Kami nyaris menghentikan pencarian saat sebuah struktur karang masif Porites sp dengan tinggi lebih dari 2 meter menarik perhatian Andi Irham. Saat itu, Senin (23/10) jelang petang, di belakang resor Pulau Tinabo di dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan.
Sebelumnya, nyaris satu jam kami berputar-putar mencari karang masif tersebut di antara gugusan karang lain, di sekitar perairan yang dipenuhi lamun. Moncong-moncong kamera segera diarahkan merekam jejak-jejak pengeboran karang dengan tinggi sekitar 4 meter tersebut sebelum haluan kapal diarahkan pulang.
Kami mesti bergegas meninggalkan pulau tersebut agar bisa mengunjungi Pulau Rajuni yang punya peran strategis di masa lampau sebagai pulau terluar di gugusan Selayar. Lagi pula, persiapan Pulau Tinabo menerima kunjungan peserta Festival Pesona Takabonerate IX yang membuat pulau tersebut mesti segera ditutup sementara membuat kami tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal.
Pada 2013, peneliti paleoklimatologi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Intan Suci Nurhati, yang mempelajari iklim purba, melakukan pengeboran terhadap karang tersebut. Karang itu merupakan bagian dari lima titik pengambilan sampel yang dilakukan Intan beserta sejumah periset lain. Secara keseluruhan, sampel-sampel itu berasal dari dua titik di dalam Atol Takabonerate sebagai atol terbesar di Asia Tenggara dan ketiga di dunia, dua titik di luar Atol Takabonerate, dan satu titik di perairan Pulau Selayar.
Pengeboran dilakukan untuk mengambil sampel guna pengukuran sinyal-sinyal geokimia yang terdeposit dalam karang. Ini dilakukan guna mengetahui sejumlah kondisi, seperti perubahan suhu air laut dan tingkat salinitas, selama beberapa dekade atau abad lalu.
Pada hubungan selanjutnya, data tersebut terhubung dengan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian Throughflow (ITF) yang diduga terkait perubahan iklim global. Massa air dengan suhu hangat dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia yang merupakan bagian global ocean converyor belt terkait dengan konsep ITF tersebut.
Massa air ini didistribusikan melalui ITF, di mana sebagian besar ITF mengalir lewat Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Hal itulah yang menjadikan kawasan perairan Selayar dan sekitarnya di Sulawesi Selatan menjadi penting sebagai lokasi riset paleoklimatologi.
Selanjutnya, riset ini tidak terlepas dengan penelitian sejenis di Natuna, Kepulauan Riau. Massa air laut permukaan yang pada musim barat bergerak menuju sisi selatan Selat Makassar diketahui menghambat ITF.
Ini membuat air hangat di bagian barat Samudra Pasifik (West Pacific Warm Pool) cenderung mengumpul dan mengubah pola iklim Indo-Pasifik. Pada gilirannya, kondisi terumbu karang turut pula berubah menyusul fenomena El Nino dan Southern Oscillation, sekalipun perubahan jangka panjang belum bisa dijelaskan menyusul tidak cukupnya data instrumentasi lapangan.
Arlindo atau ITF, seperti dikutip dari oseanografi.lipi.go.id, punya tiga peran strategis. Pertama, perairan laut di Indonesia adalah satu-satunya jalur penghubung antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia di daerah tropis. Kedua, memiliki karakteristik yang terkait dengan fenonema El Nino dan La Nina. Ketiga, segala variasi Arlindo atau ITF bakal memengaruhi ekosistem perairan Indonesia, termasuk sumber daya perikanan.
Adapun debit air yang dialirkan via Arlindo sekitar 1 juta meter kubik per detik, dengan 80 persennya lewat Selat Makassar dan sisanya lewat Selat Lombok, Selat Ombai, dan Celah Timor.
Menurut Intan, studi tersebut juga mengonfirmasi bahwa data rekonstruksi iklim dari lokasi di luar Atol Takabonerate lebih reliabel dalam menangkap sinyal iklim lokal dan regional. Sementara karang di dalam lokasi Atol Takabonerate (semi enclosed) dan Selayar (terimbas sedimentasi) memiliki reliabilitas yang cenderung lebih rendah.
Ini dibuktikan dengan pengukuran rasio unsur kimia Strontium (Sr) dan Calsium (Ca) sebagai proksi suhu permukaan laut terhadap salah satu sampel dalam Atol Takabonerate. Data geokimia yang diekstraksi itu menunjukkan perubahan biologis hewan karang alih-alih perubahan iklim sekitar.
“Kami mengingatkan akan kompleksnya laut Indonesia dari aspek alamnya dan juga respons biota laut,” kata Intan mengenai riset tersebut.
Perairan strategis
Selain sebagai perlintasan utama Arlindo ataupun ITF, kawasan tersebut juga memiliki nilai strategis jika dilihat dari sejumlah aspek lainnya. Kepala Laboratorium Geologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Agus Atmadipoera, Rabu (20/9), mengatakan, untuk meneropong lebih jauh tentang betapa pentingnya nilai kawasan tersebut, pada 2015 dilakukan sebuah ekspedisi.
Kegiatan bertajuk The Triangle Cruise 2015 itu memotret keadaan di sejumlah perairan, seperti Laut Jawa, Selat Makassar, dan Laut Flores. “Kenapa itu (ekspedisi) dilakukan? Karena wilayah ini strategis dari berbagai aspek,” sebutnya.
Arlindo atau ITF di Selat Makassar, misalnya, punya arus maksimal pada kedalaman 100 meter atau di lapisan termoklin dan masih relatif berarus hingga kedalaman 800 meter. Arus ini bercabang dan sebagian besar masuk ke kawasan Takabonerate.
Agus menyebutkan, wilayah tersebut memiliki kompleksitas gelombang internal. Ini ditandai dengan dua kali periode pasang serta dua kali periode surut pada setiap harinya, masing-masing dalam interval enam jam.
Agus juga menyebutkan bahwa Selayar merupakan pelindung dari empasan musim barat, yang melindungi Wakatobi dari arus kuat, atau langsung ke Takabonerate. Fakta ilmiah tentang arti penting kawasan perairan tersebut juga terekam dalam sejumlah catatan masa silam.
Dalam naskah Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1364, dikisahkan bahwa Selayar disinggahi armada dagang Majapahit yang melakukan perjalanan maritim. Menurut Kenneth R Hall, pada abad ke-13, wilayah kepulauan ini telah membentuk suatu zona perdagangan laut yang disebut zona perdagangan maritim Laut Jawa. Zona ini berada dalam hegemoni Kerajaan Majapahit (Pelautkah Orang Selayar, Ahmadin, 2006).
Tekstil, kelapa, teripang adalah beberapa di antara komoditas andalan masa lalu yang sempat menjadikan Selayar berjaya. Akan tetapi, saat ini, kejayaan lokasi yang dikenal juga sebagai Tana Doang, bertafsir ”doa” atau ”udang”, itu cenderung sayup-sayup bagaikan semilir angin pantai. (MOHAMMAD HILMI FAIQ/MOHAMAD FINAL DAENG/ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI)