Arus kuat menyambut tim Kompas saat memulai penyelaman perdana di Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Senin (11/9) siang. Untuk beberapa saat, kami bertanya-tanya ihwal tubuh yang tak kunjung bergerak maju sekalipun beragam teknik propulsi dicoba pada sepasang kaki yang masing-masing memakai fin.
Sempat terlintas pikiran untuk berbalik arah dan mengikuti arus. Namun, setelah melihat Meyer Musa, pemandu selam kami yang sudah asyik dengan salah satu biota laut sebagai obyek fotografi makronya, keinginan itu urung dengan sendirinya.
Tidak berapa lama, saat masuk pada kedalaman tertentu, arus kuat itu cenderung menghilang. Terus terang, perasaan kami menjadi lega karena perburuan untuk mengabadikan berbagai biota mungil dapat segera dimulai.
Arus yang cenderung kuat tersebut salah satunya disebabkan oleh kondisi geografis Selat Lembeh di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Lembeh. Subaktian Lubis (2016), peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (P3GL)Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam buku Pesona Fitur Geologi Bawah Laut Indonesia, mencatat kecepatan arus di Selat Lembeh dapat mencapai 2,5 meter per detik.
Dalam sehari, arus itu bahkan dapat dua kali berbalik arah. Profesor riset LIPI bidang biologi laut Suharsono menyebutkan, fenomena itu merupakan mekanisme pembilasan (flushing) yang bagus. Bentuk selat yang serupa corong menyebabkan arus air yang mengalir dari utara atau Samudra Pasifik menuju Laut Sulawesi (selatan) dan sebaliknya.
Aliran arus yang sangat deras ini membuat kotoran atau limbah pencemar yang dibuang atau terbuang di perairan Lembeh, perairan setempat, mudah tercuci. Partikel pencemar ini menyebar ke massa air di tempat lain.
Aliran arus yang sangat deras ini membuat kotoran atau limbah pencemar yang dibuang atau terbuang di perairan Lembeh, perairan setempat, mudah tercuci.
Karakteristik perairan ini menjawab beberapa pertanyaan mendasar: kenapa perairan Lembeh bisa dihuni berbagai biota unik nan cenderung renik?
Padahal, apabila dicermati, selat ini dibebani aktivitas manusia yang sangat tinggi, terutama di bagian selatan. Terdapat Pelabuhan Bitung, yang menjadi tempat sandar sejumlah kapal barang dan kapal penumpang lintas pulau yang menjadi salah satu tempat transit feri dari Papua dan Ambon menuju Jawa, begitu pula sebaliknya.
Bahkan, feri-feri kecil yang melayani rute pendek, seperti Bitung-Sangihe, masih lalu-lalang di dalam selat yang area kanan-kirinya merupakan tititk-titik penyelaman. Tepi Pulau Lembeh pun mulai dipakai untuk bengkel kapal sederhana yang berpotensi menghasilkan limbah padat dan cair.
Sebagaimana dijelaskan, berbagai limbah dan pengotor di Selat Lembeh saat ini relatif masih bisa ”dicuci” arus alami yang mengalir dari Samudra Pasifik menuju Laut Sulawesi. Intensitas pencucian yang sangat tinggi ini memindahkan dan mengencerkan limbah serta kotoran yang hanyut ataupun sengaja dibuang di perairan.
Di sisi lain, di dasar perairan ini ternyata juga terdapat pasir berunsur fosfor dan nitrogen yang membuat kolom air subur. Pasir vulkanik itu diduga berasal dari gunung-gunung berapi yang pernah erupsi di sekitarnya, seperti Gunung Api Dua Saudara dan Tangkoko.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Ediar Usman mengatakan, hasil pengamatan geologi yang dilakukan peneliti P3GL pada April 2016 di selat itu memperlihatkan sebaran batuan vulkanik dan vulanik klastik.
Hasil analisis makroskopik sampel sedimen dasar Selat Lembeh juga memperlihatkan karakter vulkanik lapilli atau material yang terlontar saat letusan gunung berapi. Ini dicirikan oleh sortasi ukuran butir dan kebundaran butir yang buruk yang tidak mencirikan endapan dari daratan atau pantai.
Eutrofikasi membawa nutrisi dari substrat batuan vulkanik yang kaya mineral kemudian menjadi bahan makanan berlimpah bagi berbagai makhluk hidup di dasar selat. Maka, tak heran apabila Selat Lembeh dihuni makhluk dasar laut yang bentuknya aneh dan memesona karena tak lazim berada di perairan lain.
Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan, pengaruh antropogenik berupa sampah organik, sampah cairan perawatan kapal, hingga sampah domestik (rumah tangga) masih menjejali ruang-ruang penyelaman meski secara alami pada perairan ini terdapat pencucian alami.
Walau aktivitas industri dan transportasi laut ramai, hal itu relatif tidak memengaruhi keberadaan aneka biota laut tersebut. Bahkan, saat beristirahat jeda penyelaman di titik selam Nudi False, sebuah feri pengangkut penumpang melintas di perairan.
Kondisi ini membuat sebagian orang berpendapat, kumpulan sampah dan limbah tidak berpengaruh pada keberadaan beragam biota laut tersebut. Bahkan, sebagian orang berasumsi bahwa keberadaan berbagai biota laut itu cenderung dipengaruhi oleh keberadaan sampah.
Tentu saja, anggapan tersebut tidak tepat. Andai saja Selat Lembeh bersih dari limbah dan ragam sampah, keberadaan biota laut berukuran mikro bakal lebih melimpah.
Andai saja Selat Lembeh bersih dari limbah dan ragam sampah, keberadaan biota laut berukuran mikro bakal lebih melimpah.
Wali Kota Bitung Maximilian Jonas Lomban telah berupaya menekan volume sampah yang ditimbulkan. Dia mengharuskan pegawainya membawa botol air pribadi hingga melarang sajian air minum kemasan dalam kegiatan pemerintah. Langkah kecil ini patut dihargai dan dijalankan konsisten serta meluas di masyarakat.
Namun, tentu Bitung tak bisa sendiri karena sampah di perairan laut itu bisa berasal dari daerah-daerah tetangga ataupun wilayah yang jauh. (INGKI RINALDI/ICHWAN SUSANTO/HARRY SUSILO)