Tidak sebatang rokok pun boleh menyala di Desa Guaeria di Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Penduduk di desa ini sama sekali tidak mengizinkan asap rokok melayang-layang di ruang udara mereka. Ungkapan itu berlaku harfiah. Artinya, jika ada perokok yang hendak mengisap nikotin dan ribuan zat kimia berbahaya lain yang ada dalam sebatang rokok, yang bersangkutan mesti pergi dari pulau tersebut. Entah dengan buru-buru menuju kapal di perairan di luar pulau itu atau segera berlayar menuju pulau terdekat.

Remaja desa berkumpul di Desa Guaeria, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Selasa (25/7). Desa Guaeria menerapkan peraturan larangan merokok bagi siapa pun, baik warga desa maupun pengunjung yang datang. Orang yang melanggar akan diminta meninggalkan desa tersebut.

Bupati Halmahera Barat periode 2016-2021, Danny Missy, pernah dua kali mengalaminya. Sekali saat ia kampanye di desa itu guna memperebutkan kursi bupati. Sekali lagi, saat ia berkunjung setelah menjabat sebagai bupati. “Bahkan, saat saya mencalonkan (kampanye sebagai Bupati Halmahera Barat) tidak boleh (merokok), baru setelah ke kapal bisa merokok, ha-ha-ha. Setelah (terpilih) jadi bupati pun (saya) tetap dilarang (merokok),” kata Danny saat kami berjumpa di Jailolo, Senin (24/7).

Larangan merokok di Desa Guaeria diberlakukan sangat konsisten dan disiplin. Larangan itu juga ditegakkan tanpa pandang bulu.

Sekretaris Desa Guaeria Ferdinan Ollo menjelaskan, larangan tersebut kini dalam proses formalisasi menjadi peraturan desa. “Jadi, sekalipun presiden, atau siapa pun, tidak boleh merokok (di Desa Guaeria),” ujarnya.

Bahkan, penduduk desa itu pun, kata Ferdinan, jika membandel, akan diminta meninggalkan desa. Batas toleransi pelanggaran sebanyak tiga kali. Selama masa itu, tiga kali teguran bakal diberikan. Puncaknya adalah sanksi pengusiran.

Deki Makaringo memperbaiki jala di Desa Guaeria, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Selasa (25/7). Desa Guaeria menerapkan peraturan larangan merokok bagi siapa pun.

Ajaran gereja

Selain merokok, mengonsumsi minuman keras juga dilarang. “Kenapa kami tidak mengonsumsi rokok ataupun minuman keras? Karena kami di sini kerja sama dengan (pengurus) gereja,” kata Yehezkiel Bangunang (37), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Cenderawasih Babua, di Desa Guaeria. Pemerintah Desa Guaeria, Pokdarwis Cenderawasih Babua, dan pihak gereja bersepakat tentang larangan tersebut. Kesepakatan itu terjadi pada 2014.

Gereja yang dimaksud Yehezkiel adalah Gereja Kalvari Pantekosta Missi di Indonesia jemaat Betlehem. Kata Ferdinan, gereja yang sudah memulai misinya pada 1960-an itu sangat berperan besar dalam mengubah kebiasaan warga.

Ferdinan menyebutkan, ajaran gereja yang dianut sebagian besar penduduk itu salah satunya berisikan hukum terkait kesehatan. “Berkaitan dengan hukum, agar jangan merusak tubuh karena tubuh itu adalah rumah ibadah. Adapun gedung gereja hanya memfasilitasi (untuk beribadah),” kata Ferdinan.

Sekalipun tidak secara eksplisit melarang praktik merokok, tindakan merokok ditafsirkan sebagai lelaku merusak tubuh jika terus-terusan dilakukan. Pesan itulah yang kemudian disampaikan kepada 328 jiwa penduduk yang terdiri atas 94 keluarga.

Anak-anak dan remaja bermain bola di pasir di Desa Guaeria, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Selasa (25/7).

Jika pada awalnya sekitar 40 persen penduduk desa tersebut adalah perokok, kini tinggal 5 persen yang masih memiliki kebiasaan tersebut. “Tapi merokoknya tidak terbuka di depan umum,” ujar Ferdinan ihwal perilaku merokok sebagian kecil warga itu.

