”Nanti di bawah panggil hiu ya, Tom,” pinta Eko Supriyanto, seorang penikmat bawah laut, kepada instruktur selam yang mendampingi tim Kompas menelusuri bawah laut Jailolo di Halmahera Barat, Maluku Utara. Topi bertuliskan ”I Love Hiu” yang sering dipakainya juga memperlihatkan keseriusan cinta mantan penari latar Madonna ini kepada hiu.
Merespons permintaan Eko, Tommy Chandra hanya tersenyum. Dia kemudian memperlihatkan botol air mineral yang telah diremas-remas. Botol plastik PET yang telah menjadi pipih itu kembali dimasukkan di balik BCD (buoyancy compensator device) yang berbentuk seperti rompi pelampung untuk mengatur keseimbangan di kolom air.
Saat itu, akhir Juli 2017, hari pertama tim Jelajah Terumbu Karang Kompas memulai eksplorasi bawah laut di Teluk Jailolo. Eko Supriyanto, seniman ”Cry Jailolo” yang sudah keranjingan bertemu dengan ikan hiu, dengan sangat bersemangat mengajak Kompas untuk larut dalam kegemarannya itu.
Turun hampir siang hari di Pastofiri atau pulau karang di mulut terluar Teluk Jailolo, tim Kompas diajak ”berlari” hingga kedalaman lebih dari 20 meter di bawah permukaan laut. Di satu rataan pasir yang bertebaran patahan karang, Tommy dan Eko kemudian berhenti dan mengambil posisi berdiri.
Tommy, yang juga personel Satpol PP Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat, mulai menjalankan ”ritual” pemanggilan hiu. Grook… grok… grok… demikian suara gesekan botol air mineral terdengar berdengung-dengung di telinga penyelam. Frekuensi suara yang merambat lebih cepat dalam kolom air ini diduga yang menjalar hingga terpantau oleh radar hiu.
Benar saja, bunyi-bunyian itu berhasil mengundang seekor hiu jenis blacktip atau sirip hitam berukuran panjang sekitar 1 meter mendekati kami. Sayangnya, hiu itu tak mau berlama-lama dan segera meninggalkan para penyelam yang terkesima tanpa sempat menombol shutter kamera bawah air.
Sensor sensitif
”Hiu itu hanya penasaran dengan gelombang suara yang ditangkap sensornya,” kata Fahmi, pakar ikan bertulang lunak atau elasmobranch dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), pekan lalu, di Jakarta. Selain ikan hiu, ada juga ikan pari dan manta yang masuk kategori ikan bertulang lunak.
Ia mengatakan, pemanggilan hiu dengan menimbulkan kegaduhan di bawah kolom air jamak dilakukan di sejumlah tempat wisata di dalam dan luar negeri. Tujuannya, sebagai atraksi wisata bagi para penikmat wisata bahari.
Biasanya pula, saat hiu-hiu berdatangan, sang pawang akan memberikan makanan berupa bangkai ikan agar hiu lebih mendekat dan berlama-lama dalam jangkauan pandang wisatawan atau penyelam. Ia menyebut hal ini dilakukan di Morotai, masih di Halmahera, Maluku Utara, dan daerah tetangganya, Raja Ampat di Papua Barat.
Fahmi berharap kebiasaan memanggil hiu disertai dengan memberi umpan ini tak sampai mengubah kebiasaan hiu. ”Di alam liar, hiu itu memiliki naluri pemburu. Jadi, jangan sampai hiu itu berketergantungan makan pada manusia,” katanya. Meski belum ada penelitian lebih lanjut, hal itu bisa saja terjadi. Di perairan Teluk Cenderawasih, khususnya di perairan Kwatisore di Nabire Papua ada temuan kalau hiu paus (Rhincodon typus) tiap hari muncul ke permukaan karena mendapatkan makanan dari aktivitas bagan-bagan setempat.
Fahmi menambahkan, perubahan perilaku bisa terjadi mengingat hiu-hiu yang terpanggil itu umumnya masih muda dan memiliki rasa penasaran tinggi. Karena itu, jarang sekali upaya pemanggilan hiu itu bisa mengundang hiu dewasa berukuran besar.
Selain itu, kata Fahmi, ritual pemanggilan hiu itu biasanya hanya berhasil memanggil hiu yang memiliki tipe ”jinak” atau tidak agresif seperti jenis hiu sirip hitam dan hiu sirip putih yang hidup di ekosistem terumbu karang. Sementara jenis hiu yang bersifat agresif, seperti hiu bull (Carcharhinus leucas) ataupun hiu mako (Isurus oxyrinchus), jarang muncul dalam ”ritual pemanggilan hiu”. Hingga kini, juga belum ditemukan riset yang menjelaskan perilaku ini.
Fahmi menjelaskan, ikan hiu memiliki sensor yang sangat sensitif pada moncong yang dipenuhi saraf perasa. Indera yang bisa menangkap getaran suara akibat rambatan pada air ini memperkuat kemampuan penciuman hiu yang puluhan kali lebih kuat dibandingkan manusia.
Senjata lain yang dimiliki hiu, seperti dipaparkan The Scientist edisi 8 Maret 2017, menunjukkan kemampuannya menangkap getaran listrik dari ikan-ikan mangsanya. Kemampuan ini dari sensor ampullae of lorenzini di sekitar moncongnya yang empuk seperti jeli dan terhubung ke pori-porinya yang berwarna hitam.
Semua keunggulan ini membuktikan hiu layak menduduki predator peringkat tertinggi dalam rantai makanan di ekosistem terumbu karang. Bagi penyelam, kehadiran hiu saat menjelajahi perairan merupakan kebahagiaan tersendiri. Selain sensasi bertemu predator puncak di perairan, keberadaannya pun menjadi indikator ekosistem terumbu karang di perairan itu masih sangat baik. (ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI)