari negara lain, misalnya Eropa, menunya juga bakal menyesuaikan.
Informasi itu menjadi dasar dia mencari bahan baku terbaik. Khusus untuk ikan dan daging, Bastian membelinya sendiri di pasar agar memperoleh bahan terbaik yang masih segar. Adapun untuk bahan lain, seperti sayur, Bastian rela menyerahkannya kepada pemasok.
Makan bersama di kapal, sembari diayun manja ombak, diterpa semilir angin, dan diselingi canda tawa, itu yang melahirkan sensasi luar biasa. Apalagi ditambah makanan yang diolah sedemikian rupa oleh Bastian yang begitu sabar, rasanya tak ingin cepat-cepat mendarat. (Mohammad Hilmi Faiq/Ichwan Susanto/Antonius Ponco Anggoro/Ingki Rinaldi)