Ikus Malikere adalah salah seorang warga yang berhenti merokok setelah dipicu sesak napas dan anjuran dokter, serta belakangan diperkuat dengan kesepakatan berupa laragan tersebut. Yonarti Werini (40), putri tertua Ikus dari enam bersaudara, menyebutkan, ayahnya pertama kali berhenti merokok pada pengujung 1990-an.

Desa wisata

Kesepakatan perihal larangan merokok dan minum minuman keras itu terkait pula dengan konsep desa wisata, Guaeria termasuk di dalamnya dengan titik-titik penyelaman dan ragam kuliner sebagai potensi unggulan. Bersama-sama dengan sembilan desa wisata lainnya, yakni Tuada, Bobo, Bobanehena, Guaemaadu, Gamtala, Lako Akediri, Ropu Tengah Balu (RTB), Akilamo, dan Gamlamo, Guaeria termasuk 10 desa sadar wisata di Halmahera Barat.

Selain karena diinisiasi Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat, Yehezkiel menyebutkan, ancang-ancang untuk turut dalam konsep desa wisata sudah dimiliki sejak lama. Adalah Festival Teluk Jailolo sejak tahun 2009 yang meyakinkan mereka bahwa kunjungan wisata dapat menambah penghasilan warga sebagai nelayan yang kerap tak menentu karena sangat bergantung pada kondisi cuaca.

“Langkah pertama adalah menyadarkan masyarakat, bagaimana konsep desa wisata dapat sesuai Sapta Pesona. Meski secara umum ada (warga) yang mau dan ada yang tidak,” ujar Yehezkiel. Keengganan sebagian warga karena praktik lama mereka mengebom terumbu karang.

Anak-anak dan remaja bermain bola di lapangan berpasir di Desa Guaeria, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Selasa (25/7).

Pada 2015, kata Ferdinan, praktik pengeboman itu berhenti setelah tiga orang tewas akibat praktik itu.

Thomas Kirihui (71), salah seorang warga desa, mengatakan, hal itu terjadi karena warga tidak paham seluk-beluk teknis pembuatan bom. Thomas yang pernah menjadi kepala dusun saat Desa Guaeria menjadi bagian dari Desa Matui, Halmahera Barat, menyebutkan, warga tersebut hanya berperan sebagai pekerja bagi pemodal dari daerah lain.

Thomas paham karena pada masa mudanya ia juga mengebom ikan, bahkan pernah merasakan dingin dan sepi dalam bui. Namun, belakangan, Thomas dan warga setempat memahami bahwa melakukan pengeboman untuk mendapatkan ikan bisa merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Kesadaran warga sebagian dipicu ancaman hukuman bagi pelaku pengeboman ikan. Sebagian lagi karena mereka mulai memahami hubungan antara kondisi terumbu karang dan kedatangan wisatawan dari sejumlah negara.

Setelah ditetapkan sebagai desa wisata, wisatawan mancanegara datang dari Belanda, Perancis, dan China. Jumlahnya mencapai 25 orang per bulan. Selasa (25/7), Kompas melihat sendiri tatkala sejumlah pengunjung asal Belanda hilir mudik bersama sejumlah bocah setempat.

Sebagian penduduk pun mulai terbiasa menyediakan penginapan ala homestay bagi wisatawan. Di antaranya adalah pasangan Imanuel Jaguna dan Yonarti Werini. Mereka ternyata tidak mengalami kendala saat menjadi tuan rumah. Kendala yang dihadapi relatif hanya pada perkara bahasa. Jika sudah begitu, biasanya bahasa isyarat dengan gerakan tangan menjadi andalan. Akan tetapi, selebihnya baik-baik saja, termasuk urusan makan. “Menu favorit tamu dari luar negeri biasanya pisang goreng dengan sambal,” kata Yonarti.

Wisatawan pun ternyata patuh terhadap larangan merokok itu. Imanuel menyebutkan, mereka pernah menerima tamu yang perokok. Maka, ia langsung memberi tahu tamunya itu perihal larangan tersebut. Alhasil, selama tinggal di desa tersebut, wisatawan itu tidak pernah merokok. (ICHWAN SUSANTO/FRANSISKUS PATI HERIN/INGKI RINALDI)