Ikan segar, kelapa muda, dan air laut menjadi kunci kelezatan ilasa, masakan tradisional ala Desa Patilereng, Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar. Air laut menjadi bahan makanan? Benar. Itulah alasan mengapa warga Patilereng menjaga kebersihan air laut sebagai bagian dari konservasi. Tentu saja, air lautnya tetap bersih. Kalau sudah tercemar, siapa yang mau menyantap ilasa?
Suatu hari, saat matahari sedang galak-galaknya menyinari Kepualauan Selayar, kami berkendara melintasi jalan naik-turun dan sempit menuju pantai timur Patilereng. Ini salah satu titik pantai di mana terdapat air laut yang paling bersih dan jernih. Di pantai itu, kami hendak menikmati ilasa.
Kehadiran kami pun telah ditunggu warga. Mereka segera menyiapkan api berbahan bakar batok dan sabut kelapa. Beberapa warga lainnya berbagi tugas. Darmawati (59) dan Imrawati (42) menyiapkan nasi dan bumbu ilasa, sedangkan Miruhani (44) dan Rahmatia (51) membakar ikan.
Dengan timba, air laut diambil begitu saja. Kemudian, tanpa dimasak, air laut itu dicampur dengan parutan kelapa muda yang diperas menjadi santan. ”Airnya bersih dan segar. Tidak perlu takut diare,” kata Darmawati sambil tertawa kecil. Dia menganggap lucu pertanyaan kami yang seolah meragukan kebersihan air laut yang mereka gunakan.
Beberapa ikan kakap merah dan kerapu kemudian dibakar. Rahmatia berulang kali meniup batok kelapa untuk mempertahankan baranya. Perlahan, kulit ikan itu mengering lalu menghitam pertanda sebentar lagi matang. Aromanya langsung mengundang selera.
Sambil membakar ikan, Rahmatia membakar juga belimbing wuluh atau belimbing sayur yang ditusuk seperti sate. Ketika ikan tadi matang, Rahmatia memasukkannya ke dalam santan bersamaan dengan belimbing sayur. Kepulan asap masih terlihat saat ikan-ikan tenggelam ke dalam santan yang kental dan putih bersih itu. Segera terciumlah aroma gurih dan manis. ”Ayo, sudah bisa mulai makannya,” ajak Saharuddin Arif, Kepala Desa Patilereng, yang juga hadir di sana.
Selain nasi putih, mereka juga menyediakan nasi ubi. Nasi itu berasal dari parutan ubi seukuran butir nasi yang kemudian dikukus hingga matang. Nasi ubi ini empuk dan legit. Saat dicampur dengan ikan dan kuah santan tadi, ada sensasi gurih, manis, dan empuk. Ikan jelas lebih nikmat disantap dengan nasi ubi daripada sekadar disantap dengan nasi.
Rasa ikan bakar bercampur santan kelapa muda lebih dashyat lagi. Ada sensasi rasa manis ketika santan menyelusup di antara serat-serat daging ikan yang juicy. Kelapa ternyata memberi kuasa rasa manis, sedangkan air laut menambahkan aksen gurih. Asinnya air laut yang biasanya begitu kuat saat dicicip apa adanya kali ini seperti mengalah kepada manisnya kelapa.
Mungkin karena mereka sudah lama hidup berdampingan di laut dan pantai sehingga dapat saling mengerti dan tidak menonjolkan diri. Bayangkan sensasinya ketika semua itu kami santap dalam keadaan hangat.
Darmawati dan rekan-rekannya ternyata masih mempunyai menu kejutan. Masih dengan bahan utama santan kelapa air laut tadi, mereka menyajikan lanya’-lanya’, binatang laut yang wujudnya seperti serangga yang biasa hidup di pohon kelapa. Badannya oval, nyaris bulat dengan kaki enam dan kulitnya cokelat kehitaman. Ukurannya bervariasi mulai sebesar jempol tangan sampai jempol kaki orang dewasa.
Binatang ini biasanya bersembunyi di pasir-pasir berair dangkal. Ketika matang, kulitnya menjadi oranye kemerahan. ”Enak, gurih. Coba saja,” kata Imrawati yang melihat ekspresi ragu pada wajah saya. Saya mencoba satu. Rasanya seperti udang; gurih dan manis. ”Iya, enak,” ujar saya.
Setelah kenyang menikmati ilasa, kami disodori air kelapa muda yang baru dipetik. Ditemani ombak dan semilir angin laut, betapa indahnya hidup ini.
Pantai konservasi
Kebersihan pantai timur di Desa Patilerang dijaga oleh warga dan didukung oleh pemerintah desa. Sejak dulu, tidak boleh ada rumah yang membelakangi pantai. Warga pun dilarang membuang sampah apalagi menjadikan laut sebagai saluran pembuangan atau sanitasi.
Kepala Desa Patilereng Saharuddin Arif menjelaskan, kawasan pantai lebih banyak digunakan sebagai kebun kelapa. ”Permukiman terdekat jaraknya sekitar 4 kilometer dari pantai. Laut menjadi tempat mencari nafkah,” ujarnya.
Warga desa juga menjaga kebersihan pantai dengan melarang nelayan mencari ikan menggunakan bom atau potasium. Mereka hanya diperbolehkan memancing atau memanah.
Warga juga tidak terlalu khawatir terhadap pencemaran atau kerusakan laut karena hanya sekitar 20 persen warga yang melaut. Mayoritas warga lebih menggantungkan hidupnya dari berkebun kelapa atau cokelat.
Dan, selama laut terjaga, siapa pun bisa menikmati ilasa, resep masakan rasa konservasi itu. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)