Di kalangan para pembius dan pengebom ikan di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, nama Andi Nawir (63) adalah momok. Mereka ciut nyali dan mengurungkan niat untuk merusak laut begitu mengingat nama dan wajahnya. Nawir sendiri menghibahkan hidupnya untuk menjaga kelestarian laut. Dia keliling masjid dan kampung-kampung berdakwah tentang keutamaan menjaga laut, juga tak takut mati mengejar para perusak laut dan terumbu karang.
”Kalau laut terjaga, seluruh kebutuhan hidup warga desa terjamin. Ikan banyak tinggal ambil,” katanya saat ditemui di rumahnya di Desa Parak, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/10).
Penampilan pria kelahiran 1 Juli 1954 ini bersahaja dengan jubah dan sorban serba putih. Di dagunya tumbuh jenggot yang tampak tidak begitu lebat. Semuanya telah memutih. Pada setiap perbincangan, hampir selalu dia mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum dan menunjukkan deretan giginya. Tutur katanya juga lembut. Tidak ada kesan garang sebagaimana gambaran orang-orang terhadapnya.
Kali lain, dia memakai kaos bekas kampanye bergambar salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Kepulauan Selayar, dipadu dengan topi. Sesaat kemudian, terdengar raungan mesin serut kayu. Nawir tengah menghaluskan beberapa batang kayu jati untuk menambal lantai rumahnya. Selain mahir melaut dia juga kadang menjadi tukang kayu.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/cd60a4cd-6fe7-4bda-99b1-e782f554df91/kvms_204249_istagram_selayar_tiga-1.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Andi Nawir, Dai lingkungan’ credit=’Toto Sihono’ cover_src=’https://d3vdlgg67cepnu.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/226/2017/12/20171220H_SELAYAR_72_web.jpg’ /]
”Silakan masuk, kita ngobrol di atas saja,” ujarnya sembari menuju teras rumah panggungnya yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari bibir pantai.
Ayah enam anak ini bercerita, sejak dulu kala, nenek moyang warga Desa Parak menyandarkan hidupnya pada laut. Meskipun ketika musim angin kencang atau angin barat, mereka lebih banyak tertolong oleh hasil bumi dari kebun kelapa. ”Ada juga yang bekerja sebagai tukang kayu atau tukang batu. Namun, sebanyak 60 persen warga bekerja sebagai nelayan,” tuturnya.
Oleh karena itu, warga sepakat menjaga kelestarian laut. Antara lain dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, seperti pancing, jala, dan jaring tradisional. Mereka sadar ikan-ikan di perairan Parak menjadi incaran banyak nelayan nakal dari desa lain yang kerap menggunakan bius dan bom. Maka, warga bergiliran berjaga dan berpatroli di laut secara swadaya di bawah komando Nawir.
Hampir diparang
Para nelayan nakal itu mengatur strategi dalam mencari ikan di Parak. Mereka menunggu saat-saat tertentu ketika penjagaan tidak begitu ketat, seperti saat tiba waktu Jumatan atau Shalat Id. Sering kali pula para pelaku memanfaatkan saat laut surut karena banyak perahu penjaga yang kandas di pantai sehingga tidak bisa mengejar.
”Itu dulu, sekarang mereka takut karena kami sudah punya speed boat,” kata Nawir tentang speed boat bertenaga mesin 11 PK bantuan dari pemerintah.
Menjadi petugas patroli swadaya bukan tanpa risiko karena para nelayan nakal itu kerap nekat. Nawir dan warga sangat sadar itu, makanya tidak semua orang berani mengejar nelayan nakal. ”Tetapi, kalau tidak dikejar, mereka bisa mengulang perbuatannya,” kata Nawir.
Di mengisahkan, pada suatu hari di tahun 2010, Nawir sedang patroli seorang diri menggunakan perahu kecil dengan kekuatan mesin hanya 3,5 PK. Sekitar 200 meter dari posisinya, dia melihat dua orang di atas perahu dengan gelagat mencurigakan seperti sedang menyebar potas (potasium sianida), bius ikan. Saat Nawir mendekatinya, perahu itu menghindar. Nawir mengejar ke arah selatan, perahu itu menjauh ke utara, begitu sebaliknya.
Akan tetapi, bukan Nawir kalau tidak bersikukuh mengejarnya. Hingga perahu tadi tidak bisa menghindar lagi dan memilih menunggu Nawir. Begitu sudah dekat, dia melihat salah seorang di atas perahu itu menghunus parang.
”Saya juga sudah bersiap parang di pangkuan. Lalu saya bilang, mereka harus pergi atau ada salah satu dari kami mati,” kata Nawir sembari mengatakan nelayan nakal itu pun pergi.
Nawir dan para nelayan Parak sadar potas bukan saja membahayakan ikan, melainkan juga merusak terumbu karang. Sebab, potas mematikan zooxanthellae, sekumpulan alga di dalam terumbu karang, penyedia makanan bagi terumbu karang lewat proses fotosintesis. Saat zooxanthellae mati, terumbu karang ikut rusak.
Cerita lainnya, Nawir berada di atas perahu nelayan nakal untuk menggeledah adanya bom atau potasium. Pemilik perahu tidak terima dan menempelkan parang di atas kepala Nawir, tetapi dia bergeming.
Dalam hati, Nawir meyakinkan diri, jika pun harus tewas oleh parang, itu sudah takdir Tuhan. Yang utama, dia tak ingin laut rusak dan meninggalkan kesengsaraan bagi banyak orang. Buktinya, Nawir sehat-sehat saja sampai sekarang.
Beragam cerita seperti di atas menyebar di kalangan penduduk desa-desa di Kabupatan Selayar. Lambat laun, jumlah pengebom dan pembius berkurang.
Nawir sebenarnya tidak begitu yakin akan bisa selamat jika diajak duel menggunakan parang. Sebab, dia tidak begitu paham ilmu kanuragan atau bela diri meskipun sempat belajar pencak silat dari gurunya ketika masih belia. ”Bisa sedikit-sedikit, tetapi sudah banyak lupanya. Yang penting saya yakin dengan tindakan saya. Itu saja,” kata Nawir.
Dai terumbu karang
Selain melaut dan menjadi tukang kayu, Nawir dikenal sebagai pendakwah. Dia keliling desa-desa di Kepulauan Selayar untuk mengajak masyarakat menjalankan ajaran agama dengan benar, terutama dalam menjaga terumbu karang. Ayat-ayat yang dia kutip pun selalu berkaitan dengan laut atau kerusakan laut.
Dia belajar agama dari mendiang ibunya. Ibunya mengajarkan cara membaca kitab suci dan mempratikkan isinya. Sang ibu selalu berpesan agar Nawir tidak merusak laut karena laut adalah masa depan anak dan cucunya. ”Sekarang saya belajar agama sendiri dari baca-baca buku,” kata Nawir.
Dia mengajak para pemuda desa untuk rajin mendalami kitab suci sembari menjaga lingkungan. Sekarang ini, setidaknya dia memiliki 13 murid yang sudah bisa diandalkan untuk mengajar dan aktif menjaga terumbu karang.
Tahun 2015, Kepala Kepolisian Resor Selayar memberi penghargaan kepada Nawir sebagai Datuk alias Dai Terumbu Karang. Dia dipercaya membawahkan 13 dai lain dalam menyebarkan ajaran agama ramah lingkungan sekaligus aktif menjaga laut dari nelayan nakal.
Nawir menilai penghargaan itu sebagai dukungan pemerintah terhadap upayanya selama ini. Dengan demikian, dia lebih berani melangkah maju.
Apalagi, warga juga senang dengan gerakan Nawir karena mereka sudah membuktikan, ketika banyak nelayan di desa lain susah mendapat ikan, cerita sebaliknya dialami nelayan Parak. Setidaknya, mereka mendapat uang bersih Rp 500.000 per hari dari hasil melaut. Bahkan, ada nelayan yang bisa mendapat penghasilan Rp 2 juta per hari.
”Orang yang tidak bisa memancing saja pasti dapat ikan saat menceburkan kail ke laut,” kata Nawir menggambarkan betapa meruahnya ikan-ikan di Parak. Dia tak ingin berkah itu surut karena nelayan nakal merusak laut.
Oleh karena itu, Nawir akan terus berjuang mempertahankan kelestarian laut lewat khotbah dan pengajian swakarsa. (MOHAMMAD HILMI FAIQ/MOHAMAD FINAL DAENG/INGKI RINALDI)
Andi Nawir
- Lahir: Kepulauan Selayar, 1 Juli 1954
- Istri: Mariamah
- Pendidikan: Sekolah Dasar Selayar
- Prestasi:
- Penghargaan dari Kapolres Kepuauan Selayar sebagai Dai Terumbu Karang alias Datuk.
- Penghargaan dari Bupati Kepulauan Selayar sebagai pejuang nelayan.